Santri Diminta Berani Ajukan Narasi Tandingan di Era Digital
Oleh
·5 menit baca
NINO CITRA ANUGRAHANTO UNTUK KOMPAS
Para narasumber dalam acara Ngaji Toleransi di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Sabtu (9/12).
JAKARTA, KOMPAS — Praktik radikalisasi seolah mampu berjalan mulus melalui media sosial karena kurangnya narasi tandingan terhadap berbagai gagasan dalam ajaran Islam yang disalahgunakan oleh sekelompok oknum untuk memecah belah bangsa. Para santri, yang memiliki banyak referensi terkait ilmu agama, diharapkan agar lebih aktif menentang narasi-narasi tersebut melalui narasi tandingan.
Pada Kompas (Rabu, 25 November 2015) terdapat pemberitaan bahwa upaya deradikalisasi belum optimal. Sedikitnya 800 WNI telah bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang didominasi oleh generasi muda. Indonesia dianggap darurat terorisme dengan merebaknya radikalisme di kalangan masyarakat.
Radikalisme tampak dari munculnya organisasi Islam yang memiliki tujuan mengubah dasar negara, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kini, HTI telah dibubarkan dengan disahkannya Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. HTI dibubarkan karena dianggap mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menyebarkan paham yang berlawanan dengan Pancasila.
NINO CITRA ANUGRAHANTO UNTUK KOMPAS
Anggota Gugus Tugas Nasional Gerakan Nasional Revolusi Mental Marbawi, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Franz Magnis-Suseno, dan Ustadz Nur Ahmad Satria (dari kiri ke kanan) di acara Ngaji Toleransi di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Sabtu (9/12).
Meski HTI dibubarkan, paham radikalisme terlihat terus disebarluaskan melalui media sosial. Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak Januari hingga September 2017, jumlah pengaduan terhadap adanya konten internet yang mengandung radikalisme ada 1.332 laporan.
”Masyarakat butuh pembanding,” ujar Ustadz Nur Ahmad Satria, tokoh agama, yang menjadi narasumber dalam seminar Ngaji Toleransi di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Sabtu (9/12).
”Selama ini kita miskin pembanding. Pembanding kita pasif. Bisa saja suatu hal yang hoaks itu jadi diyakini sebagai sebuah kebenaran jika tidak ada yang aktif memberikan narasi pembanding,” kata Nur saat ditanyai tentang ajaran Islam yang kerap disalahartikan untuk memecah belah bangsa.
Tren yang sedang berkembang adalah adanya sebagian kelompok dari masyarakat yang menganggap Pancasila itu bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu dapat berimbas pada sikap intoleran terhadap umat dari agama lain. Nur dengan tegas menentang sikap intoleran yang dilakukan umat Islam.
”Islam mengajarkan untuk mencintai sesama. Dalam bismillahirohmanirohim terdapat kata rohman berarti kasih sayang kepada seluruh makhluk Tuhan,” kata Nur. Ia menambahkan, Pancasila sudah sesuai dengan Islam dan tidak perlu diganti-ganti lagi.
Hal serupa diungkapkan Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pada Kompas (24/11). Said meyatakan, keberagaman suku, ras, dan agama yang dimiliki Indonesia malah tidak menyebabkan perpecahan dengan adanya Pancasila. Ia menegaskan, agar masyarakat tidak lagi mempertanyakan relevansi Pancasila terhadap ajaran Islam karena keduanya sudah sesuai. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menyebarluaskan makna Pancasila.
Toleransi antarumat beragama menjadi salah satu cara memaknai Pancasila. Franz Magnis-Suseno, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, mengatakan, toleransi adalah sikap hormat terhadap mereka yang berbeda.
”Bukan membenarkan yang berbeda, tetapi menghormatinya,” kata Franz, yang juga diundang sebagai salah satu narasumber dalam seminar.
”Toleransi itu juga bukan relativisme agama yang mengatakan semua agama sama saja. Setiap agama itu berbeda dan masing-masing berhak menganggap diri benar. Namun, penilaian akhir diserahkan kepada Tuhan,” kata Franz.
Berani berpendapat
Clifford Geertz, antropolog asal Amerika Serikat, menuliskan dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java (1960) bahwa santri adalah seorang pembelajar. Atas sifatnya yang selalu ingin mempelajari sesuatu, khususnya dalam hal agama, membuat seorang santri memiliki banyak referensi dalam melihat suatu persoalan.
Namun, santri terkenal rendah hati dan terkesan tidak ingin memamerkan pengetahuannya. Nur mengkritisi sikap santri yang kerendahan hatinya dan malah membuat mereka rendah diri.
”Saat ini sedang genting. Radikalisme mengancam keutuhan bangsa. Santri yang punya pengetahuan agama lebih mendalam hendaknya mau ikut menyampaikan pendapatnya sebagai pembanding terhadap narasi yang beredar dan cenderung sesat,” kata Nur. ”Mereka harus berani.”
”Kalau masyarakat punya pembanding, mereka bisa memilih dan tahu mana yang lebih sesuai dengan identitas kultural bangsa Indonesia,” katanya.
Anggota Gugus Tugas Nasional Gerakan Nasional Revolusi Mental, Marbawi, mengatakan, santri memiliki keunggulan modalitas pengetahuan karena pengkajian yang mereka lakukan mendalam. ”Mereka fokus belajar tentang Islam. Jika tidak tahu, tanya dengan kiainya. Jika masih kurang puas, cari bacaan yang bisa memantapkan penjelasan itu,” kata Marbawi, yang turut menjadi narasumber dalam seminar itu.
Marbawi menambahkan, di era digital ini, santri seharusnya berani dan percaya diri memberikan narasi alternatif atau tandingan yang bisa melawan narasi-narasi yang sudah ada dan mengusik kehidupan berbangsa.
”Mereka punya modalitas dan mumpuni. Mereka seharusnya berani memberikan narasi tandingan terhadap narasi yang mengarah ke radikalisme dan masif beredar di masyarakat,” kata Marbawi. ”Tentu harus dengan konten yang menarik.”
Para santri masih dinilai kurang berani. Terkait hal itu, Ketua Panitia Seminar Ngaji Toleransi Sueb, yang juga merupakan mantan santri dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, mengatakan, hal itu disebabkan oleh adanya kultur tawadhu. Melalui kultur itu, santri diajarkan untuk tidak sombong meski memiliki banyak ilmu.
Kami santri Nusantara mendeklarasikan bersatu menangkal radikalisme dan mewujudkan Indonesia yang toleran!
”Kami diajarkan untuk tawadhu. Banyak orang yang lebih pintar daripada kami,” kata Sueb. ”Namun, selain itu, kami terkadang kurang percaya diri untuk berpendapat karena khawatir apa yang kami pahami itu masih salah arti. Jadi, kami memastikan dulu dan terus belajar sampai benar-benar yakin bahwa yang hendak kami sampaikan itu benar.”
Di akhir acara, sekitar 100 orang hadirin yang terdiri dari alumni dan santri dari Pondok Pesantren HM Almahrusiyah Lirboyo itu mendeklarasikan tentang komitmen mereka untuk menangkal radikalisme. ”Kami santri Nusantara mendeklarasikan bersatu menangkal radikalisme dan mewujudkan Indonesia yang toleran!” ucap mereka lantang. (DD16)