Sejak digelar untuk pertama kalinya pada tahun 1955, FFI telah menjadi tolok ukur perkembangan dan kualitas film di negeri ini.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·3 menit baca
Sejak digelar untuk pertama kalinya pada tahun 1955, Festival Film Indonesia (FFI) telah menjadi tolok ukur perkembangan dan kualitas film di negeri ini. Tahun ini, FFI kembali menghadirkan kompetisi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas film-film di Indonesia.
Lebih dari 100 judul film terjaring untuk ikut serta dalam FFI. Setelah melalui proses penjurian, sebanyak 20 film cerita, 6 film dokumenter panjang, 7 film dokumenter pendek, 10 film pendek, dan 5 film animasi pendek dikelompokkan dalam 22 kategori unggulan. Daftar nominasi ini diumumkan pada 5 Oktober 2017 dan telah masuk dalam proses penjurian.
Ketua Bidang Penjurian FFI 2017 Riri Riza mengatakan, ada tiga kriteria yang dijadikan dasar penilaian, yakni kejernihan gagasan dan tema, kualitas teknis dan estetika, serta profesionalisme. ”Proses penjurian tahun ini juga tidak dilakukan dengan duduk di ruang rapat, tetapi dilakukan para juri berdasarkan kepekaan dan keahlian masing-masing. Kami percaya para juri yang berasal dari asosiasi usaha dan profesi film punya pengalaman dan pengetahuan yang memadai untuk menilai,” katanya.
Lima film cerita panjang telah dipilih untuk nominasi film terbaik, yaitu Cek Toko Sebelah, Kartini, Night Bus, Pengabdi Setan, dan Posesif. Riri menilai, kelima film tersebut menunjukkan keragaman tema dan genre yang diangkat dalam film Indonesia dalam setahun terakhir. Keragaman genre film drama, horor, thriller, dan komedi dengan tema pluralisme, sejarah, percintaan remaja, dan keluarga memang menawarkan banyak pilihan kepada penonton.
Dua minggu menjelang malam anugerah FFI 2017 yang digelar pada 11 November di Manado, Sulawesi Utara, Kompas berkesempatan berbincang-bincang dengan 13 orang yang masuk nominasi pada beberapa kategori penghargaan. Mereka adalah Hanung Bramantyo (sutradara terbaik/Kartini), Edwin (sutradara terbaik/Posesif), Emil Heradi (sutradara terbaik/Night Bus), Joko Anwar (sutradara terbaik/Pengabdi Setan), Ody C Harahap (sutradara terbaik/Sweet 20) serta Ernest Prakasa (sutradara terbaik, penulis skenario asli terbaik, pemeran utama pria terbaik/Cek Toko Sebelah).
Kompas juga mewawancarai Gina S Noer (penulis skenario asli terbaik/Posesif), Dian Sastrowardoyo (pemeran utama wanita terbaik/Kartini), Adinia Wirasti (pemeran utama wanita terbaik/Critical Eleven, pemeran pendukung wanita terbaik Cek Toko Sebelah), Teuku Rifnu Wikana (pemeran utama pria terbaik/Night Bus), Adipati Dolken (pemeran utama pria terbaik/Posesif), Putri Marino (pemeran utama wanita terbaik/Posesif), dan Sheryl Sheinafia (pemeran utama wanita terbaik/Galih dan Ratna).
Mereka berbagi cerita tentang perjalanan mereka dalam berkarya, baik sebagai sutradara, aktor, maupun aktris, berikut proses kreatif dalam pembuatan film masing-masing. Mereka juga mengungkapkan harapan terhadap dunia perfilman Indonesia ke depan melalui karya-karya tersebut. Dari berbagai kisah mereka, jelas tergambar bahwa para insan perfilman ini sungguh telah berbuat yang terbaik agar kualitas film-film Indonesia dapat dinikmati dengan baik oleh para pencintanya.
Cerita lengkap mereka dapat disaksikan hanya di Kompas.id pada 6, 7, dan 8 November. Untuk edisi pertama, Kompas menayangkan hasil wawancara bersama Edwin sebagai sutradara terbaik film Posesif; Gina S Noer, penulis skenario asli terbaik dalam film Posesif; Ody C Harahap, sutradara terbaik dalam film Sweet 20; serta pemeran utama wanita terbaik dalam Posesif, Putri Marino; dan Adipati Dolken, pemeran utama pria terbaik dalam Posesif.