Pemerintah Masih Tunggu Itikad Baik Pihak Whatsapp
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika masih menunggu itikad baik pihak Whatsapp untuk menghilangkan konten asusila berformat grafis di aplikasi tersebut. Hal itu terkait pengambilan keputusan apakah pemerintah akan memblokir atau tidak layanan aplikasi Whattsap.
Pada pemberitaan sebelumnya, tim aduan konten Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menemukan konten bermuatan asusila berformat grafis (graphics interchange format/GIF) di Whatsapp yang dapat diunggah dengan cara mengetik kata kunci tertentu.
Konten-konten itu berasal dan disediakan oleh pihak ketiga Whatsapp, yaitu Tenor.com dan Ghiphy.com. Kemkominfo telah mengirim permohonan pencabutan konten sebanyak tiga kali kepada Facebook Inc, perusahaan induk Whatsapp, pada 5-6 November 2017 melalui surel. Hasilnya dapat dilihat dalam waktu 2 x 24 jam.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, sebelum memutuskan pemblokiran terhadap aplikasi Whatsapp, pihaknya masih melihat sejauh mana upaya pembersihan konten negatif dilakukan oleh pihak Whatsapp.
”Hari ini kalau dilihat sudah banyak yang hilang konten negatif di Whatsapp. Itu karena pihak Ghipy.com membersihkan sendiri. Untuk pihak Tenor.com, teman-teman operator (penyedia jasa internet) sudah melakukan pemblokiran walau masih ada yang belum,” tutur Rudiantara seusai menjadi pembicara dalam Kongres Pranata Komputer, di Gedung Badan Pusat Statistik, Jakarta, Selasa (7/11).
Hari ini kalau dilihat sudah banyak yang hilang konten negatif di Whatsapp. Itu karena pihak Ghipy.com membersihkan sendiri. Untuk pihak Tenor.com, teman-teman operator (penyedia jasa internet) sudah melakukan pemblokiran walau masih ada yang belum.
Menurut Rudiantara, sampai saat ini pemerintah masih belum memblokir aplikasi Whatsapp karena memandang banyak masyarakat yang membutuhkannya.
”Kami ibaratkan Whatsapp ini sebagai supermarket. Mereka menjual sayur dan buah, yang dalam hal ini GIF-nya itu. Jadi, kalau ada sayur dan buah yang busuk, tidak mungkin kami langsung tutup supermarketnya. Kami fokus kepada yang busuknya itu. Akan tetapi, kami tetap meminta Whatsapp tidak boleh lepas tangan. Supermarket,kan, seharusnya tidak mau ada produk busuk di tempatnya,” tutur Rudiantara memberikan analogi.
Rudiantara mengatakan, status Whatsapp sebagai perusahaan aplikasi internasional yang tidak berkantor di Indonesia juga menjadi salah satu kendala. Hal itu berdampak pada sulitnya membangun komunikasi jika terjadi permasalahan. Sejauh ini, jumlah pengguna Whatsapp di Indonesia mencapai 84 juta (Kompas, 4/11).
Mencuatnya kasus konten negatif di aplikasi layanan pesan merupakan kali kedua yang terjadi di Indonesia tahun ini. Juli lalu, Pemerintah Indonesia memblokir 11 domain layanan pesan Telegram. Dalam kasus itu, Telegram terindikasi digunakan para teroris.
Kemkominfo menemukan sekitar 700 halaman data dan informasi terkait radikalisme dan terorisme. Beberapa di antaranya tutorial membuat bom dan ajakan bergabung dengan organisasi radikal. Pemblokiran dilakukan setelah pemerintah menilai tidak ada itikad baik dari pihak Telegram untuk mengontrol materi terkait radikalisme dan terorisme (Kompas, 16/7).
Pada Agustus lalu, CEO Telegram Pavel Durov bertemu dengan Menkominfo Rudiantara di Jakarta membahas tata cara penanggulangan konten terorisme dan radikalisme. Dalam pertemuan tersebut, Kemkominfo akan membangun jalur komunikasi khusus dengan Telegram untuk mempermudah diskusi penanggulangan konten terorisme dan radikalisme. Telegram belum memutuskan apakah akan membuka kantor perwakilan atau pusat data di Jakarta. Sampai saat ini, pengguna Telegram di Indonesia mencapai 20 juta orang, sementara di tataran global, setiap hari terdapat 600.000 pengguna baru yang bergabung (Kompas, 2/8).
Rudiantara berharap persoalan konten negatif ke depannya dapat diselesaikan melalui budaya literasi media yang tinggi di masyarakat sehingga masyarakat dapat mandiri membedakan antara konten positif dan negatif. Kegiatan sosialisasi itu diharapkan terus berjalan. Ia menilai sebagian besar masyarakat Indonesia masih gagap dalam menggunakan media sosial dan belum mampu menyeleksi konten yang ada. Hal itu menyebabkan pemerintah menerapkan kebijakan afirmasi, seperti pemblokiran sementara.
”Pemerintah bertugas melindungi masyarakat agar tidak terpapar konten-konten negatif. Konten negatif itu adalah asusila, hoaks, radikalisme, perjudian, dan lain-lain. Namun, kami fokusnya tidak hanya memblokir. Memblokir itu capek (banyak sekali konten negatif). Tentu saja kami mengharapkan aduan dari masyarakat terus berlanjut,” ujar Rudiantara.
Pemerintah bertugas melindungi masyarakat agar tidak terpapar konten-konten negatif. Konten negatif itu adalah asusila, hoaks, radikalisme, perjudian, dan lain-lain.
Rudiantara mengatakan, pada 2018 Kemkominfo akan mengoperasikan sistem crawling otomatis terhadap setiap situs yang mengandung konten negatif. Nantinya, setiap situs yang terjaring sistem crawling akan langsung diblokir. Meski demikian, Kemkominfo belum menyediakan sistem tersebut untuk layanan aplikasi di ponsel.
Menurut Rudiantara, cara pengendalian konten negatif di aplikasi sifatnya berbeda-beda. Selain itu, masyarakat dapat menanggulangi adanya konten negatif secara mandiri melalui berbagai fitur yang ada di ponselnya walaupun memerlukan cara yang lebih rumit.
Pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung Suhono Harso Supangkat menilai langkah-langkah pembatasan terhadap konten negatif yang ada di aplikasi harus dilakukan. Menurut dia, langkah yang dilakukan pemerintah sejauh ini sudah tepat. Hal itu karena konten negatif, khususnya yang berupa konten asusila, tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.
Kebebasan harus dibatasi hanya untuk hal-hal positif. Jangan sampai berdalih kebebasan ketika menyebar konten negatif.
”Memang kemajuan teknologi informasi memiliki ’dua pedang’. Bisa menjadi bonus bagi Indonesia, bisa juga menjadi bencana bagi demokrasi di Indonesia. Kebebasan harus dibatasi hanya untuk hal-hal positif. Jangan sampai berdalih kebebasan ketika menyebar konten negatif,” ujar Suhono.
Suhono menilai, terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terpaparnya masyarakat dari konten negatif. Cara pertama bersifat struktural, yaitu pembatasan melalui regulasi-regulasi yang diterapkan pemerintah. Sementara itu, cara kedua, memberdayakan komunitas di masyarakat. Komunitas dalam masyarakat dianggap dapat memperkuat budaya literasi media di Indonesia. (DD14)