Tersingkir dari Tanah Sendiri
Olina mengipasi anak bungsunya, Ekisol, dengan tangan. Si bocah yang baru berusia 15 bulan ini tidur telanjang di lantai beralas plastik dan kardus. "Panas. Tidak biasa to. Di atas (Kampung Kimbely) dingin," ujarnya mengenang kampungnya yang terpaksa ditinggalkan.
Ibu tiga anak ini adalah warga Kampung Kimbely, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Bersama ribuan warga dari Kampung Banti, Kimbely, Utikini, dan Opitawak, dia turun ke Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, sebagai dampak konflik bersenjata yang tengah terjadi.
Rabu (22/11) malam itu adalah hari ketiga dia berada di gedung pengungsian Eme Neme Yauwere di jantung kota Mimika. Serupa dengan ibu-ibu lain dan anaknya, dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru. "Di Kimbely itu dingin. Tidak sama di sini," ujar Olina. Dia memilih lokasi tidur di dekat alat pendingin udara.
Dua anak kembarnya yang berusia tujuh tahun, Jeki dan Deri, berlarian di dekatnya. Dua anak tersebut sudah tidak sekolah selama beberapa waktu akibat dampak konflik berlarut-larut ini.
Olina dan keluarga di Kimbely hidup dari kebun kecil dan ternak. Namun, kebutuhan sehari-hari diperoleh dari hasil mendulang emas sang suami. Seorang pendulang dalam seminggu bisa mendapatkan 1 gram emas atau sekitar Rp 500.000. Uang itu dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Kampung Kimbely berada di Distrik Tembagapura, sekitar 3 kilometer dari zona aman di kantor penambangan PT Freeport Indonesia, tepatnya di Mil 68. Kampung itu diapit dua bukit dengan ketinggian berkisar 300-400 meter. Karena itu, Kimbely menjadi zona paling rawan dalam evakuasi.
"Kami tidak tahu apa-apa. Di atas beras su mau habis, jadi kami turun," kata Olina. Di depan, tetua adat sedang berbicara dan meminta agar ada lokasi baru bagi warga.
Sebanyak 804 warga Kampung Banti, Kimbely, Opitawak, dan Utikini masih berada di posko pengungsian setelah keluar dari kampung, Senin lalu. Sebelumnya, pada Jumat, 384 warga pendatang telah dievakuasi terlebih dahulu.
Hingga Kamis malam, bantuan terus berdatangan di lokasi pengungsian. Matras dan selimut dari Kementerian Sosial, makanan dari sejumlah donatur dan pakaian dari Palang Merah Indonesia serta instansi lainnya. Akan tetapi permasalahan tidak berhenti di situ. Mereka cemas akan masa depan.
Tak kunjung usai
Konflik bersenjata antara aparat dan kelompok kriminal bersenjata adalah alasan mereka untuk turun. Apalagi, makanan mereka menipis dan layanan kesehatan serta pendidikan telah terhenti sejak Oktober lalu.
Sementara sekitar 4.900 saudara mereka yang tidak ingin meninggalkan rumah dan ternak memilih bertahan di kampung. Sebagian besar dari mereka berasal dari suku Amungme, Dani, Moni, dan suku-suku lain.
Konflik bersenjata bukan hal baru bagi warga di Distrik Tembagapura, Papua, secara umum. Teror, penembakan, pembunuhan, hingga aksi saling tembak antara kelompok bersenjata dan aparat sudah sangat sering terjadi. Pertumpahan darah bukan hal baru di wilayah ini.
Sejak masuknya Irian Barat-sekarang Papua-ke Indonesia dan dimulainya eksplorasi tambang emas Freeport pada dekade 1960-an, konflik telah terjadi. Mereka tidak ingin Gunung Ertsberg dijamah karena menurut kepercayaan suku Amungme, suku pemilik tanah ulayat yang menjadi lokasi konsesi, tempat itu merupakan tempat arwah mereka kembali setelah mati.
Konflik terus berlanjut sampai kini. Penembakan-penembakan yang digawangi Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka bertujuan ingin menghentikan eksploitasi di tanah Papua. Mereka ingin Papua merdeka dan mengatur sendiri wilayahnya.
Dari awal Oktober hingga pertengahan November saja terjadi lebih kurang 12 kali penembakan dan aksi saling tembak.
Dari kejadian ini, 12 orang luka dan 2 orang tewas. Pada pertengahan Oktober terjadi eskalasi sehingga akses pendidikan dan kesehatan terhenti total. Warga dari sejumlah kampung lalu memilih mengungsi di Kimbely. Akan tetapi, dua kampung itu telah dikuasai oleh kelompok bersenjata.
Selama tiga minggu, warga bertahan di kampung dengan kondisi seadanya. Mereka makan dengan persediaan pangan yang semakin menipis.
Mereka terisolasi dan tidak bisa keluar dari kampung untuk mencari makanan dan bekerja seperti biasanya. . Untuk keluar kampung, mereka takut terjebak dalam adu tembak.
Konflik yang terus terjadi membuat resah warga. Apalagi, eskalasi konflik kali ini sudah sangat tinggi. Warga Kampung Kimbely sudah tidak nyaman menetap di kampung saat ini.
"Sedikit-sedikit ada teror, sedikit-sedikit mengungsi. Su gelisah terus," kata Mendinus Mahai, seorang warga.
Tempat baru
Dengan kondisi seperti itu, kehidupan sehari-hari warga tidak bisa berjalan normal. Jika berlarut-larut, hal tersebut mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. Karena itu, dia berharap pemerintah membantu masyarakat agar memiliki tempat baru yang aman dan lebih dekat ke kota.
Kepala Suku Besar Tembagapura Kamaniel Waker menyampaikan, masyarakat tidak tahu-menahu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, karena terpaksa, mereka harus meninggalkan kampung dan turun ke kota. "Di atas itu untuk tinggal (sebenarnya) bagus," kata Kamaniel.
"Tetapi, karena ada kerusakan terus, ada ancaman juga, anak-anak tidak bisa sekolah. Ada masalah lari lagi, pemerintah juga lari. Masalah tidak selesai karena pemerintah tidak pernah kasih perhatian. Yang diperhatikan di kota terus," ujarnya.
Kamaniel mencontohkan, ketika ada kejadian-kejadian di kampung, baik kebakaran, longsor, maupun konflik, pemerintah tidak bergerak cepat untuk menyelesaikan. Masyarakat dibiarkan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Oleh sebab itu, setelah berembuk dengan warga, termasuk dari kampung dan suku lain, Kamaniel berharap pemerintah membantu membangunkan lokasi perumahan baru. Masyarakat sukunya memiliki tanah ulayat di Mil 32 yang lebih dekat ke kota dan relatif lebih aman.
Dengan begitu, dia berharap anak-anak bisa melanjutkan sekolah dengan baik dan kehidupan warga bisa lebih aman.
"Tapi, kampung kami tidak ditinggalkan. Itu tanah kami, tempat nenek moyang. Kalau aman, kami yang laki-laki kembali lagi cari uang di atas. Kami ingin anak-anak bisa sekolah dengan tenang. Kami ini bodoh dan hampir lagi mati, tapi anak-anak jangan (ikut bodoh)," tutur Kamaniel.
Tokoh pemuda suku lain, Mendinus Mahai (32), mengungkapkan, lokasi baru dibutuhkan untuk menetap sementara bagi warga. Apalagi, orangtua dan anak-anak sudah sulit untuk naik.
"Anak-istri saya masih di kampung (Kimbely), keluarga juga ada di Banti. Saya harus pulang karena di atas adalah tanah warisan kami," ujarnya.
Konflik di tanah Papua tidak kunjung usai. Sekali lagi, yang menjadi korban adalah masyarakat luas yang tidak tahu apa-apa. Mereka harus mengungsi, berpindah, dan cemas akan masa depan.
Mereka terus tercerabut dari akar sosial dan hidup dalam situasi yang tidak tentu. Namun, mereka tidak ingin kehilangan harapan dan terus berharap pada pendidikan anak cucu.