Luka Salma, Potret Buram Kita
Tiada cahaya di wajah Siti Salma (8). Senyum bocah warga Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, itu lama pudar. Tubuh kecilnya tergolek di atas ranjang RSUD Syamsuddin, Kota Sukabumi. Potret buram kesehatan Jawa Barat selatan itu tergurat di perutnya.
Sepuluh hari sebelumnya, Salma baru keluar dari ruang bedah. Infeksi di perut pasca-operasi radang usus buntunya harus segera ditangani. Diklaim membaik, perban 15 sentimeter masih terpasang di balik kaus merahnya. Salma lebih banyak diam saat diajak bicara. Ia masih meringis menahan sakit saat mengubah posisi tidurnya.
"Salma sedang proses penyembuhan, lukanya masih sakit kalau dipegang. Sudah ingin makan nasi, tapi belum bisa," kata Siti Masriva (33), ibunda Salma.
Wahyu Handrian, Ketua Tim Penanganan Informasi dan Keluhan RSUD Syamsuddin, mengatakan, pasca-operasi, Salma masih harus dirawat intensif guna mengembalikan fungsi pencernaannya. Sebelumnya, dia dirawat di RSUD Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi.
Didiagnosis menderita radang usus buntu untuk pertama kalinya di RSUD Jampang Kulon, perut Salma dibedah di sana. Kepala Sub-Bagian Kepegawaian dan Umum RSUD Jampang Kulon Encang Rukmana menuturkan, Salma dirawat 11 hari di RSUD itu. Namun, operasi itu berujung buah bibir di media sosial. Foto bekas operasinya viral. Tindakan RSUD Jampang Kulon ditanggapi negatif banyak kalangan. Isinya seputar penyebab infeksi hingga bentuk jahitan yang tidak ideal.
Encang membantah tudingan bahwa pihaknya tak profesional. Ia mengatakan, prosedur operasi sudah benar. Infeksi bukan disebabkan bentuk jahitan, melainkan perawatan kesehatan Salma di rumahnya.
Korban
Lepas dari semua perdebatan, Salma tetaplah korban. Di usia belia, dia terpapar imbas kemiskinan, minim informasi, hingga karut-marut tata kesehatan di negeri ini.
Sejak usia 18 bulan, Salma tak mendapat perhatian cukup dari orangtuanya. Ayahnya, Rayadi, meninggal. Dia juga tinggal jauh dari ibunya.
Masriva bekerja sebagai buruh pabrik dan membuka warung kecil-kecilan di Kota Sukabumi, berjarak 100 kilometer dari Ciemas. Hanya 3-6 bulan sekali Masriva pulang menemui Salma. Di Kota Sukabumi, Masriva tinggal bersama anak dari pernikahan pertama yang berujung perceraian. Tak mampu menanggung biaya hidup Salma, Masriva menitipkan sang anak pada ayahnya, Aep Saepudin, yang sudah berusia 60 tahun.
Akan tetapi, hidup Aep juga jauh dari cukup. Setelah cerai dengan istri pertama, dia tinggal bersama istri keduanya, Sulastri. Untuk hidup, Aep hanya mengandalkan penghasilan minim dari pekerjaan sebagai nelayan tradisional. Penghasilannya tak lebih dari Rp 300.000 per bulan. Imbasnya, kualitas hidup dan kesehatan Salma berantakan.
Salma minim asupan gizi. Ditambah kondisi sanitasi rumah tak ideal, ia hidup di lingkungan tak sehat. Kondisi rumah Aep jauh dari layak. Kamar mandi, misalnya, berada di luar rumah dan berlantai tanah. Dinding kayunya usang. Tak ada tangki septik penampung kotoran.
Hari Kurnia (28), paman Salma, mengungkapkan, pola makan keponakannya tidak teratur. Salma makan tiga hari sekali jika ada rezeki dari laut. "Kami keluarga miskin. Tak paham makanan sehat. Bisa makan saja sudah bersyukur," kata Hari. Dia juga nelayan. Saat ditemui, Hari sudah sebulan terakhir tak melaut akibat cuaca buruk.
Negara juga seperti tak hadir di tepi Samudra Indonesia itu. Baik Aep maupun Salma tak punya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Padahal, rumah mereka hanya berjarak 205 km atau delapan jam perjalanan darat dari Jakarta.
Akibatnya fatal. Saat hendak berobat ke RSUD Jampang Kulon, Aep harus meminjam kartu Jamkesda milik tetangga. Meski menyimpang, pilihan itu jadi jalan pintas menyelamatkan nyawa Salma. Aep mengatakan baru jadi peserta JKN setelah Salma dirawat di RSUD Syamsuddin.
"Dengan JKN, Salma bisa berobat gratis. Namun, sekarang saya menumpuk utang. Pergi-pulang menemani Salma habis Rp 6 juta. Semuanya uang utang. Tidak tahu kapan bisa melunasinya," kata Aep lesu.
Kasus Salma kembali memunculkan nestapa. Pelayanan kesehatan di Jabar selatan masih saja suram di era milenial seperti saat ini.
RSUD Jampang Kulon, misalnya, berjarak 70 km dari rumah Salma. Aep dan Salma harus menempuh perjalanan empat jam menuju ke sana dengan ojek sepeda motor. Ongkosnya Rp 200.000 pergi-pulang. Kisah buram menebal dengan fakta keduanya tak terdaftar di Jamkesda dan JKN.
Kepala Dinas Kesehatan Jabar Dodo Suhendar mengakui keterbatasan sarana kesehatan di wilayah selatan Jabar. Saat ini ada tiga RSUD di Kabupaten Sukabumi, yaitu Palabuhanratu, Sekarwangi, dan Jampang Kulon. Selain menambah rumah sakit, alternatif lain adalah meningkatkan status puskesmas menjadi rumah sakit. "Kami akan terus upayakan menambah fasilitas pengobatan dan dokter spesialis," ujar Dodo.
Jumlah peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga harus ditingkatkan. Data BPJS Kesehatan Regional V Jabar menunjukkan, hingga Maret 2017, jumlah peserta BPJS Kesehatan di Jabar 29,1 juta orang dari total 46 juta jiwa penduduk Jabar.
Dari jumlah penduduk itu, 4,16 juta jiwa hidup miskin dengan pendapatan per kapita per bulan tak lebih dari Rp 344.347. Dengan pendapatan sekitar 300.000 per hari, Aep jadi salah satu warga yang harus susah payah menjamin hidup kerabatnya, termasuk Salma.
Jarum jam di RSUD Syamsuddin bergerak menunjukkan pukul 12.00. Waktunya Salma makan siang. Menu siang itu bubur, sayur bayam, ayam goreng, tahu, dan pisang. Namun, tak banyak yang dimakan Salma, hanya tahu dan sedikit bubur. "Salma maunya nasi, sudah bosan bubur. Salma mau sehat, tidak mau sakit lagi," ujar Salma.
Nasi sudah menjadi bubur. Kondisi kesehatan Salma boleh jadi membaik. Namun, dia memberi pelajaran. Semoga lukanya tak menimpa lagi manusia lain di negeri ini.