Jalan Panjang Pencemaran Lakardowo
PERJUANGAN panjang warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menghentikan pencemaran akibat penimbunan limbah bahan beracun berbahaya (B3) bagaikan jalan wilayah yang berliku, bercabang, berlubang, dan berlumpur.
Pada Jumat (24/11) menjelang pukul 10.00 WIB, hujan baru saja mengguyur Lakardowo, 45 kilometer dari Surabaya, Ibu Kota Jatim.
Jalan desa yang sebagian beraspal dan atau jalan tanah menjadi agak licin setelah hujan. Namun, tumpahan air dari langit seolah membuka tabir bahaya terpendam dari timbunan tanah di halaman atau lantai rumah warga.
Di depan rumah Legi Pait, sepeda motor dihentikan. Gundukan tanah di halaman rumah Pak Legi menarik perhatian. Dalam onggokan ditemukan pecahan batu bara dan abunya.
Legi pada awalnya ingin menguruk lahan rumah dengan tanah campuran yang dibeli dari perusahaan pengolah limbah di Lakardowo pada 2012-2013. Namun, Legi mengeluhkan material tadi.
Setelah kehujanan, air rembesan dari tanah campuran itu membuat air sumur Legi menjadi pahit.
Penelitian oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menunjukkan abu batu bara mengandung zat padat terlarut (TDS), sulfat, dan keasaman tinggi sehingga membuat air sumur terasa pahit.
Legi dari bahasa Jawa jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti manis. Pait artinya pahit.
Sebagai sindiran kepada semua pihak yang belum berbuat apa-apa terhadap pencemaran di Lakardowo itu, kalangan warga menjuluki bangunan limasan yang tradisional Jawa itu Rumah Legi Pait.
Artinya, rumah Pak Legi yang berair sumur pahit. “Tanahnya harus dibuang biar ndak (tidak) mencemari lagi, tetapi ke mana?” ujar Legi.
Pertanyaan Legi belum bisa dijawab. Masih banyak tempat serupa yang perlu dilihat. Sepeda motor meluncur ke rumah Ngatipa, sekitar 1 kilometer dari kediaman Legi. Rumah perempuan itu juga limasan dan berlantai tanah.
“Silakan dipacul, Mas, yang mana saja,” kata Ngatipa.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengambil pacul. “Yang bagian mana mau dipacul?” katanya kepada Kompas yang kemudian menunjuk titik di depan televisi tabung yang sudah tua itu.
Tanah dibongkar dan tak sampai 10 sentimeter memperlihatkan lapisan timbunan material berabu batu bara.
Ngatipa mengatakan, kalangan warga pada 2012 melihat perangkat desa membeli tanah campuran dari perusahaan untuk menambah tinggi lantai tanah.
Material dibeli senilai Rp 150.000 per truk berkapasitas 7 ton. Harga tanah urukan dari perusahaan memang lebih murah daripada material tempat lain yang senilai Rp 350.000 per truk.
“Karena melihat perangkat desa seperti itu, kami warga ya ikut-ikut,” katanya.
Kulit mereka gatal-gatal dan iritasi setelah mandi dengan air sumur. Air sumur warga diyakini tercemar rembesan air tanah campuran karena debu batu bara.
Namun, menurut Mulyadi, Ketua RT 02 RW 5 Kedungpalang, Lakardowo, beberapa bulan setelah menguruk halaman atau lantai rumah dengan tanah campuran tadi, warga mendapat dampak buruk. Kulit mereka gatal-gatal dan iritasi setelah mandi dengan air sumur.
Pada awalnya, warga bingung mengapa air sumur membuat kulit iritasi. Usut punya usut, air sumur diyakini tercemar oleh rembesan air tanah campuran karena abu batu bara.
Sujiati, warga Lakardowo, menambahkan, mereka masih hidup dalam ancaman pencemaran limbah B3 yang diduga akibat aktivitas PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA). Kediamannya berjarak tak sampai 400 meter dari pabrik. Ia meyakini perusahaan terus membuang limbah ke area milik warga.
“Aliran air ke sawah warga dan selokan jadi berwarna hitam pekat dan berbau ndak enak. Warga yakin itu akibat limbah buangan perusahaan,” katanya.
Warga sejak 2015 telah melaporkan pencemaran limbah itu kepada aparatur desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, satuan Polri secara berjenjang dari sektor sampai markas besar. Namun, warga kecewa karena laporan tak ditindaklanjuti serius.
Berdasarkan hasil uji sampel laboratorium, tanah dan air di Lakardowo memang tercemar limbah.
Mereka bahkan berkali-kali berunjuk rasa ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena tidak serius menindaklanjuti laporan. Berdasarkan hasil uji sampel laboratorium, tanah dan air di Lakardowo memang tercemar limbah.
Hal yang disesalkan, sepert yang pernah disampaikan KLHK , pencemaran itu bukan akibat aktivitas pabrik melainkan perilaku warga. Tudingan balik itu jelas membuat hati warga teriris dan tersakiti.
Sujiati meneruskan, akibat pernyataan KLHK itu, mereka mengadu ke DPR, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Kepolisian Nasional, dan Ombudsman Republik Indonesia.
Berdasarkan pertemuan di DPR, KLHK diminta untuk melaksanakan audit kembali dengan cara membongkar sejumlah lokasi yang diyakini merupakan timbunan limbah B3.
Ecoton pun menggandeng sejumlah dosen dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Universitas Airlangga telah melaksanakan uji sampel di 200 sumur warga Lakardowo.
Kadar senyawa berbahaya pada air terlalu tinggi sehingga warga tak lagi berani memakai air dari sumur.
Hasilnya menunjukkan, kadar senyawa berbahaya pada air terlalu tinggi sehingga warga tak lagi berani memakai air dari sumur. Untuk minum dan memasak, warga membeli air bersih dari Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.
Mereka membeli 7.000 liter setiap minggu. Pembelian air bersih mengakibatkan kenaikan pengeluaran biaya hidup yang jika dihitung 2-3 persen atau setara Rp 78.000 per keluarga per bulan. Air ditampung dalam tandon kuning bantuan dari pemerintah Provinsi Jatim.
Panjang
Prigi mengatakan, Lakardowo merupakan satu dari 12 lokasi kasus pencemaran limbah B3 di Jatim yang diadukan ke KLHK. Penanganan yang lambat di Lakardowo membuat KLHK mendapat somasi dari warga dan Ecoton.
KLHK telah menjawab somasi itu melalui surat pada Selasa (14/10). Di Lakardowo, KLHK harus melaksanakan audit lingkungan hidup wajib ketidaktaatan dengan target selesai pada bulan depan.
Surat Komnas HAM pada Jumat (10/11) lebih tegas. KLHK diminta berkoordinasi dengan Dinas LH Jatim untuk pengeboran lapisan tanah di dalam area PT PRIA.
Pengeboran harus segera dilaksanakan untuk menjawab kekhawatiran warga tentang penimbunan limbah B3 di dalam pabrik. Perusahaan tidak berizin menimbun limbah B3.
Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf mengatakan, permintaan Komnas HAM harus segera dilaksanakan. “Kalau diminta ada pengujian tanah di dalam area pabrik, akan kami laksanakan,” katanya saat dikonfirmasi terpisah.
Pengeboran harus segera dilaksanakan untuk menjawab kekhawatiran warga tentang penimbunan limbah B3 di dalam pabrik. Perusahaan tidak berizin menimbun limbah B3.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Jatim Diah Susilowati menambahkan, belum bisa melaksanakan pengujian kualitas tanah karena keberatan PT PRIA. “Kami akan terus mencoba,” katanya.
Namun, perusahaan gigih melawan. Direktur PRIA Luluk Wara Hidayati bersurat kepada Dinas LH Jatim pada Selasa (14/11). PRIA keberatan dengan permohonan pengujian kualitas tanah dengan cacatan yakni pengeboran seperti diperintahkan Komnas HAM itu.
“Bahwa telah dilaksanakan audit lingkungan oleh pihak ketiga di PT PRIA yang dimulai pada tanggal 31 Juli 2017 dan masih dalam proses sampai dengan saat ini,” ujarnya.
Kami meyakini di dalam areal pabrik ada penimbunan limbah B3.
Warga tak percaya dengan audit lingkungan oleh pihak ketiga itu. “Kami meyakini di dalam areal pabrik ada penimbunan limbah B3. Untuk itu, permintaan Komnas HAM harus dipenuhi,” ujar Nurasim, Ketua Perkumpulan Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo Bangkit).
Masih panjang perjuangan itu dan warga tidak akan menyerah.