Mereka yang Berjuang dalam Senyap
”Semuanya dalam posisi. Petakan lokasi musuh. Tentukan jam J. Laksanakan!” perintah Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal George Supit melalui radio handy talkie.
Beberapa detik kemudian terdengar bunyi ledakan dari delapan mortir yang ditembakkan ke Kampung Utikini yang merupakan salah satu lokasi keberadaan kelompok kriminal bersenjata yang menyatakan dirinya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka.
Jumat (17/11) tepat pukul 07.00 WIT, 63 anggota TNI Angkatan Darat memulai operasi penyelamatan 1.300 warga yang terisolasi di tiga kampung, yakni Utikini, Banti dan Kimbely. Kampung-kampung tersebut dikuasai kelompok separatis pimpinan Ayub Waker selama satu bulan terakhir.
Sebanyak 63 anggota TNI AD ini terdiri dari empat satuan, yakni Komando Pasukan Khusus, Batalyon 751/Raider Sentani, Batalyon 754/Eme Neme Kangasi, dan peleton Intai Tempur Kostrad.
Upaya penyelamatan warga sangat ditentukan oleh upaya maksimal 63 anggota TNI yang menguasai empat lokasi tempur kelompok separatis, yakni Gunung Sangker, Kali Kabur, Kampung Utikini, dan Kampung Opitawak.
Kelompok separatis ini memiliki 150 personel yang berasal dari sejumlah daerah, yakni Timika, Kali Kopi, Ilaga, Mulia, dan Paniai. Jumlah senjata yang dikuasai kelompok sebanyak 40 pucuk.
Selama lima hari operasi penyelamatan, hujan deras selalu mengguyur tubuh mereka. Pada malam hari, cuaca berkabut dan suhunya turun dari 8 derajat celsius hingga 5 derajat celsius.
Operasi penyelamatan oleh 63 anggota TNI ini telah dimulai pada 13-17 November 2017. Selama lima hari operasi penyelamatan, hujan deras selalu mengguyur tubuh mereka. Pada malam hari, cuaca berkabut dan suhunya turun dari 8 derajat celsius hingga 5 derajat celsius.
Mereka berjalan kaki sejauh 4 kilometer selama 72 jam melewati sejumlah tebing dengan ketinggian 300 meter hingga 400 meter. Elevasi tebing yang dilewati mereka terkadang di atas 90 derajat. Jalan yang dilewati sangat licin dan berlumut. Untuk menuruni tebing dengan ketinggian di atas 10 meter, sejumlah anggota tersebut harus menggunakan tali.
Prajurit Kepala Fitra Musa dari satuan Kopassus mengungkapkan, selama 48 jam sebelum operasi penyelamatan, anggota di lapangan tidak mengonsumsi makanan apa pun.
”Jarak kami sudah dekat dengan pos musuh. Karena itu, kami tidak mengonsumsi makanan agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Kami hanya minum air dan makan dedaunan,” ungkap pria asal Ternate, Maluku Utara, ini.
Prajurit Kepala Fitra Musa dari satuan Kopassus mengungkapkan, selama 48 jam sebelum operasi penyelamatan, anggota di lapangan tidak mengonsumsi makanan apa pun.
Sementara itu, 20 personel peleton Intai Tempur Kostrad memantau lokasi musuh selama lima hari dari pukul 06.00 hingga pukul 17.00. Dalam upaya pengintaian, mereka membuat gerakan membeku atau tidak bergerak hingga di atas 10 jam.
”Selama lima hari, kami sama sekali tidak beristirahat. Tujuannya agar kami selalu bersiaga dan bisa memantau lokasi persembunyian dan kelemahan musuh,” kata Sersan Kepala Johny Tanam, salah satu anggota peleton Intai Tempur Kostrad.
Akhirnya dalam waktu dua jam, 63 prajurit ini berhasil mengusir kelompok separatis tersebut dari tiga kampung. Dua anggota kelompok tersebut tewas tertembak dan satu pucuk senjata jenis pistol berhasil direbut.
Setelah tiga kampung itu berhasil dikuasai, barulah Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar dan Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih Mayor JenderalGeorge Supit beserta 200 personel tim Satgas Operasi Terpadu dengan berjalan kaki ke Kimbely untuk mengevakuasi warga.
Semula hanya 344 warga yang dievakuasi pada saat itu. Kemudian menyusul 806 warga setempat juga dievakuasi pada Senin (20/11) karena merasa trauma. Saat ini mereka telah berada di Kota Timika dalam kondisi selamat.
Raih penghargaan
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengapresiasi upaya 63 anggota TNI yang rela mengorbankan nyawanya demi operasi kemanusiaan tersebut. Gatot pun memberikan kenaikan pangkat luar biasa (KPLB) bagi 58 anggota TNI di Kampung Utikini pada Minggu (19/11).
Sementara lima anggota lainnya yang berstatus perwira secara halus menolak penghargaan itu. Mereka pun diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan terlebih dahulu dibandingkan rekan-rekan seangkatannya.
”Bagi kami berlima, keberhasilan adalah milik anak buah dan kegagalan adalah tanggung jawab pimpinan. Saya mempersembahkan keberhasilan ini untuk kedua orangtua di Bandung,” tutur Letnan Satu Syukma Putra Aditya, salah satu perwira yang tak mau menerima KPLB.
Bagi kami berlima, keberhasilan adalah milik anak buah dan kegagalan adalah tanggung jawab pimpinan.
Bagi Pangdam XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal George Supit, penyelamatan 1.300 warga Tembagapura merupakan operasi penyelamatan tersukses yang kedua setelah operasi Mapenduma di Kabupaten Nduga pada 1996.
Milka Vania (34), salah seorang warga yang berhasil dievakuasi dari Kampung Kimbely, mengaku terharu dengan pengorbanan anggota TNI dan Polri untuk menyelamatkan mereka dari aksi teror kelompok separatis tersebut.
”Kami sudah berpasrah diri karena seluruh pasokan makanan dan obat-obatan telah habis. Teryata Tuhan mendengar doa kami dan mengirimkan mereka sebagai penyelamat,” ungkap ibu dari satu anak ini.