Abaikan Peringatan Para Pemimpin Dunia, Trump Panaskan Politik Timur Tengah
KAIRO, KOMPAS -- Suhu politik Timur Tengah, Rabu (6/12), kembali memanas. Situasi ini menyusul keputusan mengejutkan Presiden AS Donald Trump yang bertekad bulat akan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan ini bakal disusul pemindahan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Keputusan penting Trump terkait kota Jerusalem akan disampaikan melalui pidato di Washington DC, AS, pukul 13.00 waktu setempat atau pukul 01.00 Kamis dini hari WIB.
Kota Jerusalem merupakan isu paling sensitif dalam konflik Arab-Israel selama hampir 70 tahun terakhir ini. Kota tersebut menjadi tempat suci bagi umat Muslim, Kristen, dan Yahudi. Di kota itu, terdapat Masjid Al Aqsa, kiblat pertama umat Muslim sebelum dipindah ke Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi.
Di sisi barat kompleks Masjid Al Aqsa, juga terdapat Tembok Ratapan, destinasi ibadah kaum Yahudi dari seluruh penjuru dunia. Di kota itu pula, terdapat Gereja Makam Yesus yang diyakini sebagai Makam Yesus.
Kota Jerusalem terbagi dua, yakni Barat dan Timur. Jerusalem Barat diduduki Israel secara penuh pada Perang Arab-Israel tahun 1948. Israel kemudian menduduki kota Jerusalem Timur, yang terdapat kompleks Masjid Al Aqsa itu, pada Perang Arab-Israel tahun 1967. Masyarakat internasional dan PBB sampai saat ini menyebut Jerusalem Timur sebagai kota pendudukan.
Palestina berupaya menjadikan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara. Kesepakatan Oslo 1993 antara Israel dan Palestina juga menegaskan, status kota Jerusalem beserta isu permukiman Yahudi, pengungsi Palestina, perbatasan final Israel-Palestina ditentukan dalam perundingan akhir Israel-Palestina.
Hal itu telah diingatkan para pemimpin dunia kepada Trump, mulai dari pemimpin di Arab Saudi, Mesir, Jordania, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Turki, Inggris, Rusia, China, Indonesia, hingga Pemimpin Katolik Paus Fransiskus. Namun, Trump bergeming dan bersikeras mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Trump telah menyampaikan tekadnya mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel kepada pemimpin Arab, seperti Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dari Arab Saudi, Raja Abdullah II dari Jordania, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan Raja Maroko Muhammad VI.
Istana kepresidenan Mesir dalam keterangan pers yang diterima Kompas hari Selasa mengungkapkan, Presiden Sisi telah menerima telepon dari Presiden Trump, yang menyampaikan tekadnya mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memindahkan kantor kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Disebutkan dalam keterangan pers itu, Sisi meminta Trump merujuk pada kesepahaman internasional dan resolusi PBB terkait isu kota Jerusalem, serta tidak mengambil langkah yang menciptakan instabilitas di Timur Tengah.
Raja Salman, seperti dikutip kantor berita SPA, juga mengingatkan Trump bahwa tekadnya itu hanya akan menambah ketegangan di Timur Tengah dan melukai perasaan umat Muslim.
Di Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak berharap AS mengambil langkah pemindahan tersebut. "Kita tak ingin Amerika Serikat seperti ini. Pemerintah Indonesia sependapat mendukung Palestina dan menilai semestinya Amerika Serikat tidak memindahkan kedutaannya ke Jerusalem,” ujar Kalla.
Pemindahan kantor Kedubes AS, lanjut Kalla, akan memperumit kondisi politik di Timur Tengah. Rabu kemarin, Wapres Kalla menerima Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph R Donovan dalam pertemuan sekitar 45 menit. Donovan mengatakan, ia tak membahas secara spesifik isu Jerusalem dengan Wapres.
Senin lalu, Donovan juga telah dipanggil Menlu Retno LP Marsudi. Dalam pertemuan itu, Retno memperingatkan, proses perdamaian Palestina-Israel dalam bahaya jika AS bersikeras dengan pengakuannya soal Jerusalem.
Paus Fansiskus menyerukan semua pihak komitmen dan menghormati kesepahaman internasional dan resolusi PBB terkait kota Jerusalem. Vatikan juga menyebut, Jerusalem Timur sebagai kota pendudukan.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah berkomunikasi dengan sejumlah pemimpin Arab dan asing untuk melobi Trump agar mengurungkan niat mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun, Trump mengabaikan saran para pemimpin itu.
Reaksi dunia Arab
Sikap Trump yang pantang mundur itu mengubah peta konflik Arab-Israel saat ini dan mendatang. Sikap itu sama artinya mengubur Kesepakatan Oslo 1993 yang digalang AS.
Sidang darurat Liga Arab tingkat duta besar di Kairo, Selasa, menegaskan, pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan kantor Kedubes AS ke Jerusalem merupakan permusuhan terhadap umat Muslim, Kristen, bangsa Arab, dan rakyat Palestina. Liga Arab akan kembali menggelar sidang darurat tingkat menlu, Sabtu lusa.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan—yang kini menjadi Ketua Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)—menyerukan digelar KTT OKI di Istanbul, 13 Desember, untuk membahas reaksi atas pengakuan AS terhadap kota Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Di Palestina, unjuk rasa mengecam keras Trump dan Israel mulai terjadi di beberapa kota di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sejumlah pemuda Palestina dan pasukan Israel bentrok di dekat kota Hebron. Di Jerusalem Timur dan Ramallah, para murid dan mahasiswa Palestina berunjuk rasa di halaman depan sekolah sambil membakar gambar Trump, bendera AS dan Israel.
Faksi-faksi Palestina menyerukan digelar hari kemarahan rakyat selama tiga hari, dari Rabu hingga Jum\'at, sebagai protes aksi AS mengakui kota Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai, tak hanya akan menciptakan instabilitas di Timur Tengah, langkah Presiden Trump memindahkan kedutaan besar AS ke Jerusalem bisa memicu kemarahan warga Muslim di berbagai negara kepada hal yang berbau AS. (INA)