Mengenal Bisnis ”Esek-esek” di Jalintim Riau
Hujan deras tidak henti-hentinya mendera sejak meninggalkan Kota Pekanbaru. Iring-iringan truk muatan minyak sawit mentah (CPO) di jalan lintas timur atau jalintim Sumatera berjalan lambat. Kendaraan di belakang truk mengekor panjang karena sulit menyalip di jalan penuh tikungan mendaki dan menurun. Perjalanan dari Pekanbaru menuju Ujung Tanjung, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, sepanjang 180 kilometer harus ditempuh lebih dari 5 jam, dari biasanya berkisar 3,5 jam sampai 4 jam.
Setelah berhenti sejenak di penginapan, Kompas bertemu Harjana Nanang Suryadi (40). Dia adalah Koordinator Infeksi Menular Seksual dari Pusat Kesehatan Masyarakat Rimba Melintang, Rokan Hilir. Rencana malam itu, Nanang, demikian panggilannya, akan menjadi pemandu menuju lokasi pelacuran terselubung di beberapa titik di jalintim Sumatera.
Kunjungan ke lokasi prostitusi merupakan salah satu kerja tim Nanang untuk melakukan observasi penyakit HIV/AIDS. Biasanya, observasi pada malam hari dilakukan dengan penyamaran, sedangkan pada siang hari dilakukan penyuluhan secara terbuka. Penyuluhan diselingi dengan pengambilan darah untuk pengecekan penyakit HIV/AIDS.
Hari sudah lewat pukul 22.00. Kami berangkat menggunakan mobil Nanang, Toyota Kijang Innova. Di mobil itu sudah ada empat orang. Tiga di antaranya anggota tim Nanang, yaitu Dewi Marisa, Lily, dan Rifka, dari puskesmas. Seorang lagi adalah Rozita, Kepala Bidang Promosi Kesehatan Riau, yang kebetulan berkunjung ke Puskesmas Rimba Melintang.
Hujan besar sudah reda, tetapi gerimis masih menitik. Sambil menyetir, Nanang bercerita bahwa beberapa tahun lalu ada sebuah lokalisasi di dekat lokasi yang akan kami tuju. Di lokalisasi itu terkumpul warung dan kafe yang menyediakan perempuan penghibur dalam satu lokasi. Bisnis itu tidak memiliki izin, tetapi pemerintah daerah dan petugas keamanan menutup mata.
Belakangan, pemerintah setempat menutup lokalisasi. Bisnis pelacuran ilegal otomatis berhenti di situ. Namun, solusi jalan pintas itu justru menimbulkan masalah baru. Penyedia jasa perempuan malam memindahkan bisnisnya ke sejumlah lokasi yang tidak jauh dari lokalisasi. Sekarang puluhan warung dan kafe eks lokalisasi berkembang, terutama di sepanjang jalintim Sumatera.
”Lokalisasi memang tutup. Namun, warung dan kafe baru sejenis dibuka. Mereka hanya ’tukar chasing’,” kata Rozita mengistilahkan perubahan lokalisasi menjadi warung/kafe esek-esek.
Di sebuah tempat, sekitar 20 kilometer dari Ujung Tanjung, Nanang menghentikan mobilnya di depan sebuah warung. Di areal parkir warung terdapat delapan truk besar dalam kondisi berhenti.
Nanang memarkirkan mobilnya dan lebih dulu keluar. Tanpa ragu dia masuk ke warung kopi. Tidak lama kemudian dia keluar lagi dan memberi kode untuk mengikutinya. Kompas dan Rifka, anggota Nanang yang laki-laki, masuk ke warung. Namun, tiga perempuan penumpang terpaksa berdiam di mobil agar tidak merusak penyamaran.
Di dalam warung terdapat tiga perempuan yang tidak lagi muda. Usianya berkisar 35-45 tahun. Seorang di antaranya merupakan pemilik warung yang bertugas melayani pengunjung. Di sebuah balai-balai (tempat tidur dari kayu) di bagian dalam warung terlihat seorang perempuan yang lebih muda tidur-tiduran menonton televisi.
Setelah memesan kopi dan berbasa-basi, Nanang mulai membuka percakapan. Pembicaraan awal masih ngalor-ngidul. Namun, kemudian dia mulai mengorek keterangan tentang pengunjung warung para sopir truk.
Kompas berjalan memutari warung dan mencoba mengambil gambar secara diam-diam dari telepon genggam dan kemudian keluar warung. Di luar sudah ada seorang perempuan lain yang baru datang dari sela-sela truk. ”Mengapa begitu banyak truk parkir di luar tetapi para sopir dan keneknya tidak tampak di warung,” tanya Kompas.
”Sopir truk kalau kemari untuk tidur. Besok pagi mereka akan melanjutkan perjalanan,” jawab perempuan itu. ”Kalau Abang mau tidur di sini juga bisa,” kata perempuan itu lagi dengan nada mengundang.
Ketika ditanya tarif, perempuan itu tidak bersedia menjawab. Dia hanya mengatakan murah. Ketika disebutkan angka tebakan berkisar dua atau tiga ratus ribu rupiah, dia menjawab, ”Sekitar itulah,” katanya.
Di dalam Nanang bercerita bahwa kedatangannya sesungguhnya mencari perempuan muda. Dia menggambarkan perempuan itu berkulit putih, tinggi, dan manis.
Pemilik warung yang mengaku bernama Siti, yang berasal dari Kisaran, Sumatera Utara, itu mengatakan tidak ada perempuan dengan ciri-ciri seperti itu di tempatnya. Namun, kalau mau mencari perempuan muda, ada beberapa kafe yang menyediakannya. Lokasinya juga tidak jauh.
”Kalau mau (perempuan muda), 300 meter dari sini ada kafe dengan lampu obor di halamannya. Ada juga di Simpang Manggala Johnson. Di situ ada jalan tanah di sebelah kiri. Ada tiga kafe di sana. Coba tanya di situ, pasti ada,” kata Siti dengan fasih menyebutkan lokasi kafe-kafe yang menyediakan perempuan muda.
Setelah membayar minuman, kami pun keluar dan berjalan sesuai arahan Siti. Di sepanjang jalan terlihat beberapa warung truk lagi. Setelah dibandingkan, ternyata semua warung truk memiliki ciri-ciri khas. Warna warung biasanya biru atau merah muda. Warung memiliki jendela memanjang tanpa terali dan tanpa daun jendela serta senantiasa terbuka. Pada jendela itu terdapat gorden berenda atau dengan warna senada.
Kami kemudian berhenti di warung obor seperti yang dikatakan Siti. Karena merasa kondisi tidak terlalu aman, kami mencari lokasi lain.
Nanang kemudian membawa mobilnya ke sebuah kafe yang katanya pernah didatangi sebelumnya. Lokasinya dekat dengan perumahan penduduk. Berjarak sekitar 100 meter dari pinggir jalan. Suara musik dari kafe sudah terdengar sayup-sayup. Namun, mobil kami tidak dapat masuk karena jalannya becek dan berlumpur.
Nanang kemudian berputar arah, menuju lokasi tiga kafe di dekat Simpang Manggala Johnson. Informasi Siti ternyata benar. Hanya 100 meter dari jalan sudah terdengar suara alunan musik dangdut dari sebuah bangunan kayu berbentuk seperti warung.
Di dalam warung terdapat empat laki-laki yang sedang minum tuak ditemani tiga perempuan berusia 20-an tahun. Dandanan perempuan itu biasa saja. Seorang perempuan berdiri dan menyanyi lagu dangdut dari karaoke televisi berukuran 32 inci yang terletak di meja penyekat tengah warung. Suaranya cempreng dan suara musik dari pengeras suara agak memekakkan telinga.
Di dalam warung terdapat empat kamar tidur yang dapat dipakai untuk eksekusi, istilah hubungan seks dengan perempuan di kafe tersebut. Kamarnya kecil. Luasnya sekitar 8 sampai 9 meter persegi. Tidak ada tempat tidur. Yang tersedia hanya kasur lipat tipis. Kamarnya sangat temaram atau minim cahaya. Tidak ada hiasan dinding.
Kamar itu tidak memiliki kamar mandi. Kalau mau buang air, harus keluar ke belakang warung dan berjalan sekitar 10 meter. Kalau lagi hujan, harus rela basah-basahan menerobos guyuran air dari langit. Kamar mandinya sangat ala kadarnya kalau tidak mau disebut tidak layak.
Jelas fasilitas kafe itu sangat minimalis dan tidak lengkap, tetapi sepadan dengan harga yang ditawarkan kepada konsumen lelaki hidung belang setengah mabuk minuman tuak.
Setelah keluar kafe itu, kami berencana melihat kafe selanjutnya. Suara musik dari kafe kedua sudah terdengar keras. Namun, rencana gagal. Jalan menuju kafe itu rusak parah. Ada kubangan lumpur cukup besar. Kami terpaksa balik arah, pulang menuju hotel.
Menurut Nanang, terdapat 113 lokasi hotspot (lokasi rawan penyakit hubungan seksual) di Rokan Hilir. Bentuknya hampir seragam, persis seperti warung dan kafe yang kami kunjungi malam itu.
”Seratus tiga belas lokasi? Banyak sekali.”
”Benar, kata Nanang. Lokasi seperti itu merupakan sasaran kami dari puskesmas untuk menanggulangi penyakit HIV dan AIDS. Dahulu sewaktu masih ada lokalisasi, kerja kami lebih mudah karena perempuan penjaja seks berkumpul di satu tempat. Sekarang ini semakin banyak muncul lokasi baru dan terus berkembang tidak terkendali. Suatu saat pasti akan muncul bibit-bibit HIV di situ,” ujar Nanang.