Makna Kunjungan Xi dan Trump ke Kota Terlarang
BEIJING, KOMPAS – Bercakap-cakap sambil menyeruput teh yang disuguhkan tuan rumah Presiden China Xi Jinping, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memperlihatkan video cucunya, Arabella Kushner, bernyanyi dalam bahasa Mandarin dan membaca puisi klasik China.
Xi dan istrinya, Peng Liyuan, merasa puas dan memuji penampilan Arabella. Menurut media China, Xinhua, mereka memberi nilai ”A+” untuk anak pasangan Jared Corey Kushner dan Ivanka Trump itu.
Bahkan Xi sangat berharap Arabella bisa segera mengunjungi China dalam waktu dekat. Kalau, misalnya, Arabella berada di China, dia sudah menjadi ”bintang anak”.
Video tentang Arabella sedang membawa puisi China telah menjadi viral atau tema percakapan luas para netizen di media sosial China beberapa saat menjelang Trump mendarat di Beijing, Rabu (8/11).
Segelas teh dan video mengawali keakraban kedua tokoh yang selama ini acap berseberangan dalam berbagai persoalan itu, mulai dari konflik Laut China Selatan, Laut China Timur, hingga isu Korea Utara.
Hubungan personal yang berkembang hangat itu dipertegas bentangan karpet merah untuk Donald Trump saat berkunjung ke Kota Terlarang.
Hubungan personal yang berkembang hangat itu dipertegas oleh bentangan karpet merah untuk Trump saat mereka mengunjungi Kota Terlarang, rumah kuno para kaisar China.
Kota itu dalam bahasa Mandarin disebut ”Zǐjìn Chéng”, yang berarti Kota Terlarang Ungu, atau kadang juga disebut Istana Terlarang.
Istana Terlarang merupakan tempat tinggal para kaisar dari Dinasti Ming (1368-1644) hingga Dinasti Qing (1644-1921) atau menjadi kediaman para kaisar selama hampir 500 tahun.
Kompleks Kota Terlarang sangat luas, mencakup area 720.000 meter persegi, dengan 980 bangunan. Material bagunan di kota itu umumnya dari kayu dengan ukiran khas.
Istana megah tersebut dibangun sejak 1406 dan rampung pada 1420. Butuh waktu konstruksi selama 14 tahun dengan melibatkan jutaan pekerja.
Disebut ”terlarang” sebenarnya karena orang-orang asing dilarang masuk ke istana tersebut. Kompleks istana tersebut tertutup untuk umum, kecuali kalangan tertentu yang diperkenankan masuk.
Kota itu terletak di utara pusat kota Beijing dan dibangun sesuai dengan geomansi China, yakni fengsui. Sejak 1987, kota kuno itu telah menjadi situs Warisan Dunia UNESCO.
Sekalipun kekaisaran telah runtuh, istana tersebut tetap kokoh berdiri hingga kini dan menjadi landmark Beijing, sekaligus destinasi wisata populer, tapi tetap ada bagian terlarang untuk umum.
Turis dari berbagai belahan dunia tak pernah sepi. Mereka silih berganti mendatangi lokasi yang menjadi simbol kekuasaan China ini.
Kota Terlarang dipilih menjadi titik mula lawatan Trump ke China. Kebesaran dan kekuasaan China, mungkin itulah pesan simbolis yang ingin disampaikan Xi untuk dimaknai Trump.
Kota Terlarang dipilih menjadi titik mula dari lawatan Trump, dan tampaknya untuk memberi impresi tentang sejarah kuno dan kekuasaan China di mata Presiden AS tersebut.
Kebesaran dan kekuasaan China, barangkali itulah pesan simbolis yang mau disampaikan Xi, yang tiga minggu lalu telah dipromosikan Partai Komunis China sebagai pemimpin ”inti” negeri itu, untuk dimaknai Trump. Bahwa China telah berada di jalan menuju negara besar yang patut diperhitungkan dunia.
Partai berkuasa itu mengubah konstitusi dengan memasukkan pemikiran Xi soal ”sosialisme dengan karakteristik China bagi era baru” untuk menjadi salah satu panduan utama partai.
Amandemen konstitusi dengan menambah nama Xi beserta ideologinya pernah dilakukan pendiri negara komunis China, sekaligus presiden pertamanya, Mao Zedong.
Pengangkatan Xi sebagai ”inti” partai mencerminkan penegasan dirinya sebagai pemimpin paling berkuasa di China dalam beberapa dekade ke depan setelah masa jabatannya berjalan 10 tahun.
Pemerhati politik di University of Hong Kong, Willy Lam, menilai masuknya nama Xi ke konstitusi memungkinkan Xi menjadi pemimpin seumur hidup seperti Mao.
Konsep Xi dipandang sebagai sebuah terobosan dari tahapan reformasi ekonomi yang mengantar Deng Xiaoping pada akhir 1970-an. Deng merupakan pemimpin revolusi Partai Komunis yang kemudian menjadi pemimpin tertinggi China, meski tidak sehebat Mao.
Kini, Xi menjelaskan konsepnya untuk mengamankan ”kesuksesan yang efektif dalam membangun masyarakat yang makmur dalam berbagai aspek” di China.
Sejak diangkat sebagai pemimpin partai pada 2012, Xi secara agresif berusaha memusatkan kendali politik, keamanan, dan mengonsolidasikan kekuasaan.
Xi membungkam aktivis serta menghukum 1,3 juta anggota partai dan pejabat negara dari pusat hingga pelosok atas tuduhan korupsi.
”Pada waktu ini, kita merasa makin percaya diri dan bangga. Pada saat yang sama, kita juga memiliki tanggung jawab yang besar,” kata Xi pada penutupan Kongres Partai Komunis, dua pekan silam.
Di samping kampanye antikorupsi, Inisiatif Sabuk dan Jalan, proyek infrastruktur perdagangan global untuk meningkatkan pengaruh China di luar negeri, juga diteruskan.
Salah satu proyek infrastruktur yang gencar dibangun di bawah kepemimpinan Xi terjadi di pulau-pulau karang atau buatan—yang merupakan hasil reklamasi—China di wilayah perairan sengketa di Laut China Selatan.
Baik sarana maupun prasarana, seperti pelabuhan, dermaga, bandara, gudang, dan juga galangan kapal serta menara suar, sedang dibangun di sana.
Laut China Selatan merupakan obyek perseteruan AS dan China, selain China dengan beberapa negara tetangganya, termasuk empat negara anggota ASEAN. Trump yang memandang Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan internasional telah berkali-kali mengecam langkah Xi tersebut.
Perseteruan antara Beijing dan Washington sempat meningkat akibat masuknya kapal-kapal dan pesawat AS ke wilayah perairan sengketa di Laut China Selatan.
Trump ingin ’membuat Amerika hebat lagi’, sementara Xi telah bersumpah untuk mewujudkan ’pembaruan besar bangsa China’.
Titik perseteruan lain antara Beijing dan Washington terkait dengan program nuklir dan misil balistik Korea Utara, sekutu terdekat China.
Kini Trump berada di Beijing. Ia, antara lain, membujuk Xi agar memengaruhi Pyongyang supaya mengakhiri program nuklir dan misil balistik yang diklaim dapat menjangkau daratan AS itu.
Kedua pemimpin itu mengaku telah menjalin persahabatan sejak pertemuan pertama mereka di resor Mar-a-Lago milik Trump di Florida pada April lalu, bahkan saat mereka telah membahas mengenai perdagangan dan bagaimana menangani Korut.
Mereka juga berbagi aspirasi nasionalisme yang sama. Trump ingin ”membuat Amerika hebat lagi”, sementara Xi telah bersumpah untuk mewujudkan ”pembaruan besar bangsa China”.
Xi telah mengalami apa yang oleh Trump digambarkan sebagai ”peningkatan luar biasa” dengan mengatakan bahwa ”beberapa orang mungkin menyebutnya raja China”. Nah, siapa yang kini telah menjadi hebat kembali? (AFP/REUTERS/AP)