Melayarkan Rempah dari Bumi Sriwijaya
”Penguasa Sriwijaya meminta 20.000 dinar sebelum memberikan izin kepada kapal dagang Arab/Persia untuk melanjutkan pelayaran ke Tiongkok. Begitu pula sebaliknya yang datang dari Tiongkok menuju India dan Persia”. Demikian Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi menggambarkan kekuatan Kerajaan Sriwijaya dalam jurnal pelayarannya, Aja’ib al-Hind.
Tulisan yang ada di salah satu sudut pameran bertajuk ”Kedatuan Sriwijaya: The Great Maritime Empire” di Museum Nasional Indonesia itu menegaskan kekuatan utama Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan itu bertumpu pada sektor maritim karena berhasil menguasai jalur perdagangan dan pelayaran dunia. Wilayahnya menjadi persinggahan perdagangan rempah Nusantara.
Pameran yang berlangsung pada 4 November hingga 28 November 2017 itu seakan mengingatkan kembali betapa kuatnya maritim kerajaan yang berjaya pada abad ke-7 hingga abad ke-13 itu. Bagaimana tidak? Sejumlah bukti, seperti prasasti, gambar, dan patung, yang menggambarkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya ditampilkan untuk mengingatkan kembali pada masa-masa keemasan.
Pameran yang berlangsung pada 4 November hingga 28 November 2017 itu mengingatkan kembali betapa kuatnya maritim Kerajaan Sriwijaya yang berjaya pada abad ke-7 hingga abad ke-13 itu.
Pengunjung akan disuguhi sedikit catatan perjalanan I-Tsing, pendeta asal Tiongkok yang menjadi pencatat sejarah Sriwijaya. Selain itu, ada replika prasasti Kota Kapur dan Kedukan Bukit, teknologi perkapalan, serta zona perdagangan di Bumi Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit berasal dari batu berbentuk oval. Prasasti yang ditulis pada 16 Juni 682 ini membuktikan tanggal berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Adapun Prasasti Kota Kapur ditemukan di Kota Kapur, Bangka, pada 1892. Prasasti yang ditulis pada 28 Februari 686 Masehi ini berbentuk tugu dan ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. JHC Kern pada 1913 berhasil membaca prasasti tersebut dan menemukan kata ”Sriwijaya”.
Di sudut lain, pengunjung bisa melihat replika Suku Laut. Suku Laut merupakan suku asli yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, serta pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, dan memandu para pedagang ke pelabuhan di Kerajaan Sriwijaya.
Di ujung jalur pameran, panitia menampilkan sebuah perahu yang terbalik. Hal ini menjadi simbol keruntuhan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13. Keruntuhan kerajaan terbesar kedua di Nusantara setelah Majapahit itu disebabkan pendangkalan pelabuhan. Perahu-perahu besar sulit berlabuh. Mereka juga dipungut pajak yang terlalu tinggi. Setelah 600 tahun menjadi penentu pelayaran dan perdagangan rempah, Kerajaan Sriwijaya ditaklukkan Kerajaan Colamandala dari India.
Saat Kompas melihat pameran tersebut, Sabtu (4/11), ruang pameran dibuat interaktif untuk memanjakan pengunjung. Pemandu yang menanti di pintu masuk siap untuk menjelaskan benda-benda yang dipamerkan kepada pengunjung. Di beberapa sudut terdapat layar televisi yang menampilkan animasi mengenai Kerajaan Sriwijaya. Pengunjung pun tidak akan dibuat kebingungan selepas meninggalkan ruang pameran.
Prasasti yang dipajang memang bukan barang asli. Namun, setiap barang yang ada dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Pengunjung diperingatkan untuk tidak memegang benda-benda tersebut. Meski demikian, beberapa pengunjung yang berfoto sesekali memegang dan mengubah posisi barang sehingga petugas sesekali harus mengembalikan ke tempat semula.
Mengapa jalur rempah?
Pertanyaan tersebut menggelitik pengunjung sebelum memasuki area pameran. Sebab, Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim, bukan kerajaan agraris penghasil rempah-rempah. Penghasil utama rempah di Nusantara berada di wilayah Maluku.
Sejarawan JJ Rizal memaparkan, jalur rempah memang tak setenar jalur sutra. Di jalur sutra itu, sutra hanya salah satu komoditas yang diperdagangkan. Komoditas utama yang banyak diperdagangkan justru rempah-rempah.
Peneliti Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo, mengatakan, Kerajaan Sriwijaya memegang peran penting dalam jalur perdagangan dunia, termasuk jalur rempah. Para pedagang rempah dari Maluku menjual cengkeh di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Para pembeli dari India, Tiongkok, dan Persia tidak langsung mendatangi Maluku karena jaraknya terlalu jauh. Artinya, Kerajaan Sriwijaya menjadi penimbun rempah-rempah dari sejumlah wilayah Nusantara sebelum dilayarkan ke berbagai penjuru dunia.
Para pedagang asing dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok jika ingin berdagang di wilayah yurisdiksi Kerajaan Sriwijaya harus menggunakan kapal milik Kerajaan Sriwijaya.
Teknologi pembuatan kapal yang ditemukan antara lain menggunakan teknik ikat, teknik pasak kayu atau bambu, teknik gabungan ikat dan pasak kayu atau bambu, serta perpaduan teknik pasak kayu dan paku besi. ”Para pedagang asing dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok jika ingin berdagang di wilayah yurisdiksi Kerajaan Sriwijaya harus menggunakan kapal milik Kerajaan Sriwijaya,” kata Bambang.
Arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, menambahkan, ketika masuk wilayah Kerajaan Sriwijaya, pedagang diwajibkan melakukan bongkar muat di pelabuhan dan tidak diperbolehkan menggunakan kapalnya sendiri. Para perompak dan Suku Laut memaksa pedagang berganti menggunakan kapal milik Kerajaan Sriwijaya. ”Tidak ditemukan kapal asing di wilayah Sriwijaya. Ini mengartikan bahwa kapal-kapal tersebut dilarang melintas di wilayah Kerajaan Sriwijaya,” ujarnya.
Sistem perdagangan itu membuat Kerajaan Sriwijaya memegang peran penting. Mereka mendapatkan pemasukan dari pajak yang dibayarkan dari perdagangan dunia. Setiap kapal yang masuk-keluar wilayah tersebut diharuskan membayar 20.000 dinar.
Pameran Kedatuan Sriwijaya” ini dibuka resmi oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama, dan Presiden Direktur PT Jalur Rempah Luki Wanandi, Jumat (3/11), di Museum Nasional Indonesia di Jalan Medan Merdeka Barat No 12, Gambir, Jakarta Pusat. Pameran dibuka untuk umum setiap hari, pukul 10.00-20.00.
Luki Wanandi selaku penyelenggara pameran menuturkan, pameran ini diselenggarakan untuk mengingatkan kembali masa kejayaan rempah di Nusantara kepada generasi milenial. Dia berharap, nasionalisme generasi muda kembali terbangun dengan mengingat kembali bahwa Indonesia pernah menjadi pusat perdagangan dunia.
Pameran ini untuk mengingatkan kembali masa kejayaan rempah di Nusantara kepada generasi milenial. Nasionalisme generasi muda diharapkan kembali terbangun dengan mengingat kembali bahwa Indonesia pernah menjadi pusat perdagangan dunia.
Saat ini, lanjut Luki, langkah pemerintah untuk mengembalikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sangat tepat. Selama bertahun-tahun, pemerintah cenderung mengabaikan sektor laut, padahal lebih dari 70 persen wilayah Indonesia adalah lautan. ”Perkuat kembali infrastruktur antarwilayah untuk mengembalikan kejayaan Indonesia,” ucap Luki.