Batas Kecepatan Manusia Telah Tercapai?
Sejumlah ilmuwan mengingatkan bahwa era pemecahan rekor di nomor-nomor lari dalam cabang atletik mungkin akan berakhir. Manusia telah menjelang batas kemampuan fisiologi alamiahnya. Benarkah?
Tahun berganti tahun di dekade ini, predikat manusia tercepat di dunia memang kian jarang terlahirkan. Bahkan di nomor lari 100 meter putra yang menjadi simbol kecepatan spesies Homo sapiens, torehan waktu tercepat telah bertahan delapan tahun.
Dalam kurun delapan tahun sejak ”Si Petir” Usain Bolt mengukir waktu tercepat sejagat 9,58 detik di Kejuaraan Dunia Berlin, Jerman, 2009, belum ada lagi pelari yang bisa mendekati waktu itu. Bahkan Bolt sendiri. Waktu terbaik per tahun pasca-2009 adalah 9,63 detik yang juga dibuat Bolt pada 2012.
Selebihnya, kebanyakan waktu terbaik per tahun (semusim lomba) berada di angka 9,70-an detik. Bahkan dalam dua tahun belakangan, hanya di kisaran 9,80-an detik yang lebih lambat dari rekor dunia yang tercipta pada 1999 atau 18 tahun lampau.
Tahun ini, satu-satunya rekor dunia yang terpecahkan terjadi di Kejuaraan Dunia di London, Inggris, beberapa waktu lalu, yaitu di nomor 50 kilometer jalan cepat putri, sebuah nomor lomba yang baru diakui secara resmi.
Dunia harus menunggu selama 23 tahun untuk pengurangan waktu belasan detik tersebut.
Di Olimpiade Rio 2016 juga hanya terjadi dua penggusuran rekor dunia, yaitu di nomor 400 meter putra dan 10.000 meter putri. Di nomor pertama, pelari Afrika Selatan, Wayde van Niekerk, menggusur rekor dunia pelari AS, Michael Johnson (1999). Dalam jeda waktu 17 tahun itu, Niekerk hanya mempertajam waktu sebanyak 0,15 detik menjadi 43,03 detik.
Pada nomor 10.000 meter putri, atlet Etiopia, Almaz Ayana, memang membuat lesatan rekor, 29 menit 17,45 detik, mempertajam rekor dunia sebanyak 14,32 detik. Namun, dunia harus menunggu selama 23 tahun untuk pengurangan waktu belasan detik tersebut.
Pada nomor lari maraton yang menempuh puluhan kilometer (42,195 km), dunia juga mendambakan hadirnya manusia yang mampu menempuhnya kurang dari 2 jam. Rekor dunia saat ini masih jauh dari itu: 2 jam 2 menit 57 detik yang dibuat oleh pelari Kenya, Dennis Kimetto, pada 2014.
Bahkan, eksperimen yang dilakukan Mei silam di Sirkuit Monza, Italia, pun tak mampu menembus waktu idaman tersebut. Saat itu, pelari Kenya, Eliud Kipchoge, hanya bisa mengukir 2 jam 25 detik. Padahal, dalam ajang yang disponsori produsen perlengkapan olahraga Nike itu, Kipchoge, berlari dengan bantuan penuh.
Dia berlari di belakang sebuah tim pembentuk irama (pacesetting) yang berkekuatan total enam pelari. Kipchoge juga dibuntuti sebuah kendaraan penunjuk waktu yang mengarahkannya untuk memperoleh kecepatan terbaik.
Batas fisiologi
Antara lain dengan contoh-contoh fakta seperti itu, artikel yang dilansir kantor berita AFP awal November ini menyodorkan wacana, era pemecahan rekor nomor-nomor lari mungkin saja telah memasuki halaman terakhirnya. ”Setelah kemajuan pesat di abad ke-20, laju penajaman waktu tengah mendekati nol untuk sebagian besar nomor-nomor lari,” ujar Marc Andy, peneliti pada Institut Penelitian Kedokteran Olahraga dan Epidemiologi Olahraga, Perancis, IRMES.
Agaknya lembaga penelitian tersebut konsisten dengan pandangannya dalam 10 tahun terakhir. Pada 2007, IRMES memperhitungkan bahwa para atlet lari di era modern ini telah berada di level 99 persen dari batas fisiologi manusia secara alamiah. Kalkulasi itu didasarkan pada analisis terhadap sejarah rekor Olimpiade modern yang dimulai sejak 1896.
Wakil Kepala Laboratorium Antaruniversitas untuk Biologi Gerak Manusia, Lyon, di Perancis, Vincent Pialoux, juga mewakili kelompok yang sependapat tentang nyaris tercapainya batas kecepatan manusia. Dalam sebuah penelitian, terhadap data terbaik sejumlah atlet maraton, Pialoux dan timnya mengambil kesimpulan, ”Kita telah sampai pada catatan waktu yang tepat di bawah limit yang sudah diprediksikan berdasarkan evolusi performa.”
Tentu saja tidak semua ilmuwan dan akademisi olahraga sepakat dengan pandangan telah atau hampir ”tercapainya” batas kemampuan fisiologi pelari di era sekarang ini. Pengajar ilmu olahraga Universitas Negeri Jakarta, Oktafianus Matakupan, menyebut, pandangan tentang telah tercapainya batas kecepatan manusia adalah kesimpulan yang terburu-buru.
”Pandangan itu juga bukan pendapat yang baru. Hampir setiap dekade, ketika terjadi perlambatan dalam pemecahan rekor, selalu ada yang mengemukakan pemikiran seperti itu,” ujar Matakupan yang juga merupakan pelatih nasional kawakan spesialis strength and conditioning.
Dia mengingatkan, pemikiran tentang batas kecepatan lari juga pernah mengemuka ketika belasan tahun, manusia tidak pernah bisa menembus rekor 9,9 detik. Rekor tersebut diciptakan oleh atlet AS, Jim Hines, pada 1968. Hingga kemudian badan atletik dunia IAAF menggunakan pencatat waktu otomatis dengan perhitungan hingga seperseratus detik pada awal 1980-an pun kemajuan belum memperoleh titik terang dengan segera.
Sejak itu, terjadi snow ball di rekor dunia 100 meter putra. Rekor dunia tidak cuma stagnan di 9,8, tetapi 9,7; 9,6; dan 9,58 detik.
Rekor Hines menjadi patokan bukan saja karena dia yang pertama mengukir waktu di bawah 10 detik. Namun, ukiran Hines di 9,9 detik juga terjadi saat sudah digunakan alat pencatat waktu otomatis, dengan 9,95 detik di Olimpiade Mexico City 1968.
Awalnya, penggunaan pencatat waktu otomatis hanya memperhalus rekor dunia kepala 9,9 detik. Dari 9,95 detik, diperhalus menjadi 9,93 pada 1983 dan 9,92 pada 1988. Pendapat tentang limit kecepatan manusia yang 9,9 detik pun kembali memperoleh lahan dan sebagian kalangan menanti, apakah IAAF akan membuat perhitungan waktu dengan lebih rinci menjadi seperseribu detik?
Semua prediksi tersebut buyar lewat momen mendebarkan pada 1991. Pelari AS, Leroy Burrell, menembus waktu 9,90 detik pada bulan Juni dan membuka mimpi bahwa manusia bisa mengoyak batas imajiner dengan berlari kurang dari 9,9 detik. Hanya berselang dua bulan mimpi itu menjadi kenyataan ketika Carl Lewis (AS) mengukir 9,86 detik.
”Sejak itu, terjadi snow ball di rekor dunia 100 meter putra. Rekor dunia tidak cuma stagnan di 9,8, tetapi 9,7; 9,6; dan 9,58 detik. Jadi, contoh rekor Usain Bolt yang 9,58 detik pada 2009 itu belum bertahan terlalu lama dibandingkan kasus Hines,” tutur Matakupan yang pernah mengasuh para atlet nasional bulu tangkis, klub profesional sepak bola, bola basket, dan menjadi Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PASI DKI Jakarta.
Banyak faktor
Pandangan optimistis rekor dunia lari akan terus terasah untuk jangka waktu yang lama didasarkan pada fakta, banyaknya faktor yang berkolaborasi untuk menciptakan kecepatan yang mumpuni. Dan faktor-faktor itu juga kian canggih seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia.
Dari faktor perlengkapan misalnya, para produsen terus mengembangkan produk spike (paku pada sol sepatu) yang semakin kuat, tetapi semakin ringan hingga bobot total beberapa gram saja. Kostum pelari juga didesain dan menggunakan bahan yang mengurangi hambatan udara. Itu belum termasuk material lintasan sintetis yang semakin baik.
Rekor kecepatan lari juga prestasi olahraga di cabang olahraga lainnya tidak bergantung pada bakat fisiologis semata.
Faktor kualitas latihan pun semakin terasah dari waktu ke waktu. Para pelatih dan ilmuwan olahraga terus mengembangkan metode latihan (misalnya dengan latihan di dataran tinggi atau mensimulasi latihan dataran tinggi untuk meningkatkan kapasitas optimum paru-paru menyedot oksigen), periodisasi nutrisi, identifikasi dan pengembangan bakat (antara lain dengan strategi long term athlete development yang telah diadopsi oleh banyak negara) yang semakin memaksimalkan keterampilan gerak atlet seperti daya tahan kardio vaskular dan efisiensi motorik.
”Pada tahun 1990-an juga ada penelitian yang menyimpulkan, jika manusia berlari melebihi kecepatan berapa, maka otot hamstring akan pecah. Dan Usain Bolt sebagai contoh, kecepatannya lebih dari itu dan ternyata tidak ada yang pecah,” ujar Matakupan.
Telah sampai pada batas kecepatan maksimal atau sama sekali belum mendekati batas, yang jelas, manusia tidak akan pernah berhenti berusaha. Rekor kecepatan lari juga prestasi olahraga di cabang olahraga lainnya tidak bergantung pada bakat fisiologis semata, tetapi merupakan perwujudan kemajuan pemikiran manusia.
Itulah sebabnya olahraga menjadi penting. Salah satunya karena prestasi olahraga adalah representasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dicapai sebuah bangsa, yang kemudian dihadiahkan pada seluruh umat manusia.