Waspadai Jatuhnya Stasiun Ruang Angkasa China
Sejak Oktober 2017 hingga April 2018 beberapa sampah antariksa dalam ukuran kecil hingga besar akan jauh ke bumi. Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian antara lain stasiun antariksa milik China, Tiangong-1.
Sejak berhenti berfungsi pada Oktober 2016, wahana berbobot 8,5 ton tak dapat dikendalikan lagi dan terus menurun mendekati atmosfer bumi. Wahana ini perkirakan masuk atmosfer bumi sekitar Oktober 2017 hingga 2017 April 2018.
Meskipun demikian, kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Jumat (27/10), masyarakat tak perlu khawatir karena probabilitas mengenai obyek milik manusia sangat kecil.
“Kemungkinan besar obyek antariksa itu jatuh di laut, hutan, atau gurun yang jauh lebih luas dari kawasan pemukiman,” ujarnya.
Bekas stasiun antariksa ini akan tercerai berai di wilayah yang luas antara 43 derajat Lintang Utara dan 43 derajat Lintang Selatan, meliputi wilayah laut, hutan, dan gurun. "Jadi probabilitas mengenai obyek milik manusia sangat kecil," kata Thomas.
Kepala Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa Lapan Agus Hidayat mengatakan, Badan Ruang Angkasa China melaporkan kepada badan PBB yang menangani aktivitas di antariksa UNOOSA, akan terus menginformasikan kondisi Tiangong-1 termasuk mengeluarkan peringatan dini apabila jatuhnya stasiun antariksa itu sudah diketahui koordinat lokais jatuhnya.
"Sekarang perigee (jarak orbit benda antariksa ke Bumi) Tiangong-1 berada di bawah 300 kilometer dari permukaan bumi dan tingkat kerusakan semakin tinggi. Saya berharap akan turun beberapa bulan dari sekarang sekitar akhir 2017 atau awal 2018," kata Jonathan McDowell, astrofisikawan dari Universitas Harvard seperti diberitakan The Guardian.
Meskipun sebagian besar badan wahana ini akan terbakar di atmosfer, McDowell mengatakan, beberapa bagian mungkin masih beratnya mencapai 100 kg saat menabrak permukaan bumi.
Laboratorium Tiangong-1 atau "Heavenly Palace" diluncurkan pada 2011. Tujuannya untuk misi penerbangan antariksa berawak dan tidak berawak dan pernah dikunjungi oleh astronot wanita China pertama, Liu Yang, pada 2012.
Empat satelit
Sebenarnya selain Tiangong-1, ada 4 sampah satelit milik berbagai pihak yang akan jatuh pada November 2017. Sampah itu antara lain berupa pecahan roket dan satelit bekas milik Rusia dan Jepang. Satelit Rusia, yaitu Cosmos 1346 dengan panjang silider 5 meter dan berdiameter 1,5 meter.
Negara pemilik sampah antariksa umumnya tidak memberikan informasi apapun, kecuali untuk obyek yang sangat besar seperti laboratorium atau stasiun antariksa Mir (Rusia 2001), satelit BeppoSax (Italia 2003) dan Tiangong-1 (Tiongkok 2018). Namun, obyeknya dapat dipantau para pengamat antariksa.
Mantan Kepala Lapan Adi Sadewo Salatun mengatakan, ketika Mir Rusia akan jatuh ke bumi, Lapan mengadakan hubungan langsung atau hotline dengan badan antariksa Rusia, Roscosmos. “Karena Mir masih dapat dikendalikan, Roscosmos menuntun jam demi jam perlintasannya menjelang masuk ke atmosfer, sebelum jatuh di Samudera Pasifik dekat wilayah Indonesia,” kata Adi.
Lapan juga memantau jatuhnya BeppoSax dan berkoordinasi dengan Badan Antariksa terkait untuk memperoleh informasi yang akurat.
Prediksi
Kepala Pusat Teknologi Sains Antariksa, Clara Yono Yatini, menambahkan, saat ini pihaknya sulit memprediksi lokasi jatuh Tiangong-1 kalau belum ada informasi detail dari pemiliknya.
"Sistem kami di Lapan baru bisa memantau secara kontinyu ketika ketinggiannya sudah turun sampai 200 kilometer, yaitu sekitar Desember 2017 dan Januari 2018,” katanya.
Setelah obyek ini terpantau, diperkirakan jatuhnya dalam beberepa minggu. Dalam hal ini Lapan dan semua lembaga keantariksaan selalu memantau benda jatuh, tetapi hanya bisa mengidentifikasi setelah jatuh, bukan memprakirakan titik jatuh yang akurat.
Menurut Thomas, untuk memprediksi jatuhnya sampah antariksa terkendala beberapa faktor. Benda jatuh antariksa bisa diperkirakan waktu jatuhnya berdasarkan analisis hambatan orbitnya. Lintasannya bisa diprakirakan dengan akurat karena mengikuti hukum gravitasi. Namun, efek pelambatannya tidak bisa diprakirakan secara akurat karena faktor atmosfer yang sangat dinamis.
“Semakin jauh dari saat jatuh, ketidakpastiannya makin besar," katanya.
Beberapa jam sebelum jatuh, ketidakpastiannya masih sekitar 2 menit yang apabila dikonversikan ke jarak, berarti ribuan kilometer. Dalam hal ini, yang disebut "jatuh", ketika ketinggiannya mencapai 120 kilometer saat obyek memasuki atmosfer padat sehingga obyek akan hancur dan sebagian terbakar.
"Sekadar contoh, obyek yang jatuh di Bengkulu pada 2003, beberapa jam sebelum jatuh diprakirakan jatuh di jazirah Arab, nyatanya jatuh di Bengkulu," ungkap Thomas.
Agus Hidayat menambahkan, apabila sampah milik negara bersangkutan mencederai penduduk di negara lain, ada kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan kewajiban pemilik satelit termasuk negara yang kejatuhan sampah satelit telah diatur dalam United Nations Treaties.
Pada 2016 sampah luar angkasa milik perusahaan AS SpaceX jatuh di wilayah Madura, mengakibatkan kerusakan properti masyarakat. Ini menjadi tanggung jawab perusahaan tersebut.