Belajar dari Masa Kelam
PALANGKARAYA, KOMPAS — Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah memiliki sejarah kelam karena pembalakan liar yang masif sekitar tahun 1980-an. Setelah menjadi kawasan pelestarian satwa liar dan tumbuhan endemik, tempat itu juga menyumbang pengetahuan baru bagi anak-anak di permukiman sekitarnya melalui Festival Anak Sebangau.
Festival tahunan tersebut yang diselenggarakan Yayasan Borneo Nature Foundation (BnF) Kalimantan Tengah. Kegiatan tersebut dilaksankan pada Minggu (26/11) di Dermaga Kereng Bangkirai, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang menjadi obyek wisata alam dan bagian dari Taman Nasional Sebangau (TNS) sekitar 12 kilometer dari pusat Kota Palangkaraya.
Siang itu, 50 anak-anak dari Program Edukasi BnF Kalimantan Tengah menunjukkan aksi dan pengetahuan mereka lewat tarian, nyanyian, pajangan foto, dan gambar tangan mereka. Foto-foto yang dipajang merupakan rekaman satwa liar dan tumbuhan endemik yang hidup di TNS.
Mereka merupakan murid-murid yang mengikuti program edukasi dari BnF selama dua tahun belakangan yang dilaksanakan setiap Kamis-Minggu di sore hari. Sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak yang orangtuanya merupakan bagian kelam dari TNS, sebagai pembalak liar.
”Selama ikut sekolah tentang lingkungan, saya jadi bisa membedakan yang mana orangutan yang mana owa-owa. Dulu yang saya tahu semua itu namanya monyet,” ungkap Ronaldi Abdi Putra (13), salah satu murid program edukasi di sela-sela festival.
Ronaldi mengungkapkan, selain mengetahui jenis-jenis satwa liar dilindungi, ia juga mulai menjaga sikap dan perilakunya dalam membuang sampah. ”Kalau ada pengunjung yang buang sampah di sungai, kata ibu guru, harus dikasih tahu supaya sungainya bersih,” ujarnya polos.
Murid SD Negeri II Kereng Bangkirai itu saat ini juga tergabung dalam kampanye menjaga lingkungan bersama 49 murid lainnya bersama BnF dan pengelola TNS.
Begitu juga cerita Krisjon (10), anak bertubuh gempal dengan kaus putih, menggenggam sebuah pensil dan mencoba membuat poster. Ia berhenti sejenak seakan berpikir apa yang akan ditulisnya.
Setelah selesai menulis, dengan antusias ia mengambil patahan krayon kecil merah dan mulai mewarnai tulisannya. Beberapa kali, ia mencoba menggambar api, tetapi terus dihapusnya. ”Saya mau menggambar hutan yang terbakar. Kan, kalau (hutan) terbakar, orangutannya juga ikut terbakar,” katanya.
Gambar, foto, dan poster buatan murid-murid itu kemudian dipajang dalam festival tersebut. Selain pameran dan kampanye, yang menarik adalah saat anak-anak menunjukkan teater yang ceritanya tentang bagaimana melindungi hutan.
Rizki Angelina Saragih (24), Koordinator Program Edukasi Anak Sabangau, mengatakan, teater yang mereka mainkan merupakan hasil dari buku-buku yang dibuat oleh dirinya dan beberapa peneliti di BnF. Cerita tersebut sebagian besar bercerita tentang bagaimana api merusak lingkungan dan merusak habitat satwa liar dilindungi.
”Festival ini mau menunjukkan kepada orangtua dan masyarakat soal apa saja yang mereka pelajari selama ikut program edukasi,” kata Angel, sapaan akrabnya.
Angel mengatakan, dalam program edukasi anak-anak tidak melulu belajar soal lingkungan. Mereka juga belajar mata pelajaran yang ada di sekolah. Pasalnya, tidak semua anak yang mengikuti program itu sekolah di sekolah biasa.
”Ada juga yang karena sudah putus sekolah atau tidak mau lagi sekolah. Ada yang dari putus sekolah kemudian akhirnya mau bersekolah lagi,” kata Angel.
Terdapat dua pengajar sukarela dalam program edukasi tersebut. Terkadang, mereka juga dibantu beberapa mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangkaraya (UPR).
Pernah kelam
Ketua Forum Masyarakat yang juga tokoh adat di Kereng Bangkirai Sabran Masli Usin (50) mengatakan, pada 1973-1974 di masanya masih sekolah, kawasan Sebangau merupakan hutan rindang. Menurut dia, meskipun dibelah Sungai Sebangau, hutan di sisi kiri dan sisi kanan menyatu oleh dahan dan ranting pohon-pohon besar.
Dulu itu orangutan dengan bebasnya bermain di pohon menyeberang dari hutan di seberang sungai. Sekarang ini hantu pun sulit untuk menyeberang.
Masuknya perusahaan kayu pada era 1980-an membabat habis kayu di kawasan Sebangau. Orangutan kehilangan habitatnya, tanah gambut pun kering akibat belahan kanal-kanal belasan kilometer. Kanal-kanal itu sampai sekarang masih ada, tetapi sudah disekat oleh pengelola TNS.
Setelah habis masa kontrak perusahaan tahun 2004 kawasan itu menjadi wilayah Taman Nasional Sebangau untuk konservasi dan pelestarian hutan. Sekat-sekat yang membelah wilayah yang luasnya mencapai 586.700 meter persegi itu pun disekat untuk membasahi gambut yang kering selama belasan tahun.
Kebakaran tahun 2015 merupakan dampak terparah dari keringnya lahan gambut akibat kanal-kanal yang membelah lahan tersebut. ”Semoga dengan banyaknya program konservasi pemerintah tidak ada lagi kebakaran,” kata Sabran.
Generasi lingkungan
Manajer Edukasi Bnf Joana Aragay mengatakan, program edukasi merupakan salah satu pendekatan kepada masyarakat agar mau ikut membantu melestarikan lingkungan dan memahami pentingnya konservasi alam. Melalui program ini diharapkan bisa membentuk sebuah generasi lingungan untuk selanjutnya.
Ini penting agar mereka sejak dini bisa paham pentingnya menjaga hutan, tidak hanya belajar, tetapi juga beraksi.
Joana mengaku selama ini pihaknya belum begitu banyak menemui kendala dalam menjalankan kegiatan tersebut. Namun, pihaknya sampai saat ini belum bisa membuat kelas untuk anak-anak yang belajar soal lingkungan.
”Kami menggunakan aula yang ada atau tempat terbuka, tetapi kadang kalau sedang belajar terganggu karena ini, kan, tempat wisata juga,” kata Joanna.
Kepala Balai Bahasa Kalimantan Tengah Harudin, yang hadir dalam kegiatan itu, mengapresiasi program edukasi tersebut. Menurut dia, lewat kegiatan tersebut, pihaknya sudah sangat terbantu karena apa yang menjadi visi dan misi Pusat Bahasa Kalteng, terutama dalam hal literasi, sudah terangkum dalam program tersebut.
”Ketika mereka beranjak dewasa, mereka akan merasakan manfaat belajar seperti ini, mungkin 10-15 tahun lagi. Mereka akan berterima kasih karena ada kegiatan seperti ini. Hidup ini, kan, mulai dari berbicara apa yang dibicarakan, dituliskan agar orang lain, bisa terinspirasi, itu tujuannya untuk mengetahui betapa kaya budaya literasi Indonesia,” kata Harudin.
Lebih lanjut ia mengatakan, dukungan yang ia berikan dalam kegiatan tersebut dengan menyuplai berbagai macam bahan bacaan untuk anak-anak, terutama yang berkaitan dengan lingkungan dan cerita rakyat Kalteng.
”Selain penyerahan buku, kami akan bantu gairahkan pengelolaan yang mereka lakukan. Memberikan arahan yang benar dan mengajak berkolaborasi. Ada pelatihan dan bimbingan kepada para pengelola kelompok ini,” katanya.
Festival Anak Sebangau menunjukkan bahwa perubahan itu belum terlambat. Meski pernah kelam, Taman Nasional Sebangau menjadi salah satu destinasi wisata paling digemari di Palangkaraya. Di sisi lain, banyak pengetahuan tentang alam Kalimantan yang tersimpan dan selalu dibagi kepada generasi penerus bangsa.