Nasib Rohingya Tak Menentu, Tekanan atas Suu Kyi Meningkat
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
MANILA, SELASA — Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, Selasa (14/11), menghadapi tekanan global yang meningkat agar dirinya menyelesaikan krisis minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Masa depan minoritas Rohingya, yang sebagian besar di antaranya telah melarikan diri ke Bangladesh, berada di tangan pemimpin de facto Myanmar tersebut. Nasib minoritas Rohingya tak menentu, tak memiliki kewarnegaraan, dan tinggal di kamp-kamp pengungsian.
Tekanan atas Suu Kyi meningkat setelah bertemu dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson di Filipina.
Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi untuk mengizinkan kembali warga Rohingya pulang ke rumah mereka di Rakhine.
Guterres mengatakan kepada peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1993 itu, ratusan ribu pengungsi Muslim Rohingya di Bangladesh harus diizinkan kembali ke rumah mereka di Rakhine, Myanmar.
”Sekretaris Jenderal menyoroti bahwa upaya itu harus diperkuat untuk memastikan akses kemanusiaan, pemulihan yang aman, bermartabat, sukarela, dan berkelanjutan, serta rekonsiliasi akan sangat penting,” kata sebuah pernyataan PBB meringkas komentar untuk Suu Kyi.
Komentar Guterres terjadi beberapa jam sebelum Suu Kyi bertemu Rex Tillerson di sela-sela pertemuan puncak Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Washington telah berhati-hati dalam pernyataannya mengenai situasi di Rakhine dan telah menghindari kritik secara terbuka melawan Suu Kyi.
Pada kesempatan berfoto bersama pada pertemuan dengan Tillerson, Suu Kyi mengabaikan seorang wartawan yang menanyakan apakah Rohingya adalah warga negara Myanmar.
Pada kesempatan lain setelah pertemuan tersebut, Tillerson–yang akan bertolak ke Myanmar pada Rabu (15/11)–ditanya oleh wartawan apakah dirinya ”punya pesan bagi pemimpin Myanmar”.
Tillerson mengabaikan pertanyaan tersebut, hanya menjawab, ”Terima kasih”, demikian laporan tentang pertemuan tersebut.
Pembersihan etnis
Lebih dari 600.000 warga Muslim Rohingya telah membanjiri Bangladesh sejak akhir Agustus dan sekarang tinggal di kemah-kemah darurat yang disebut sebagai kamp pengungsian terbesar di dunia.
Krisis di Rakhine meletus setelah gerilyawan Rohingya menyerang pos polisi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada akhir Agustus.
Serangan itu memicu tindakan keras militer Myanmar yang membuat ratusan desa yang menjadi pusat permukiman etnis minoritas Rohingya ludes dilalap api sehingga menyebabkan pengungsian besar-besaran.
Militer Myanmar diduga terlibat dalam usaha yang ’terkoordinasi dan sistematis’ untuk membersihkan wilayah Rohingya.
PBB mengatakan, militer Myanmar terlibat dalam usaha yang ”terkoordinasi dan sistematis” untuk membersihkan wilayah Rohingya dalam jumlah yang sama dengan ”contoh buku teks tentang pembersihan etnis”.
Arus pengungsi yang putus asa, yang melarikan diri melintasi perbatasan sungai, juga membawa kisah-kisah sedih tentang kasus pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran desa oleh tentara dan penduduk lokal di Rakhine.
Pemerintah Myanmar menegaskan, tindakan militer Myanmar di Rakhine adalah respons yang proporsional membalas kekerasan oleh kelompok militan Rohingya.
Setelah penyelidikan resmi pertamanya mengenai krisis tersebut, tentara menerbitkan sebuah laporan minggu ini bahwa mereka tidak terlibat dalam berbagai pelanggaran yang dituduhkan.
Namun, tentara sangat membatasi akses ke wilayah tersebut terhadap para jurnalis independen dan kelompok bantuan sehingga verifikasi kejadian di lapangan hampir tidak mungkin dilakukan.
Suu Kyi, mantan aktivis demokrasi, telah dikecam kelompok hak asasi karena gagal berbicara untuk orang Rohingya atau mengecam ungkapan sentimen anti-Muslim di negara tersebut.
Musisi dan juru kampanye Bob Geldof pada Senin (13/11) mengecam Suu Kyi sebagai ”pembunuh” karena telah membiarkan terjadinya genosida.
Dalam pertemuan puncak KTT ASEAN pada Senin malam dengan para pemimpin 10 negara ASEAN, di antaranya Myanmar, Guterres menyuarakan keprihatinan tentang Rohingya.
Guterres mengatakan, ”Pengungsian ratusan ribu warga Rohingya merupakan eskalasi yang mengkhawatirkan dalam sebuah tragedi yang berkepanjangan,” kata pernyataan PBB tersebut.
Dia menggambarkan situasi tersebut sebagai sumber ketidakstabilan potensial di kawasan ini serta radikalisasi. (AFP/REUTERS/AP)