Novanto Mangkir Pemeriksaan, Minta KPK Izin Presiden
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto kembali mangkir dari panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi dalam penyidikan dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Novanto yang sedianya menjadi saksi untuk Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo beralasan, pemanggilan dirinya sebagai anggota DPR harus seizin Presiden.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Senin (6/11), mengatakan, KPK telah menerima surat yang ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR yang berisi lima poin. Salah satu poin penting ialah penolakan Novanto untuk menghadiri pemeriksaan sebagai saksi oleh KPK dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Selain itu, dalam suratnya, Novanto juga berpegang pada amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015.
Dalam suratnya, Novanto melalui Setjen DPR menyatakan, ”setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan pemanggilan terhadap anggota DPR yang bersangkutan”.
Terkait dengan adanya surat tersebut, Febri mengatakan, KPK akan mengkaji terlebih dahulu isinya dan memastikan apakah saksi (Novanto) mengetahui perihal dibuatnya surat tersebut. Sebab, beberapa kali KPK menerima surat dari Novanto yang tidak hanya dibuat oleh Setjen DPR, tetapi juga dibuat oleh kuasa hukum dan ditandatangani oleh Novanto.
”Kami harus memastikan terlebih dahulu, apakah saksi Novanto mengetahui adanya surat ini, dan surat tersebut mewakili dirinya. Di samping itu, kami juga masih mengkaji isi dari surat tersebut, termasuk landasan hukum yang dijadikan alasan ketidakhadiran saksi. Pada dasarnya, menjadi saksi adalah suatu kewajiban warga negara,” tutur Febri.
Pada dasarnya, menjadi saksi adalah suatu kewajiban warga negara.
Menurut catatan KPK, Novanto telah dipanggil 9 kali dalam penyidikan kasus dugaan korupsi proyek KTP-el.
”Pada Desember 2016 dan Januari 2017, Novanto hadir memenuhi panggilan KPK. Saat itu, tidak ada alasan harus melalui izin Presiden. Namun, hal itu kini yang dijadikan alasan untuk tidak menghadiri panggilan KPK untuk tersangka ASS (Anang Sugiana Sudirjo). Ini alasan baru sebab sebelumnya, saat dipanggil untuk tersangka ASS, Novanto beralasan, dirinya sedang menjalankan tugas negara di dalam reses, yakni menemui konstituen,” tutur Febri.
Terkait putusan MK yang dijadikan alasan Novanto ”mangkir” dari panggilan KPK itu pun ditafsirkan secara berbeda oleh sejumlah pihak. Perkara tersebut diajukan oleh Supriyadi Widodo Eddyono dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang keberatan dengan Pasal 245 itu. Pasal yang terdiri atas tiga ayat itu dinilai diskriminatif karena mengistimewakan anggota DPR dari proses pidana.
Pasal 245 pada mulanya mengatur keharusan adanya izin dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) sebelum seorang anggota DPR diperiksa untuk keperluan penyelidikan ataupun penyidikan oleh penegak hukum. Supriyadi dan kawan-kawan (total delapan pemohon) menilai, izin dari MKD itu merupakan bentuk intervensi DPR terhadap proses pidana anggota DPR. Sebab, MKD adalah bagian internal dari DPR. Seyogianya tidak boleh ada intervensi apa pun dari organ DPR manakala menyangkut penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
Pemohon meminta agar frasa ”persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 Ayat (1) dan (2) dibatalkan. Namun, MK hanya mengabulkan sebagian permohonan. Frasa itu dianggap inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ”persetujuan tertulis dari Presiden”.
Putusan itu secara otomatis mewajibkan pemanggilan terhadap anggota DPR dalam perkara pidana harus seizin tertulis dari Presiden, bukan dari MKD.
Namun, putusan MK itu tidak secara eksplisit menafsirkan Pasal 245 Ayat (3) yang isinya menyebutkan bahwa ketentuan dalam Ayat (1) dan (2) itu tidak berlaku untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
Supriyadi mengatakan, karena Pasal 245 Ayat (3) tidak termasuk yang ditafsirkan oleh MK dalam putusannya, seharusnya makna pasal itu tidak berubah. Artinya, pemanggilan anggota DPR untuk penyidikan tindak pidana khusus tidak memerlukan izin Presiden sebab sedari awal semangat dari pasal itu mengecualikan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 245 Ayat (1) dan (2).
”Putusan MK yang saya terima sebagai pemohon itu saya maknai memberikan pengecualian kepada tindak pidana khusus dan tindak pidana lain yang mengancam keamanan negara atau yang diancam pidana mati dan hukuman seumur hidup,” ujar Supriyadi.
”Untuk jenis kejahatan berat itu, pemanggilan terhadap anggota DPR tidak memerlukan izin Presiden, sebagaimana makna awal pasal itu yang mengecualikan ketentuan izin dari MKD untuk dua jenis kejahatan berat itu,” lanjutnya.
Akan tetapi, pada faktanya, Novanto justru menggunakan putusan MK itu sebagai alasan untuk menghindari pemanggilan sebagai saksi dalam kasus korupsi, yang merupakan salah satu kasus tindak pidana khusus.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, MK dalam putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 tidak menyebutkan pidana khusus ataupun pidana umum. ”Yang disebutkan di putusan itu hanya pidana. Artinya, ya, memang membutuhkan persetujuan tertulis dari Presiden. Begitu bunyi undang-undang pascaputusan MK,” katanya.
”Pihak yang memanggil anggota DPR sebaiknya menulis permohonan izin atau persetujuan kepada Presiden untuk meminta keterangan yang bersangkutan sebagai saksi. Presiden, dengan dasar putusan MK itu, harus sesegera mungkin menerbitkan persetujuan tertulis itu,” lanjut Fajar.
Putusan MK tidak membedakan pidana umum dan pidana khusus. Hanya tindak pidana.
Terkait dengan makna pengecualian yang terkandung dalam Pasal 245 Ayat (3), Fajar mengatakan, hal itu tidak ada dalam pertimbangan MK. ”Putusan MK tidak membedakan pidana umum dan pidana khusus. Hanya tindak pidana,” ujar Fajar.
Kembali diperiksa
Terkait dengan lanjutan pemeriksaan kasus korupsi KTP-el, KPK pada Senin siang memeriksa mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni. Keluar sekitar pukul 14.00, Diah yang mengenakan baju batik dan celana hitam panjang tidak mau berkomentar. Ia menerobos kerumunan wartawan dengan hanya mengatakan, ”Tanya ke penyidik saja, ya.”
Anang Sugiana Sudiharjo juga diperiksa KPK. Direktur Utama PT Quadra Solution itu diduga merugikan negara dengan modus merekayasa tender pengadaan KTP-el bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Dalam perkara ini, negara dirugikan sekitar Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun.
”Saat ini, sudah ada lima orang (Andi Narogong, Anang Sugiana, Irman, Sugiharto, dan Markus Nari) yang diproses oleh KPK dalam dugaan korupsi ini. Namun, kami meyakini masih ada pihak lain yang diuntungkan dan diduga terlibat dalam kasus ini,” ujar Febri.