Kader Golkar Terus Upayakan Pencopotan Setya Novanto
JAKARTA, KOMPAS — Meski rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar memutuskan tetap mempertahankan Setya Novanto sebagai ketua umum dan menunjuk Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham sebagai pelaksana tugas ketua umum, sejumlah kader partai beringin tetap menggulirkan nama-nama calon pengganti Setya Novanto, baik di partai maupun di DPR. Setya Novanto yang saat ini ditahan KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik menolak untuk diganti sebagai Ketua DPR ataupun Ketua Umum Partai Golkar.
Secara khusus, Setya Novanto mengirim surat dari tahanan melalui pengacaranya yang ditujukan kepada pimpinan DPR ataupun DPP Partai Golkar. Isi suratnya meminta agar posisinya, baik sebagai Ketua DPR maupun Ketua Umum Partai Golkar, tidak diganti selama dia menghadapi proses hukum.
Namun, sejumlah kader Partai Golkar menilai upaya mengganti Novanto tetap harus dilakukan karena itu merupakan langkah untuk menyelamatkan partai yang elektabilitasnya dinilai semakin menurun.
Rapat pleno DPP Partai Golkar yang digelar selama delapan jam di kantor DPP Golkar, Selasa (21/11), memutuskan posisi Setya Novanto aman sampai diperoleh hasil praperadilan yang diajukan pengacaranya. Apabila Setya Novanto menang di praperadilan, posisinya akan aman di Golkar. Namun, jika putusan praperadilan memenangkan KPK, DPP Partai Golkar akan segera menggelar musyarawarah nasional luar biasa untuk mengganti Setya Novanto sebagai ketua umum.
”Pada rapat pleno DPP Golkar, kemarin, saya mengusulkan Airlangga Hartarto, Kahar Muzakir, atau Nusron Wahid yang menjadi plt ketum, tetapi keputusannya seperti yang kita lihat bersama, Idrus yang menjadi plt. Malam hari sebelum rapat, saya telepon Pak Idrus untuk jangan ambil posisi plt karena dia sudah jadi sekjen (sekretaris jenderal),” tutur Ridwan Hisjam, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, seusai diskusi bertajuk ”Partai Golkar Mencari Pemimpin Baru” yang diselenggarakan oleh DPP Barisan Muda Kosgoro 1957, di Jakarta, Rabu (22/11).
Pada rapat pleno DPP Golkar, kemarin, saya mengusulkan Airlangga Hartarto, Kahar Muzakir, atau Nusron Wahid yang menjadi plt ketum, tetapi keputusannya seperti yang kita lihat bersama, Idrus yang menjadi plt.
Dalam diskusi tersebut, turut hadir sebagai pembicara Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Tengah Wisnu Suhardono, Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, dan kader Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia. Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono juga hadir dalam acara diskusi tersebut.
Ihwal posisi Novanto, Ridwan Hisjam mengaku telah meminta Novanto mundur dari posisinya, baik sebagai Ketua DPR maupun Ketua Umum Partai Golkar. Menurut dia, hal itu semata untuk menyelamatkan partai dari pandangan negatif masyarakat saat ini karena dugaan kasus korupsi yang menjerat Novanto.
”Saya sudah empat kali bertemu Novanto secara empat mata, baik itu di rumahnya maupun di kantornya (DPR). Saya minta melepaskan jabatannya sebagai Ketum Golkar dan Ketua DPR. Akan tetapi, dia masih ingin bertahan, dia yakin tidak terlibat (korupsi proyek KTP elektronik) dan akan memenangi praperadilan. Saya pribadi yang sudah mengenal Novanto sejak di Jawa Timur tahun 1990 akan mendukung Novanto berproses hukum dengan KPK. Akan tetapi, persoalan partai harus dipisahkan dengan memperhatikan masyarakat,” papar Ridwan.
Saya sudah empat kali bertemu Novanto secara empat mata, baik itu di rumahnya maupun di DPR. Saya minta melepaskan jabatannya sebagai Ketum Golkar dan Ketua DPR.
Menurut Ridwan, terdapat beberapa nama pengganti Novanto untuk kursi Ketua DPR. Nama-nama tersebut, antara lain, dirinya sendiri sebagai Wakil Ketua Fraksi Golkar, Ketua Fraksi Partai Golkar Robert J Kardinal, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo, Ketua Komisi II Zainudin Amali, Ketua Badan Anggaran DPR Azis Syamsuddin, Sekretaris Fraksi Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Ketua Koordinator Bidang Kepartaian Golkar Kahar Muzakir.
”Hal terpenting dari nama-nama itu harus ada yang berani konfirmasi ke KPK, jangan sampai nanti muncul lagi di KPK sebagai tersangka karena semua masih rawan. KPK, kan, mengatakan, banyak yang masih bermasalah. Nanti dikroscek saja ke setiap nama-nama itu. Kami, kan, punya ’kuping’ banyak juga,” tutur Ridwan.
Terkait pengganti ketua umum, Ridwan menawarkan tiga alternatif yang dapat ditempuh. Alternatif pertama adalah dengan mengembalikan Golkar ke masa kejayaannya dengan memasang kembali Akbar Tandjung dan Agung Laksono di pucuk kepemimpinan Partai Golkar. Alternatif kedua adalah mengembalikan Golkar untuk dipimpin oleh golongan TNI dan keluarga Cendana, seperti Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Titiek Soeharto, dan Indra Bambang Utoyo. Sementara itu, alternatif ketiga yang dapat dipilih adalah memilih generasi muda, seperti Airlangga Hartarto.
Masa Golkar tidak memiliki figur yang kuat untuk memimpin? Golkar punya banyak kader. Jangan sampai partai hancur karena tindakan orang per orang.
Sementara itu, menurut Ray Rangkuti, Golkar mutlak harus segera mencari figur pengganti Setya Novanto. Hal itu agar masyarakat dapat memisahkan persoalan individu yang menjerat Setya Novanto dengan Golkar sebagai organisasi.
”Masa Golkar tidak memiliki figur yang kuat untuk memimpin? Golkar punya banyak kader. Jangan sampai partai hancur karena tindakan orang per orang,” ujar Ray.
Menemui Jusuf Kalla
Menurut Bupati Purwakarta yang juga Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, persoalan yang menimpa Golkar saat ini ikut memengaruhi berkurangnya suara partainya di daerah. Dia mengatakan, elite Partai Golkar saat ini belum mempertimbangkan pandangan masyarakat umum tentang partainya. Elite hanya mementingkan posisinya sebagai pejabat teras partai.
”Saya lihat ada kegenitan luar biasa dalam elite Golkar untuk terus berebut kekuasaan kepada kepemimpinan, tetapi tidak menyadari bahwa hari ini kantong-kantong suara Golkar sudah tidak ada. Pertanyaannya, kalau kita bergengsi jadi elite DPP Partai Golkar ketika turun ke daerah tidak ada ruang bagi masyarakat yang datang, kecuali masyarakat yang dimobilisir yang kemudian diberikan ’amplop’ pulangnya, apa artinya berpartai,” tutur Dedi setengah bertanya.
Dedi mengakui, elektabilitas Partai Golkar saat ini telah turun 6 persen dari 18 persen di survei terakhir. Turunnya elektabilitas itu salah satunya disebabkan adanya permasalahan dugaan kasus korupsi yang menjerat elite Partai Golkar di tingkat nasional.
Sudah banyak DPD yang menginginkan adanya perubahan, yang artinya bukan harus munaslub. Akan tetapi, jika musyawarah tidak ditempuh, ya, kami akan mengambil langkah konstitusi organisasi.
Bersama beberapa ketua DPD I yang lain, Dedi mengaku telah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membicarakan permasalahan yang tengah melanda Golkar saat ini. Dari pertemuan itu diharapkan terjadi perubahan struktur kepemimpinan partai ataupun kultur mekanisme kandidasi Partai Golkar agar dapat bertahan di setiap pertarungan politik.
”Kami berharap persoalan pergantian kepemimpinan dapat dibicarakan baik-baik dengan musyawarah. Sudah banyak DPD yang menginginkan adanya perubahan, yang artinya bukan harus munaslub. Akan tetapi, jika musyawarah tidak ditempuh, ya, kami akan mengambil langkah konstitusi organisasi (2/3 DPD mengajukan munaslub), tetapi sebaiknya dihindarkan,” kata Dedi.
Dedi mengusulkan perubahan kepemimpinan di elite Golkar dapat dilakukan segera. ”Kalau Pak Agung Laksono kasih rekomendasi selambat-lambatnya akhir Desember, saya awal Desember. Hal itu karena Januari sudah masuk tahapan awal pilkada. Sudah tidak ada lagi waktu untuk mengubah diri (kepemimpinan partai). Jika tidak mengubah diri pada tahun ini, nanti berat hal yang dihadapi tahun 2019,” papar Dedi.
Menurut Agung Laksono, perubahan kepemimpinan Golkar melalui munaslub dipandang dapat memberikan kepastian terhadap Partai Golkar. Meski demikian, setiap kader Golkar saat ini harus tetap menghargai dan menghormati Setya Novanto yang juga telah berjasa sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
”Dengan adanya munaslub itu ada kepastian. Itu yang tidak tergambar dalam keputusan kemarin (keputusan rapat pleno DPP Partai Golkar), apalagi hal yang berikutnya sepertinya Pak Idrus Marham seolah menjadi tunggal di Golkar dengan menjadi plt ketum dan sekjen, ini kurang bagus. Sebagai kader, saya menghendaki diubah, masih ada waktu. Apalagi, ada suara-suara dari DPD I, yang sekian puluh menghadap Pak Jusuf Kalla dan mengatakan siap mengambil alih partai. Ini jangan sampai terjadi dan perlu dihindari,” tutur Agung.
Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan menilai, secara institusional kepartaian, Partai Golkar akan tetap aman. Namun, kasus dugaan korupsi yang menjerat Setya Novanto akan berpengaruh terhadap elektabilitas Partai Golkar.
”Masalahnya saat ini ada dua tarikan dalam Partai Golkar. Tarikan pertama berasal dari kelompok pembaru Golkar, sementara tarikan kedua merupakan jajaran elite yang masih berpegang teguh kepada Novanto. Tarikan kedua inilah yang masih memiliki posisi paling kuat. Beberapa langkah penyelamatan dapat ditempuh tergantung bagaimana kesepakatan antarkedua kelompok di jajaran elite tersebut,” ujar Rafif. (DD14)