Friedrich Silaban, Arsitek 1912-1984 ditutup dengan diskusi bertajuk ”Pameran Arsitektur dan Arsitektur Pameran”. Sejatinya, kedua frasa ini mengantarkan pengunjungnya ke pelataran kisah dari seorang arsitek, tanah, hingga ruang kosong. Tentu, setelah pelataran, ada kekayaan lain yang membuncah dan belum mendapat tempat untuk unjuk diri.
Karya-karya dan arsip-arsip Fredrich Silaban ini dipajang dalam etalase kaca pada 7-24 November 2017 di Galeri Nasional, Jakarta. Penata Pameran Friedrich Silaban, Arsitek 1912-1984, Fauzia Evanindya, mengatakan, semakin mendekati pembukaan, ruang pameran didesain semakin sederhana. Tujuannya, untuk menonjolkan jiwa cerita tentang Silaban.
Menurut Fauzia, konten dan materi merupakan jantung pameran. Untuk memahami inti itu, dia dan tim mempelajari sosok F Silaban sejak pertengahan 2017 dari arsip. ”Setelah mengenal, ada kecintaan yang muncul pada arsip-arsip F Silaban. Cinta inilah yang mendorong kami untuk lebih memunculkan sosok F Silaban dibandingkan desain kami,” tuturnya dalam diskusi di Galeri Nasional, Jakarta, Jumat (24/11).
Berbagai macam surat, sketsa kerja, bahkan struk milik F Silaban ditampilkan. Tak ketinggalan, perkakas kerjanya pun ikut terpampang. Namun, Fauzia mengatakan, itu hanya secuil dari arsip-arsip dan peralatan yang tersimpan di ruang kerja F Silaban.
Dalam prosesnya, setelah mempelajari arsip, Fauzia dan tim memilah dan memilih materi yang merepresentasikan sosok F Silaban untuk ditampilkan. Contohnya, desain rancangan Masjid Istiqlal menjadi konten prioritas. Karena itu, gambar-gambar desain Istiqlal disusun dalam ruang tersendiri dengan desain berbeda. Hanya ruangan yang menunjukkan Istiqlal yang berdinding hitam, ruang lainnya putih. ”Kurator kami memang menekankan Istiqlal sebagai materi yang spesial dan mewakili hubungan antara desain Silaban dan salah satu ikon Indonesia,” tutur Fauzia.
Proses yang sama juga diterapkan Andro Kaliandi, penata pameran untuk stan Komite Buku Nasional di Frankfurt Bookfair, Jerman. Khususnya, dia memilah dan memilih arsitektur khas Indonesia untuk diterapkan dalam mengemas ekshibisi buku tersebut.
Tema ekshibisi untuk stan Indonesia adalah ”17.000 Islands of Imagination” atau ”17.000 Pulau Imajinasi”. Arsitektur pameran yang dipilih Andro terinspirasi dari lanskap Indonesia yang berundak dari tinggi ke rendah. Karena itu, dia mendesain instalansi semacam dinding yang berjajar dan berjarak. Dinding-dinding itu disusun dari tinggi ke rendah. Dia juga menggunakan bangku setelah dinding terendah untuk melengkapi susunannya.
Memilah dan memilih materi merupakan salah satu ”ritual” dalam menentukan arsitektur pameran dan pameran arsitektur. Pada dasarnya, tidak semua bisa ditampilkan dalam ekshibisi. Karena itu, prinsip pars pro toto atau sedikit mewakili semua diterapkan.
Hanya sedikit
Siapa sangka tanah milik Bumi Pertiwi begitu beragam. Dalam menceritakan pameran berjudul Tanahku Indonesia, kedua kurator berulang kali menekankan, hanya sedikit yang mereka tampilkan. Masih banyak kekayaan tanah Nusantara yang belum terangkat.
Adalah Yandi Andri Yatmo dan Paramita Atmodiwirjo yang menjadi kurator pameran itu. Sepasang suani-istri ini merupakan Guru Besar Arsitektur Universitas Indonesia.
Dalam Tanahku Indonesia terangkum ragam tanah di Indonesia, alat-alat dan cara pengolahannya, serta produk turunannya yang terwujud dalam arsitektur dan desain interior bangunan berdasarkan kearifan lokal. Yandi dan Paramita sepakat, setiap tanah akan berujung pada arsitektur dan desain interior yang berbeda.
Tanah Indonesiaku menampilkan 240 tanah berbeda dari 34 provinsi. Persiapannya memakan waktu empat bulan. Dalam mengumpulkan tanah dari beragam kawasan, Yandi dan Paramita dibantu oleh teman-teman dari Ikatan Arsitek Indonesia dari tiap daerah. Ternyata, mereka pun hobi mengoleksi tanah setiap berkunjung ke tempat-tempat tertentu. ”Setiap daerah memiliki kekhasan tanahnya masing-masing,” kata Yandi.
Hasil olahan tanah, seperti teraso, bata, dan genting, ikut unjuk gigi. Proses pengolahan tanah menjadi produk beragam itu juga berbeda-beda. Ada yang dipadatkan, dicampur, atau dibakar. ”Namun, jika diperinci, proses tersebut ternyata bervariasi. Misalnya dibakar. Ada yang dibakar dengan suhu tertentu atau waktu tertentu,” kata Paramita.
Perlakuan terhadap tanah dan produk turunannya yang beragam membuat perkakas dan alat-alat pengolahannya bervariasi. Paramita menunjukkan sebuah kain merah pudar pada presentasinya. ”Kain ini digunakan untuk mengangkut bata yang diolah dari tanah di pundak. Masih banyak lagi alat-alat yang terlibat dalam cerita tanah Indonesia. Namun, para perajin menolak untuk memberikannya kepada kami karena mereka membutuhkannya untuk bekerja,” tutur Paramita.
Indonesia kaya akan tanah yang beragam dari segi tekstur, kepadatan, warna, dan sifat fisik lainnya. Yandi mengatakan, variasi ini bergantung dari kawasan tempat tanah itu terbentuk. Tentunya, tak dapat terlepas dari proses-proses biologis, kimiawi, dan fisik yang berbeda-beda pengaruhnya.
Melihat keragaman itu, Yandi mempertanyakan mengapa tanah yang diolah oleh masyarakat setempat dengan kearifan lokalnya hingga menjadi material tertentu masih kalah saing dengan material-material impor. ”Material-material lokal ini perlu lebih diangkat lagi. Kalau memang masih kalah dari segi kualitas, kita libatkan disiplin ilmu lain, seperti teknik material. Tujuannya, supaya material lokal ini juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi,” ujarnya.
Pameran ini digelar di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, pada 8-12 November 2017. Yandi dan Paramita berharap berkesempatan untuk menggarap kelanjutan Tanah Indonesiaku dalam ekshibisi berikutnya.
Ruang kosong
Berbeda dengan Fauzia, Andro, Yandi, dan Paramita, Ary Indra belum menggelar pamerannya. Ary merupakan kurator terpilih untuk Paviliun Indonesia di Venice Architecture Biennale (VAB) 2018. ”Saya dan tim masih mematangkan konsep. Pastinya, kami akan menampilkan ruang kosong milik Indonesia dalam pameran internasional itu,” katanya.
Arsitektur pameran ataupun pameran arsitektur sesungguhnya baru menampilkan perwakilan-perwakilan kekayaan Indonesia. Keduanya mengantarkan penikmatnya untuk lebih mendalami lagi keragaman milik Ibu Pertiwi.
Tema yang ditentukan oleh penyelenggara Venice Architecture Biennale adalah ”Freespace”. Setelah melakukan riset dalam dua bulan terakhir, tim yang dipimpin Ary memilih konsep ”sunyata” sebagai jawaban tema itu yang mewakili Indonesia. Menurut Ary, sunyata merupakan salah satu konsep ruang kosong milik bangunan khas Nusantara. ”Tanpa kita sadari, di tiap bangunan atau hunian, ada ruang yang tidak diisi oleh perabotan dan sengaja dikosongkan. Tidak harus berupa ruangan, mungkin area tertentu yang demikian,” tuturnya.
Nantinya, sunyata akan diwujudkan di Venesia pada 26 Mei sampai 25 November 2017. Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Ekonomi Kreatif Indonesia sekaligus Ketua Komisioner Paviliun Indonesia untuk VAB 2018 Ricky Pesik menyampaikan, sunyata merepresentasikan Indonesia dalam ranah arsitektur kontemporer.
Arsitektur pameran ataupun pameran arsitektur sesungguhnya baru menampilkan perwakilan-perwakilan kekayaan Indonesia. Keduanya mengantarkan penikmatnya untuk lebih mendalami lagi keragaman milik Ibu Pertiwi. Kini, pilihan ada di tangan kita, merefleksikan lebih jauh atau langsung balik kanan dari pelataran. (DD09)