Bahasa Betawi yang Tergerus Zaman
JAKARTA, KOMPAS — Jarangnya penggunaan bahasa Betawi dalam kehidupan masyarakat Ibu Kota saat ini membuat beberapa kosakata Betawi semakin terlupakan. Jika tidak dilestarikan, bahasa Betawi dikhawatirkan punah seiring perkembangan zaman. Perlu adanya upaya untuk menghadirkan karya-karya sastra baru dalam bahasa Betawi untuk melestarikannya.
Penulis serta ahli linguistik Abdul Chaer menuturkan, tergusurnya kampung-kampung Betawi dari Jakarta merupakan salah satu alasan mengapa bahasa Betawi semakin jarang digunakan masyarakat.
”Orang Betawi semakin bubar kayaknye. Kampungnya udah pada ga ada, Senayan digusur, Pondok Pinang digusur. Mereka pada mencar ke mana-mana sampai ke Bogor dan Karawang,” ujar Abdul Chaer dalam diskusi diskusi buku Pendekar Bahasa dan Budaya Abdul Chaer, di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (8/12) sore.
Ketika saya menulis kamus bahasa Betawi, saya keliling-keliling, dari daerah Cibarusa hingga Citeureup, dari sekitar Karet hingga Tanah Abang. Di situ saya ngobrol-ngobrol sama warga sekitar untuk mencari kosakata Betawi.
Abdul Chaer merupakan salah satu penulis yang aktif menulis kamus serta karya dalam menggunakan bahasa Betawi. Hingga saat ini, sudah ada dua kamus yang diterbitkan, yaitu Kamus Dialek Jakarta pada 1976 dan Kamus Ungkapan dan Peribahasa Betawi pada 2009. Selain itu beberapa buku berjudul Folklore Betawi, Betawi Tempo Doeloe, Tenabang Tempo Doeloe, hingga Dongeng Betawi Tempo Doeloe merupakan beberapa karyanya yang pernah diterbitkan.
”Ketika saya menulis kamus bahasa Betawi, saya keliling-keliling, dari daerah Cibarusa hingga Citeureup, dari sekitar Karet hingga Tanah Abang. Di situ saya ngobrol-ngobrol sama warga sekitar untuk mencari kosakata Betawi,” ungkap Chaer dengan aksen Betawinya yang cukup kental.
Chaer mengatakan, umumnya kosakata Betawi sudah mulai tidak dikenal oleh masyarakat. Ia mencontohkan beberapa kosakata sederhana, tidak banyak yang tahu bahasa Betawinya pelipis adalah pelengan, kemudian bahasa Betawinya gusi adalah isit.
Bahasa Betawi merupakan bahasa percakapan. Jika masyarakatnya berpencar, mereka menjadi jarang menggunakan kosakata Betawi.
”Bahasa Betawi merupakan bahasa percakapan. Jika masyarakatnya berpencar, mereka menjadi jarang menggunakan kosakata Betawi. Ketika berkumpul dengan sesama warga Betawi, mereka baru menggunakan kosakata tersebut,” tutur Chaer.
Banyaknya pendatang ke Ibu Kota membuat bahasa Betawi juga semakin terpinggirkan. Chaer menuturkan, saat ini pengguna bahasa Betawi tersebar ke beberapa daerah di luar Ibu Kota, seperti ke Bogor dan Karawang. Meski demikian, Chaer meyakini bahasa Betawi tidak akan mati meskipun banyak kosakata Betawi yang mulai terlupakan.
”Penggunaan kata elo gue dan imbuhan -in itu merupakan salah satu gaya bahasa Betawi. Bahkan, beberapa pendatang ke Jakarta yang kembali ke daerah asalnya tetap membawa gaya bahasa tersebut,” ungkapnya.
Ahli linguistik Muhadjir yang turut hadir dalam acara ini menuturkan, bahasa Betawi ini memiliki keragaman kosakata yang lengkap untuk percakapan. ”Meskipun masih diperdebatkan apakah bahasa Betawi ini merupakan sebuah bahasa atau dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Betawi kerap disebut bahasa Melayu dialek Jakarta,” kata Muhadjir.
Sebagai dialek, ia memiliki kelengkapan keragaman untuk percakapan dan digunakan di dalam wayang kulit Betawi, kemudian digunakan dalam teater lenong dan topeng. Selain itu, dalam sejarahnya, sekitar tahun 1911, ada warga keturunan Arab di Jakarta yang menulis karya sastra dalam bahasa Betawi.
”Hingga saat itu berkembang karya sastra lainnya, seperti karya sastra mengenai Nyi Saidah yang dimuat di koran-koran Melayu di Batavia tempo dulu,” ucap Muhadjir.
Pada perkembangannya, beberapa sastrawan juga mulai membuat karya dengan bahasa Betawi, seperti Muhammad Bakir yang terkenal dengan karya Cerita Panji dalam Sastra Pecenongan. Kemudian, pada tahun 80-an, muncul siaran televisi dengan judul Si Pitung yang kental dengan dialog berbahasa Betawi.
”Perlu ada penelitian terkait karya-karya sastra ini. Selain itu, harus muncul sastrawan-sastrawan baru yang menulis buku dalam bahasa Betawi,” kata Muhadjir.
Muhadjir menerangkan, matinya suatu bahasa menjadi pertanda matinya sebuah kebudayaan. Oleh karena itu, perlu dibuat sensus mengenai seberapa banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Betawi di Jakarta untuk mencegah hal ini.
Matinya suatu bahasa menjadi pertanda matinya sebuah kebudayaan.
Ivan Lanin, pemerhati bahasa yang aktif di dunia maya, seperti Twitter dan Wikipedia, menuturkan, umumnya bahasa Betawi ini merupakan bahasa lisan yang jarang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. ”Untuk ke depannya, mungkin bisa dibuat beberapa karya ilmiah yang menggunakan bahasa Betawi agar bahasa Betawi memberikan sumbangsih ke dalam ilmu pengetahuan,” kata Ivan yang turut hadir dalam acara ini.
Selain itu, Ivan menuturkan, slogan kebahasaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni ”utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing” perlu menjadi perhatian masyarakat. ”Nantinya diharapkan bisa ada balai bahasa Betawi serta muatan lokal di pendidikan dasar yang mengajarkan bahasa Betawi di sekolah-sekolah,” kata Ivan. (DD05)