Koepan, Pantai Bersejarah yang Terbaikan
PANTAI Koepan berada di antara Benteng Concordia yang dibangun Portugis 1613 dan deretan bangunan pertokoan tua di Kelurahan Lai Lai Besi Koepan, Nusa Tenggara Timur.
Pantai ini memiliki sejarah sebagai cikal bakal lahirnya nama Kota Kupang saat ini. Warga China, Portugis, dan Belanda pertama kali datang ke Pulau Timor terlebih dahulu menapakkan kaki di pantai itu. Namun, kawasan itu belum ditata lebih layak.
Suku pertama yang mendiami wilayah Kota Kupang adalah Helong, nama yang berarti pelaut ulung nan pemberani.
Suku pertama yang mendiami wilayah Kota Kupang adalah Helong. Kini mereka menetap di Bolok, sekitar 25 kilometer barat Kota Kupang.
Dalam buku Timor Kupang, Dahulu dan Sekarang karya Andre Z Soh dan Maria NDK Indrayana (2017) disebutkan, suku Helong berasal dari Pulau Seram di Maluku. Helong berarti pelaut ulung nan pemberani.
Suku ini kemudian melahirkan salah satu pemimpin terkenal, yakni Lai Lai Besi Koepan (1420-1491).
Ia memerintah kawasan Pantai Koepan dan sekitarnya, dan istana kerajaannya terpusat di Pantai Koepan, yang saat ini menjadi wilayah Kelurahan Lai Lai Besi Koepan, Kota Kupang. Inilah asal usul nama Kupang.
Tahun 1992 sekitar 5.000 meter persegi kawasan pantai ini dibeli pengusaha lokal, Teddy Tanone. Ia membangun perhotelan, restoran, kantor travel, kantor perusahaan, dan sebagian kawasan diberikan kepada pedagang kuliner.
Teddy Tanone saat itu mengoperasikan taksi pertama di Kota Kupang dengan nama taksi ”Teddys” sehingga belakangan orang Kupang lebih mengenai pantai itu dengan sebutan pantai Teddys.
Nama Koepan tenggelam di balik nama Teddys karena pantai bersejarah itu tidak mendapat perhatian pemerintah daerah. Padahal, nama Koepan memiliki sejarah besar, cikal bakal lahir nama Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
”Nama Koepan tenggelam di balik nama Teddys karena pantai bersejarah itu tidak mendapat perhatian pemerintah daerah. Nama taksi Teddy yang memiliki pul di pantai itu lebih populer dibandingkan Koepan. Padahal, nama Koepan memiliki sejarah besar, cikal bakal lahir nama Kota Kupang dan Kabupaten Kupang,” kata Toy Messak pemerhati sejarah Kota Kupang di Kupang, Sabtu (2/12).
Ia mengatakan, bangsa asing pertama yang menempati Pantai Koepan pada akhir abad ke-14 dan bertahan sampai hari ini adalah China.
Sebelumnya, mereka menetap di Sulamu, sekitar 40 km arah timur Pantai Koepan. Mereka beralih ke Pantai Koepan karena pantai itu sangat cocok untuk tempat pendaratan perahu.
Onggokan cadas (batu karang) menganjur sampai 50 meter ke arah laut, mirip jembatan, mempermudah proses bongkar muat barang di tempat itu lebih nyaman sebelum adanya jembatan.
Bangsa China mulai membangun permukiman di sepanjang Pantai Koepan. Beberapa bangunan kuno masih bertahan sampai hari ini dengan sebagian besar sudah dipugar.
Mereka adalah bangsa Kwai-San Cin, yang saat ini sebagian dari mereka masih berkomunikasi dengan anggota keluarga di China. Sebagian besar bangunan sudah berubah keasliannya setelah dipugar oleh pemilik.
Hanya dua bangunan yang masih memperlihatkan keaslian arsitektur China zaman dulu, tetapi bangunan ini tenggelam di antara bangunan pertokoan lain sehingga sulit ditemukan dengan mudah.
Bangunan ini dilengkapi tulisan timbul berbahasa China Kwai-San Cin, yang sudah usang.
Banyak di antara mereka melakukan perkawinan silang dengan penduduk lokal dan menggunakan marga lokal, terutama suku Rote dan Timor.
Sebagian warga China di Pantai Koepan masih mempraktikkan agama asli Khonghucu. Sebagian lain memeluk agama Kristen, tetapi masih mempraktikkan tradisi-tradisi tua China Kwai-San Cin, seperti imlek dengan tradisi khas mereka.
Selain menjadi pusat pertokoan, bangunan itu juga sekaligus rumah tinggal sampai hari ini. Banyak di antara mereka melakukan perkawinan silang dengan penduduk lokal dan menggunakan marga lokal, terutama suku Rote dan Timor.
Selain China, bangsa lain yang pernah singgah di Pantai Koepan adalah Portugis dan Belanda. Portugis tiba di Pantai Koepan pada 1613 setelah hampir 50 tahun membangun benteng Fort Henriqus di Lohayong, Pulau Solor, ujung timur Flores.
Portugis berdagang kayu cendana dengan raja Timor dan masyarakat sekitar. Namun, mereka terancam dengan kehadiran orang China dan Belanda.
Portugis membangun sebuah benteng pertahanan persis di bibir pantai, di samping Pantai Koepan, diberi nama Concordia. Namun, benteng ini ditinggalkan begitu saja setelah mendengar kabar pasukan Belanda akan tiba di Koepan.
Pada 1645 Belanda tiba di Koepan dan mengambil alih benteng dan membangun sejumlah fasilitas pendukung, tetapi tetap menggunakan nama Benteng Concordia.
Benteng itu sejak tahun 1975 dijadikan pusat markas Yonif 752/Kupang, tetapi bekas Benteng Concordia masih terlihat di beberapa titik.
Benteng itu sejak tahun 1975 dijadikan pusat markas Yonif 752/Kupang, tetapi bekas Benteng Concordia masih terlihat di beberapa titik.
Benteng ini terletak berdampingan dengan Pantai Koepan, hanya dipisahkan sungai kaca, yang lebih populer disebut Sungai Dendeng.
Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur Beny Wahon mengatakan, jembatan darurat untuk peserta Sail Indonesia saat ini tidak layak dipertahankan.
Pantai Koepan sebagai pintu masuk Indonesia bagi ratusan peserta Sail Indonesia.
Pantai Koepan harus dibangun pelabuhan laut mini untuk mempercantik wajah Indonesia. Pantai Koepan menentukan sikap betah para turis asing mengelilingi Indonesia.
Selain itu, Pantai Koepan juga menjadi tempat penjualan kuliner lokal pada malam hari, dan sebagian kawasan menjadi terminal angkutan dalam kota.
Meski menjadi pintu masuk wisatawan asing, peserta Sail Indonesia, setiap tahun, pantai ini tetap tidak terawat atau dibenahi. Tidak ada literatur yang menceritakan kisah kedatangan bangsa-bangsa asing di pantai ini secara jelas.
Abrasi menyebabkan pantai itu hancur, termasuk tanggul yang dibangun pemerintah untuk pelataran kuliner lokal.
Hak pengelolaan pantai ini sempat dipersoalkan Pemkot Kupang (2006-2017). Pemkot menginginkan pantai itu dikuasai pemerintah sehingga dikelola secara lebih baik. Pemkot ingin bekerja sama dengan dengan Teddy Tanone, tetapi belum tercapai kesepakatan.
Abrasi menyebabkan pantai itu hancur, termasuk tanggul yang dibangun pemerintah untuk pelataran kuliner lokal. Sejumlah deretan pertokoan tua di sepanjang bibir pantai pun terancam ambruk karena abrasi laut.
”Jika pemerintah mengelola, segera dibangun marina bay mini di wilayah itu. Pantai ini menjadi titik awal peserta Sail Indonesia tiap tahun,” kata Wahon.