Tujuh dari 17 Pulau Mulai Terlihat

Nelayan Teluk Jakarta berlayar melewati reklamasi Pulau D, November 2017. Nelayan mengalami banyak kerugian sejak hadirnya pulau reklamasi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejak dimulai aktivitas pulau reklamasi pada 2014, warga pesisir Teluk Jakarta mengalami penurunan penghasilan dan kualitas lingkungan tempat tinggal. Setelah sempat dihentikan, pembangunan pulau reklamasi kembali diizinkan tahun ini. Warga berharap tidak ada pulau baru lagi.
Sebelumnya, Oktober lalu, pemerintah mencabut moratorium 17 pulau reklamasi. Setelah pada tahun lalu, pengerjaan pulau-pulau itu berhenti karena Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mencabut sementara izin pulau reklamasi.
Aktivitas pengerjaan kembali membuat warga pesisir khawatir. Mereka berharap pemerintah hanya melanjutkan pembangunan pulau yang sudah ada dan tidak memunculkan pulau baru.
”Yang penting jangan menambah pulau lagi. Kasihan nelayan-nelayan di sini tambah susah. Tolonglah pemerintah imbangi masyarakat, jangan sampai mati usahanya,” kata Benga (40), Kamis (9/11), nelayan kerang hijau yang tinggal di Kamal Muara, Jakarta Utara.

Benga, Nelayan Kerang Hijau.
Benga mengatakan, usaha kerangnya berkurang drastis sejak ada pulau reklamasi. Penghasilannya berkurang dua per tiga, dulu 300 ember, sekarang tinggal 100 ember. ”Sejak ada pulau ini, masyarakat semakin susah,” ucapnya.
Menurut Benga, air di sekitar pulau menjadi berbeda. Kini, limbah yang dibawa dari sungai-sungai di Jakarta tertahan karena terhalang pulau reklamasi sehingga air itu tertahan dan menjadi kotor. Pengaruh kotor pun mengakibatkan kerang di pesisir mati.
Rumah yang ditempati Benga berada di dekat pulau reklamasi C dan D. Oleh karena itu, ia harus mencari kerang hijau ke daerah yang lebih jauh. ”Harus di sekitar Pulau Seribu,” tuturnya.
Nelayan ikan, cumi-cumi, dan udang di Kamal Muara juga mengalami banyak kerugian sejak kehadiran pulau. Tamrin (53), nelayan tangkap, tiga tahun belakangan kekeringan tangkapan. Nelayan yang menjadikan cumi-cumi sebagai tangkapan utama itu kini sulit untuk membiayai anak buah kapalnya. Dulu Tamrin bisa membawa pulang 2 kuintal cumi-cumi, tetapi kini 10-15 kilogram per hari pun sudah sulit.

Pak Tamrin
”Ke depan, kami cuma minta kejelasan. Tempat ini mau seperti apa? Apakah masih bisa ditempatkan di sini atau tidak? Kalau misal tidak bisa, secepatnya ngomong bahwa kita tidak layak. Itu terserah pemerintah,” kata Tamrin.
Nelayan Kamal Muara lainnya, Syekh, yang berhadapan langsung dengan Pulau C juga tidak setuju dengan pulau baru. Menurut dia, penyemprotan pasir untuk pulau membuat daerah sekitar menjadi cetek. Hal itu mengakibatkan perahu nelayan pesisir tidak bisa lewat.
Pada 2016, Syekh tidak bisa menyandarkan perahunya. ”Perahu saya tidak bisa lewat. Akhirnya perahu di Dadap, Tangerang. Setiap malam tidur di sana selama tiga bulan,” katanya.
Tak hanya itu masalahnya. Saat angin sedang berembus kencang, debu hasil pengerjaan menghampiri rumah nelayan. Akibatnya, semua peralatan yang ada di dalam dan luar rumah tertutup debu tebal. ”Bahkan kalau mau makan jadi tidak bisa. Debu masuk sampai ngotorin piring-piring,” kata Syekh.

Syekh, nelayan sekitar, menunjukkan debu yang dibawa.
Kualitas air pun sudah jauh berbeda. Apabila pasang, air membuat keruh dan gatal. Syekh merasa gatal saat menggosok perahu. Padahal, sebelum ada pulau reklamasi, hal itu tidak pernah dialami.
Bukan hanya di sekitar Pulau C dan D. Jauh dari sana, di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok, terdapat Pulau N. Nelayan sekitar pun berkurang penghasilannya. Salah satunya adalah Atot (47), warga Pelabuhan Kayu, Jakarta Utara.
Atot mengatakan, sudah sedikit ikan yang bisa didapatkan di sekitar pelabuhan. Padahal, dahulu banyak. ”Biasa kita ngambil jarak dekat, sekarang harus ke Pulau Karang Putri dan Nirwana,” katanya, Jumat (10/11).
Biasanya, Atot menghabiskan 5 liter untuk pulang pergi. Kini, ia butuh dua kali lipat karena harus bepergian ke pulau-pulau. Belum lagi, di pulau juga sering terhambat ombak. Perahu kecil yang digunakan Atot pun kerap terkendala melalui ombak besar di pulau yang jauh dari pelabuhan.
Keberadaan pulau reklamasi ini merugikan warga dari aspek lingkungan dan sosial ekonomi. Dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 disebutkan, reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tujuannya untuk meningkatkan manfaat dan atau nilai tambah ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.
Terlihat 7 pulau
Reklamasi di Teluk Jakarta merupakan perwujudan dari Peraturan Gubernur No 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta yang menetapkan ada 17 pulau reklamasi untuk dibangun. Lewat pergub itu, pulau tersebut sudah diberi nama A sampai Q.
Tim Kompas pada 9-10 November mencoba mengamati kelanjutan pembangunan pulau reklamasi dengan kapal nelayan. Terlihat ada tujuh pulau yang sudah muncul, yaitu Pulau C, D, G, K, N, O, dan P.

Salah satu pos di Pulau G.
Pada Pulau G, tidak terlihat geliat pembangunan. Hanya terdapat bangunan seperti pos jaga, itu pun kosong. Rumput-rumput liar tumbuh secara acak. Pinggiran pulau mengalami abrasi sehingga banyak kubangan di dalam pulau ini. Berdasarkan data Litbang Kompas, Pulau G memulai pembangunan pada 2016. Namun, belum sempat membangun banyak, izin pulau ini dihentikan.
Berbeda dengan Pulau D yang sudah dibangun dua tahun lebih awal, 2014. Setahun setelah dibangun, Pulau C muncul bersebelahan dengan Pulau D. Namun, pada tahun ini kedua pulau yang awalnya menyatu ini dipisah.
Geliat pembangunan terlihat di Pulau C dan D. Pembangunan sudah dimulai. Terlihat alat-alat berat mengelilinginya. Pada Pulau D, tumpukan batu pembatas setinggi 2,5 meter terlihat kokoh. Pembatas itu memagari seluruh pulau.

Pulau C
Pulau D pun sudah dilengkapi ruko tiga lantai yang bederetan. Sementara di Pulau C hanya separuh pulau yang dibatasi pagar. Sisanya sedang dikerjakan. Ada truk, alat berat, serta tumpukan pasir yang menggunung di ujung pulau yang belum dipagari. Pembangunan baru sekitar 50 persen.
Di Pulau K, tepat di depan Ancol, Jakarta Utara, tidak ada aktivitas pembangunan pulau. Namun, di sekitar pulau terdapat kapal penguruk. Ditambah, tanggul dari bebatuan telah dibuat.

Bagian panjang Pulau N yang sedang dibangun.
Sementara di Pelabuhan Tanjung Priok, ada reklamasi Pulau N yang sudah selesai dan telah difungsikan untuk aktivitas pelabuhan. Akan tetapi, hanya bagian kecil dari Pulau N yang baru dikerjakan, bagian panjangnya masih dalam proses pembangunan. Di sebelahnya, ada Pulau O dan P yang terlihat ada aktivitas pembentukan pulau, yang masih berlangsung saat pengamatan itu. (DD06)