Anda yang di Jakarta dan Bandung, pernahkah melihat nanas yang bentuknya ramping, berwarna kuning keemasan dengan panjang 20-an cm? Kalau ragu membayangkannya, lihat saja foto di bawah. Namanya nanas madu. Pada tingkat kematangan penuh, nanas itu sangat manis dengan daging buah berwarna kuning keemasan jernih.
Nanas seperti gambaran di atas, boleh jadi berasal dari beberapa kampung di Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau (sekitar 160 kilometer dari Pekanbaru). Mengapa demikian? Setiap pekan, puluhan truk mengangkut nanas dari sentra perkebunan nanas terbesar di Riau itu, ke seluruh penjuru Sumatera, seperti Medan, Padang dan Jambi. Kini nanas Riau, sudah pula merambah ke Pulau Jawa.
Namun di Riau sendiri, masih banyak orang yang tidak menyangka bahwa produsen nanas terbesar berada di Sungai Apit. Dapat dimaklumi karena selama ini, nanas yang beredar di pasar Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, selalu disebut nanas Kualuh atau nanas Kampar. Kualuh adalah sebuah desa di Kabupaten Kampar, yang berbatasan langsung dengan Kota Pekanbaru.
Penamaan itu memang tidak terlalu salah. Kualuh adalah sentra perkebunan nanas pertama di Riau. Selama puluhan tahun, hanya Kualuh atau Kampar yang memproduksi nanas di Riau. Adapun nanas Sungai Apit, baru berkembang dalam lima tahun belakangan. Dan yang membawa nanas ke daerah baru itu ternyata orang Kualuh yang pindah ke Sungai Apit.
Meski belakangan berkembang, kini Sungai Apit justru berkembang sangat pesat menjadi sentra utama nanas, bahkan mengalahkan Kualuh yang kini berubah menjadi pemukiman baru. Diperkirakan, luas tanaman nanas Sungai Apit, sudah mencapai 2.000 hektar yang tersebar, terutama di Kampung (Desa) Teluk Batil, Tanjung Kuras dan Penyengat.
Kompas yang sempat turun ke Teluk Batil pada akhir tahun 2013, semakin tercengang dengan kondisi pertanaman nanas pada saat ini. Kini nanas tidak hanya ditanam di sela-sela tanaman kelapa sawit seperti kala itu, melainkan juga memanfaatkan tanah kosong di pinggir-pinggir jalan kampung. Semakin banyak orang menanam nanas.
Syahrul (48) salah seorang petani dari Desa Tanjung Kuras menyebutkan, sebagian besar penduduk kampung, bertanam nanas di areal kebun kelapa sawit. Karena lahan yang tersedia sebelumnya sudah ditanami tanaman palma itu. Nanas ditanam secara tumpang sari disela-sela sawit.
Syahrul, yang memiliki lahan dua hektar, awalnya hanya bertanam sawit. Setelah demam nanas berkembang, dia pun ikut bertanam nanas dengan pola tumpang sari di kebun sawitnya. Bahkan sekarang ini jumlah tanaman sawitnya semakin berkurang karena dipakai untuk bertanam nanas.
Dari dua komoditas pertanian itu. Syahrul mengaku penghasilannya sudah cukup untuk menghidupi keluarga. “Alhamdulillah, hasilnya lumayan. Penghasilan dari sawit setiap dua pekan, dipakai untuk biaya sehari-hari. Adapun dari nanas, bisa dipakai buat uang sekolah anak,” kata Syahrul.
Dalam luas areal satu hektar, dapat ditanam nanas sampai 20.000 tanaman. Untuk menghindari panen secara bersamaan, petani mengatur proses tanam secara tidak serentak. Masa tanam dirancang per plot dengan rentang waktu satu sampai tiga bulan agar nantinya dapat dipanen secara berkala. Untuk panen, juga demikian. Petani mengatur proses reproduksi dengan zat perangsang buah.
“Kami sudah mengerti kapan harus menanam dan kapan waktu panen agar tidak serentak dan melimpah. Dengan demikian, nanas kami selalu dapat habis diserap pedagang yang datang,” ujar Syahrul.
Harga nanas untuk kualitas terbaik, dengan ukuran panjang 25 cm dan berat sekitar 2 kilogram dihargai sekitar Rp 3.000 per buah. Adapun yang lebih kecil semakin murah, yaitu Rp 2.500 sampai Rp 2.000.
Dengan harga rata-rata Rp 2.500, seorang petani dapat menghasilkan pendapatan kotor Rp 50 juta per hektar. Dipotong biaya perawatan dan pupuk, penghasilan bersih mencapai Rp 35 juta sampai Rp 40 juta per hektar.
Saat ini, beberapa petani Sungai Apit sudah mengembangkan penanaman varitas baru yang didatangkan dari Bogor. Nanas asal Bogor, lebih besar dan beratnya dapat mencapai dua sampai tiga lipat nanas lokal.
Namun dari segi rasa, lebih banyak orang yang suka nanas lokal yang manis legit dan sedikit kering. Adapun jenis Bogor, meski berukuran raksasa, masih memiliki kandungan rasa asam dan terlalu berair atau basah.
Setiap orang yang berkunjung ke Sungai Sungai Apit, biasanya selalu membawa oleh-oleh nanas segar. Umumya nanas dibeli dalam jumlah besar, karena harganya murah, yang nantinya akan dibagikan kepada teman, kerabat atau tetangga.
Belum ada penyebutan jenis nanas di sana. Namun beberapa orang sudah menyebut varitas nanas lama dengan sebutan Salo (Sungai Apit Lokal). Adapun nanas asal Bogor berukuran besar disebut Sambo (Sungai Apit Jumbo Bogor).
Seluruh wilayah pertanaman nanas Sungai Apit merupakan areal gambut yang memiliki derajat keasaman cukup tinggi sampai 3,0. Namun nanas merupakan tanaman yang adaptif untuk tanah asam dan bahkan mampu menghasilkan buah yang manis.
Bupati Siak Syamsuar merasa bangga terhadap petani Sungai Apit yang dapat mengembangkan pemasaran nanas sampai ke Pulau Jawa. Dia mengajak investor untuk mengembangkan produk nanas di Siak, agar dapat memberi nilai tambah kepada petani.
“Silakan investor datang ke Siak. Kami akan permudah segala perizinannya,” kata Syamsuar.