JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah didorong segera menjadwalkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sehingga bisa secepatnya ditetapkan sebagai undang-undang. Keberadaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan akan meningkatkan perlindungan terhadap anak-anak dan perempuan dari praktik kekerasan seksual yang kian marak akhir-akhir ini.
Bahkan, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Kongres Wanita Indonesia (Kowani) beserta sejumlah organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif mengadvokasi korban-korban kekerasan seksual berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera dibahas dan ditetapkan sebelum DPR sibuk dengan persiapan Pemilihan Umum 2019.
”Kami berharap sembilan jenis kekerasan seksual tetap masuk dalam RUU PKS sebagai tindak pidana. Kami tetap akan tetap mengawal agar jenis kekerasan seksual seperti pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual tetap masuk dalam RUU tersebut,” tutur Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo, Rabu (22/11), di Jakarta.
Kemarin, Komnas Perempuan dan Kowani menggelar ”Diskusi Pendalaman Elemen Kunci RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Kantor Kowani, Jakarta. Selain diskusi tentang pendalaman elemen kunci RUU PKS, dibahas juga perumusan strategi advokasi dalam mengadvokasi elemen kunci RUU PKS.
Dalam diskusi, Komnas Perempuan dan Kowani serta para perwakilan organisasi masyarakat sipil membahas berbagai hal yang terkait elemen kunci RUU PKS. Misalnya, perlunya RUU PKS mengatur ketentuan mengenai acara pidana kekerasan seksual untuk memberikan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Sebab, selama ini, korban, keluarga korban, dan pendamping sering mengalami hambatan ketika mencari keadilan melalui sistem peradilan pidana.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur perlunya dilakukan pendampingan secara medis atau psikologis kepada perempuan korban, tidak ada pengaturan tata cara khusus dalam proses berita acara pemeriksaan terhadap perempuan korban, termasuk pengaturan hak korban atas informasi.
KUHAP mengatur perlindungan hak tersangka/terdakwa cukup rinci, tetapi pengaturan yang terkait hak korban sedikit sekali di KUHAP.
Direktur LBH APIK Veni Siregar menilai aspek pemulihan korban sangat penting diatur dalam RUU PKS. Tanpa ada proses pemulihan bagi korban sebelum menghadapi peradilan pidana, dampaknya sangat besar bagi korban, terutama korban akan mengalami trauma yang berkepanjangan.
”Korban harus mendapat pemulihan dalam arti luas, termasuk pemulihan berbasis komunitas masyarakat sangat penting karena ada pandangan di masyarakat korban kekerasan seksual masih dipandang sebagai pembawa aib,” tutur Veni.
Selain membahas berbagai hal yang terkait dengan elemen kunci dalam RUU PKS, sejumlah peserta diskusi juga berharap media untuk ikut mengawal proses RUU PKS di DPR.
Inten dari Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan menyatakan, kegiatan pendalaman elemen kunci RUU PKS akan terus dilanjutkan Komnas Perempuan dan Kowani. Dokumen enam elemen kunci akan disebarluaskan dengan bahasa yang mudah dibaca sesuai dengan konteks.