Memulung Popok, Merawat Brantas
Survei Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) pada 2015-2016 menunjukkan, sekitar 3 juta popok bekas bayi dibuang ke Sungai Brantas setiap hari. Padahal, sampah ini perlu hampir 500 tahun untuk terurai.
Tujuh orang berkostum pelindung (coverall) putih, bermasker antigas, bersepatu bot karet, serta membawa tongkat jaring sampah dan tong. Di bawah sengatan sinar matahari pagi, mereka memulung popok bekas dari dasar Sungai Brantas di dekat Jembatan Sepanjang Baru perbatasan Surabaya dan Sidoarjo pada 22 Agustus lalu.
Memulung selama dua jam, mereka mendapatkan 2 tong penuh atau setara 50 kilogram sampah yang kemudian diambil pegawai Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Sepekan sebelumnya, aksi serupa berlangsung di Jembatan Brawijaya, Kota Mojokerto. Para pemulung itu berhasil mengangkat 100 kg popok bayi bekas. Sampah kemudian diantar ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Mojokerto. Sampah diterima pegawai dinas untuk selanjutnya dibuang ke TPA.
”Kami lakukan ini untuk mengetuk hati pemerintah agar tidak mengabaikan popok bekas,” kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi.
Sejak berdiri pada Juli 2017, Brigade Evakuasi Popok (Kuapok) sudah lebih dari 20 kali memulung popok bekas di Sungai Brantas. Namun, popok bekas yang mereka angkat dari sungai ini baru mencapai 2 ton dari total sekitar 50 ton popok bekas yang setiap hari dibuang oleh masyarakat.
”Popok bekas yang mereka angkat dari sungai ini baru mencapai 2 ton dari total sekitar 50 ton popok bekas yang setiap hari dibuang oleh masyarakat.”
Brigade popok yang diinisiasi Ecoton ini anggotanya tak sampai 10 peneliti Ecoton. Dengan kendaraan, peralatan, dan perlengkapan seadanya, mereka rutin turun ke Brantas untuk memulung popok bekas.
Selanjutnya, sampah diantar ke kantor pemerintah daerah. Cara itu diharapkan ampuh menyentuh hati penyelenggara negara agar menjalankan salah satu tugas menjaga dan memelihara Brantas.
”Kekuatan kami sangat terbatas, kecuali segenap masyarakat Brantas bergabung memulung popok bekas dan berkomitmen berhenti mencemari Brantas,” ujar Prigi.
Jika dilihat dari skala kegiatan, yang mereka lakukan akan dinilai sia-sia. Namun, Brigade Popok tidak gentar dan menyerah. Memulung dengan pakaian khusus sehingga terlihat mencolok bertujuan sebagai kampanye untuk menyadarkan siapa saja bahwa sungai bukan tempat sampah, apalagi pembuangan popok.
Apa yang dilakukan Brigade Popok mulai menarik simpati. Santri Jogo Kali Jombang siap bergabung dalam aksi rutin memulung popok. Serupa menjadi tekad anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) Kota Kediri dan kalangan dosen serta pegawai swasta di Malang. Seiring waktu diharapkan gema kegiatan membesar dan menarik lebih banyak orang.
Takhayul
Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Brantas sepanjang 320 kilometer (km), berkelok seperti ular dari Batu sampai Surabaya. Brantas adalah sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa.
Wilayah Sungai Brantas seluas 14.100 km persegi atau 9 persen luas Pulau Jawa. Luas itu setara 26 persen luas Jawa Timur. Daerah Aliran Sungai Brantas dihuni 18 juta jiwa atau 46 persen dari 39 juta jiwa warga Provinsi Jatim.
Menurut survei Ecoton, sekitar 1 juta dari 18 juta warga itu adalah bayi berusia kurang dari 3 tahun.
Dalam survei diketahui umumnya bayi tidak lagi memakai popok kain, tetapi popok sekali pakai. Satu bayi rata-rata menggunakan 4 popok sekali pakai per hari. Satu popok rata-rata seberat 20 gram.
Popok bekas yang dibuang ke sungai jika tidak diangkat, akan mengendap, meracuni, dan mengubah ekosistem sungai yang merupakan penopang hidup 18 juta jiwa warga tersebut. Jika dibiarkan, mungkin tinggal menunggu waktu dua sampai tiga dasawarsa lagi Brantas akan dangkal oleh endapan popok bekas.
Berdasarkan survei Ecoton, masyarakat membuang popok bekas ke sungai lebih dikarenakan takhayul bahwa membakar sampah tersebut akan membuat pantat dan organ kelamin bayi panas dan lecet. Padahal, secara logika, tidak ada kaitan antara membakar popok bekas dan kondisi bayi. Lecet atau rasa panas pada pantat dan organ kelamin bayi pada dasarnya akibat pemakaian popok yang notabene disusun dari bahan kimia.
”Masyarakat membuang popok bekas ke sungai lebih dikarenakan takhayul bahwa membakar sampah tersebut akan membuat pantat dan organ kelamin bayi panas dan lecet.”
Mengapa popok menjadi ancaman serius Brantas? Menurut survei Ecoton, dari seluruh sampah yang dibuang masyarakat ke Brantas, 60 persen di antaranya adalah popok bayi, 30 persen plastik, dan 10 persen sampah organik.
”Kami belum bisa menghitung berapa total sampah yang dibuang ke Brantas setiap hari tetapi komposisinya kami ketahui dari survei,” kata Prigi.
Sugianto, seorang warga Karah, Jambangan, Surabaya, yang senang memancing di sungai mengatakan, ikan-ikan sudah sangat sulit didapat di Kalimas, anak Brantas. ”Saya kalau memancing masuk ke sungai, dasarnya sekarang ini sudah bukan tanah atau lumpur, tetapi sampah dan banyak popok bekas,” katanya.
Sugianto memahami bahwa air Brantas menjadi salah satu bahan baku perusahaan daerah air minum (PDAM) di kabupaten/kota yang dilalui bentang alam tersebut. ”Dengan membayangkan pencemarannya, saya jadi tidak bisa kalau harus mengonsumsi air sungai ini biar pun sudah diolah PDAM,” ujarnya.
Bahan kimia
Riska Darmawanti, Koordinator Indonesia Water Community of Practise (IndoWater CoP), mengatakan, popok terbuat dari empat komponen. Pertama, sodium poliakrilat atau hydrogel (super absorbent polymer) yang bersifat awet, dari minyak bumi sehingga bersenyawa toksin. Kedua, dioksin dari klorin untuk pemutih bahan popok (tetraklorodibenzo-p-dioksin) yang kerap dikaitkan sebagai salah satu penyebab kanker pada manusia.
Ketiga, tributilin (TBT) yang bersifat toksin dan senyawa estrogenik. TBT berpotensi mengganggu aktivitas hingga mutasi gen dan membuat kegemukan. Keempat, ptalat dalam pewangi untukmengaburkan bau feses bayi. Ptalat dapat mengganggu sistemendokrin dan dikategorikan sebagai bahan racun. Bayi sebenarnya sensitif terhadap senyawa ini karena dapatmembuat iritasi kulit hingga sesak napas.
”Bahan-bahan kimia untuk popok itu merupakan senyawa pengganggu hormon (endocrine disrupting compounds) yang menyerupai estrogen atau hormon yang merangsang terbentuknya alat kelamin betina,” kata Riska.
Dibuangnya popok bekas ke sungai membuat keempat senyawa tadi lepas ke sungai dan dikonsumsi oleh hewan air, terutama ikan.
Survei oleh Ecoton pada 2012 menunjukkan 80 persen ikan bader di Kalimas ternyata betina. Padahal, yang ideal 50 persen jantan dan 50 persen betina.
Survei itu kemudian ditindaklanjuti oleh Universitas Brawijaya dan IndoWater CoP dua tahun kemudian. Hasilnya secara umum ialah 20 persen ikan bader jantan berubah menjadi banci atau separuh betina.
”Survei itu kemudian ditindaklanjuti oleh Universitas Brawijaya dan IndoWater CoP dua tahun kemudian. Hasilnya secara umum ialah 20 persen ikan bader jantan berubah menjadi banci atau separuh betina.”
”Kalau perbandingan tidak seimbang akan mengganggu perkembangbiakan. Boleh jadi suatu saat spesies ini lenyap,” kata Riska.
Senyawa kimia itu selama terendam air akan terdegradasi menjadi partikel mikro dan nano. Partikel amat kecil itu jelas akan dikonsumsi hewan sungai dan masuk dalam rantai makanan, kembali ke manusia dalam bentuk bahan pangan dari ikan, kerang, kepiting, dan udang. Cara lain, kembali lewat air yang dipakai dan dikonsumsi manusia.
”Apa yang dibuang ke lingkungan akan kembali ke manusia,” kata Riska.