CCTV Dilepas dan Penyerahan Uang di DPR Tanpa Kuitansi
Oleh
MADINA NUSRAT
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembagian uang kepada sejumlah anggota DPR dari korupsi anggaran pengadaan kartu tanda penduduk elektronik 2011-2012 dibahas di Panitia Anggaran DPR. Untuk menghilangkan jejak, kamera pemantau (CCTV) di ruangan Banggar itu tak diaktifkan. Sementara pemberian uang dilakukan tanpa kuitansi.
”Jadi, CCTV di ruangan Banggar itu tak ada, CCTV hanya ada menuju ke ruang Banggar,” ujar mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin saat dihadirkan sebagai saksi untuk Andi Agustinus alias Andi Narogong, terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik 2011-2012, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/11).
Sementara untuk pembagian uang korupsi kepada sejumlah anggota DPR, diakui Nazaruddin, itu diserahkan tanpa kuitansi. ”Praktiknya di DPR itu tak ada pemberian uang dengan kuitansi,” ujarnya.
Mengalir ke Gamawan Fauzi dan Marzuki Ali
Nazaruddin menyebutkan, uang korupsi itu di antaranya mengalir ke mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebesar 2 juta dollar AS dan 2,5 juta dollar AS. Uang tersebut telah diserahkan sebelum pemenang lelang pengadaan KTP elektronik ditetapkan.
Nazaruddin mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Andi, Gamawan tak akan meloloskan konsorsium Percetakan Negara RI, konsorsium yang dikawal Andi, jika imbalan itu tak segera diberikan. Karena Andi dapat segera memberikan imbalan 2,5 juta dollar AS sebagai pembayaran kedua, konsorsium PNRI dapat diloloskan sebagai pemenang lelang pengadaan KTP elektronik.
Uang korupsi itu di antaranya mengalir ke mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebesar 2 juta dollar AS dan 2,5 juta dollar AS. Uang tersebut telah diserahkan sebelum pemenang lelang pengadaan KTP elektronik ditetapkan.
”Jika tak ada realisasi uang, proyek dibatalkan,” kata Nazaruddin.
Selain kepada Gamawan, majelis hakim yang diketuai Jhon Halasan Butarbutar kemudian membacakan berita acara pemeriksaan Nazaruddin yang memuat keterangan terkait pembagian uang kepada sejumlah anggota DPR. Pembagian uang itu di antaranya sebesar Rp 20 miliar untuk mantan Ketua DPR Marzuki Ali.
Sementara itu, untuk Partai Demokrat mengalir 500.000 dollar AS yang diserahkan kepada staf bendahara Fraksi Demokrat, Eva. Uang tersebut dicatat dalam buku, tak dicatat di dalam komputer. Nazaruddin mengaku mengetahui sistem pencatatan itu karena dia yang menjabat sebagai Bendahara Fraksi Demokrat saat itu.
”Uang yang resmi dicatat di dalam komputer. Kalau di luar itu, dicatat di buku,” ujarnya.
Namun, menanggapi keterangan Nazaruddin, hakim anggota Anwar menyampaikan bahwa pada persidangan sebelumnya Gamawan telah membantah menerima uang tersebut. Bahkan, lanjutnya, Gamawan bersedia dikutuk jika dia terbukti menerima.
”Kami sudah memeriksa Gamawan dan dia sampaikan bahwa dia bersedia dikutuk (jika menerima uang korupsi pengadaan KTP elektronik),” kata Anwar. ”Semoga terkabul,” ucap Nazaruddin.
Nazaruddin menjelaskan, dirinya mengetahui pemberian uang kepada Gamawan juga berasal dari Asmin Aulia, adik Gamawan. Saat itu, dikatakan Nazaruddin, Gamawan akan membeli ruko miliknya dan yang membayar adalah Paulus Tanos, salah satu pengusaha di Konsorsium PNRI, pemenang lelang pengadaan KTP elektronik.
Nazaruddin mengetahui pemberian uang kepada Gamawan juga berasal dari Asmin Aulia, adik Gamawan.
”Aulia yang minta uang ke Paulus. Saya diberi tahu cerita itu dari Ignatius Mulyono (anggota Banggar DPR),” kata Nazaruddin.
Menurut Nazaruddin, cerita tersebut dia peroleh sebelum Ignatius meninggal, sekitar tahun 2015. Saat itu pun Nazaruddin telah menjadi narapidana untuk sejumlah kasus korupsi.