IMF: Perekonomian Indonesia Sehat Tahun Ini
Dana Moneter Internasional (IMF) menilai perekonomian Indonesia sehat tahun ini. Hal ini tecermin dari sejumlah indikator ekonomi makro yang terus membaik. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan menguat, dari 5,1 persen pada 2017 ke 5,3 persen pada 2018.
Demikian antara lain hasil evaluasi perekonomian yang dilakukan tim evaluasi dari IMF. Evaluasi tahunan kali ini berlangsung selama dua minggu, 1-14 November. Tim bertemu dengan sejumlah pemangku kepentingan, seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otorias Jasa Keuangan, swasta, dan akademisi. Tim juga menelaah perkembangan ekonomi melalui berbagai data ekonomi.
Hasil evaluasi diluncurkan per 15 November. Sehari sebelum peluncuran, Kompas berkesempatan mewawancari Kepala Tim Misi IMF untuk Indonesia Luis E Breuer di Jakarta. Berikut petikannya.
Secara singkat, apa hasil evaluasi?
Secara umum, kami melihat ekonomi Indonesia berjalan sangat baik. Ketika kita membandingkan Indonesia dengan negara lain, kami melihat pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat tinggi, sebesar 5 persen.
Inflasi rendah, nilai tukar rupiah stabil, dan neraca transaksi berjalan terkelola baik. Dengan demikian, dari perspektif ekonomi makro, Indonesia dalam kondisi baik dan akan terus berlanjut dalam tren positif tersebut.
Bagaimana dengan pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di triwulan III-2017?
Secara umum, perekonomian berjalan dengan baik. Kami tidak melihat adanya persoalan serius dalam hal konsumsi rumah tangga atau sumber pertumbuhan ekonomi lainnya. Dalam konteks ini memang benar bahwa pertumbuhan konsumi rumah tangga sedikit melambat ketimbang triwulan-triwulan sebelumnya.
Namun, pertumbuhan 4,93 persen tidak terlalu berbeda dengan katakan pertumbuhan 5 persen sebagaimana berlangsung stabil pada triwulan-triwulan sebelumnya.
Ketika kami melihat angka-angkanya, apa yang kami lihat? Kami melihat secara umum konsumsi rumah tangga tumbuh tanpa dibarengi utang yang tinggi. Ini penting karena berarti pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan berkelanjutan sebab tidak ditopang oleh meningkatnya utang.
Kami melihat ada beberapa dinamika sektoral yang menyebabkan pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di beberapa kelompok masyarakat. Contohnya adalah turunnya harga-harga produk pertanian. Pada satu sisi, keadaan ini menyebabkan inflasi rendah.
Namun, di sisi lain ini memukul upah petani dan masyarakat perdesaan umumnya. Hal ini memengaruhi tingkat konsumsi di perdesaan.
Ada peningkatan di perdagangan elektronik. Namun, kami tidak melihatnya sebagai fenomena besar yang berdampak pada pola konsumsi masyarakat Indonesia yang jumlah populasinya sangat besar.
Jadi, secara umum kami tidak mengkhawatirkan pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di triwulan III-2017. Kami melihat secara menyeluruh dari triwulan ke triwulan. Dan yang kami lihat adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang berkelanjutan.
Bagaimana dengan investasi?
Investasi yang tumbuh 7,11 persen pada triwulan III-2017 adalah kabar baik. Terjadi pemulihan pertumbuhan di pihak swasta. Sementara ekspansi investasi pemerintah terus berlanjut.
Meski demikian, kami tidak ingin mengambil kesimpulan dari satu triwulan saja. Kami ingin memastikan bahwa kuatnya pertumbuhan investasi ini menjadi tren yang berkelanjutan. Jika demikian yang terjadi, ini tentunya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan kapasitas produksi perekonomian Indonesia.
Apa yang Anda lihat dari Pemerintah Indonesia?
Pemerintah Indonesia ingin meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi karena mereka ingin memastikan bahwa perekonomian menciptakan lapangan kerja yang dibutuhkan generasi muda di pasar tenaga kerja.
Dan kami percaya bahwa adalah sangat mungkin untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bahkan di atas 5 persen. Namun, itu membutuhkan keberlanjutan dan intensifikasi reformasi yang selama ini telah dijalankan pemerintah serta penambahan reformasi baru untuk memodernisasi perekonomian.
Apa faktor kunci yang diperlukan?
Pertama-tama adalah menjaga stabilitas ekonomi. Ini sangat penting sebab tanpa stabilitas tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi. Ini berarti mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, mengelola tingkat bunga, dan mengelola sektor keuangan sebagaimana telah dilakukan selama ini dengan cara yang sangat hati-hati.
Kedua adalah mendorong reformasi di sejumlah sektor kunci. Sektor pertama adalah infrastruktur. Kedua, pajak. Ketiga, harmonisasi peraturan di seluruh level pemerintahan dan modernisasi skema peraturan.
Juga sumber daya manusia, yakni terus melanjutkan peningkatan di bidang pendidikan dan kesehatan. Dan terakhir adalah mengadopsi rencana komprehensif pembangunan sektor keuangan agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dengan lebih baik.
Bagaimana dengan reformasi pajak?
Indonesia menghadapi tantangan penting, yakni menambah sumber-sumber pajak baru sehingga pemerintah dapat meningkatkan investasi di hal-hal yang mengontribusi pembangunan, seperti infrasturktur, pendidikan, kesehatan, dan seterusnya.
Yang kami lihat adalah bahwa sistem pajak di Indonesia sangat bergantung pada komoditas. Karena harga komoditas anjlok dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan pajak juga turun.
Jadi manakala pemerintah berusaha mendiversifikasi perekonomiannya, tidak saja bergantung pada komoditas, kami melihat perlunya rencana jangka menengah untuk meningkatkan penerimaan negara dengan cara yang hati-hati sekaligus cara-cara yang berkelanjutan untuk membiayai kebutuhan pembangunan yang tinggi.
Apa yang Anda temukan di sektor moneter?
Kami melihat beberapa isu. Kami melihat posisi moneter BI. Artinya, kami mengkaji bagaimana Bank Indonesia mengelola suku bunga pada jangka sangat pendek di pasar dan kami menilainya tepat.
Dengan kata lain, kebijakan BI mengurangi suku bunga (BI 7-Day (Reverse) Repo Rate) sebanyak dua kali (Juli-Agustus), masing-masing 25 basis poin, dalam pandangan kami adalah langkah yang benar. Sebab, nilai tukar rupiah stabil.
Jadi, dengan turunnya harga-harga, inflasi yang terkendali, situasi eksternal yang kondusif, serta nilai tukar rupiah dan dollar yang stabil, kebijakan menurunkan suku bunga tersebut masuk akal.
Apakah kebijakan BI tersebut akan diikuti dengan turunnya bunga kredit bank?
Saya pikir likuiditas sebagai hasil dari kebijakan BI lebih dari cukup. Jadi, tidak ada persoalan dengan kebijakan menumbuhkan kredit.
Pertumbuhan kredit tahun ini lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, bukan semata-mata soal itu. Bank-bank memiliki kredit macet. Akumulasinya sekitar 3 persen dari total kredit. Umumnya kredit macet terjadi di perusahaan yang bergerak di bidang komoditas. Saat harga komoditas anjlok, korporasi tidak bisa membayar kredit mereka.
Kredit macet sebesar 3 persen bukan level yang tinggi. Namun, ini adalah isu yang harus dibereskan bank-bank. Bank butuh provisi untuk membereskan kredit macet tersebut. Bank butuh memperbaiki neracanya.
Memperbaiki neraca hal adalah penting sebab ini akan memberi ruang bagi mereka pada tahun berikutnya untuk mengambil utang baru denga neraca keuangan yang lebih kuat. Dan ini baik untuk swasta, untuk badan usaha milik negara, dan untuk ekonomi secara keseluruhan.
Bagaimana risiko sektor keuangan di jangka menengah-panjang?
Saya pikir sektor keuangan Indonesia memiliki banyak modal, sangat likuid. Oleh karena itu, sektor keuangan di Indonesia aman.