Solid Dulu Pimpinannya, Baru KPK Tak Mudah Diserang!
JAKARTA, KOMPAS — Soliditas kelima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menentukan sikap bisa membuat sistem kolektif kolegial berjalan efektif. Setiap unsur pimpinan harus memiliki visi yang sama agar institusi antikorupsi itu tidak mudah dilemahkan dari dalam maupun luar.
”Faktor pimpinan sangat menentukan. Kepemimpinan di KPK harus kuat, mampu membangun visi dan misi bersama agar tercipta sistem kolektif kolegial yang efektif. Tanpa itu, anggota di tingkat bawah bisa tercerai-berai,” kata Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia Dadang Trisasongko, Jumat (3/11) di Jakarta.
Menurut Dadang, indikasi munculnya ruang perpecahan di tubuh lembaga antikorupsi tersebut mulai terlihat dari belum satu suaranya pimpinan, pejabat struktural, dan penyidik dalam mengambil keputusan.
Kepemimpinan di KPK harus kuat, mampu membangun visi dan misi bersama agar tercipta sistem kolektif kolegial yang efektif. Tanpa itu, anggota di tingkat bawah bisa tercerai-berai.
Hal itu, lanjut Dadang, terlihat dari pertarungan antara penyidik senior KPK, Novel Baswedan, dan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman. Dewan Pertimbangan Pegawai mengadakan sidang terkait adanya pelanggaran pengiriman e-mail oleh Novel kepada Aris dan kehadiran Aris pada rapat Panita Angket DPR terhadap KPK. Bahkan, Aris melaporkan Novel ke Polda Metro Jaya dengan dugaan pencemaran nama baik karena e-mail tersebut.
Di tingkat pimpinan KPK, kelimanya belum satu suara untuk memutuskan dukungan KPK terhadap usulan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Mereka juga belum memutus sanksi yang akan diberikan kepada Aris dan Novel karena suara belum bulat.
Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menampik adanya perbedaan pendapat di antara pimpinan komisi antikorupsi itu dalam upaya penuntasan kasus Novel, terlebih lagi terkait pembentukan TGPF. ”Dalam pengambilan keputusan, kami kolektif kolegial. Kami akan diskusikan lagi, tetapi kami optimistis melihat perkembangan. Mungkin saja akan ada pimpinan yang berubah sikap (setuju dengan pembentukan TGPF). Ditunggu saja,” ujar Agus.
Dadang mengatakan, perbedaan mendasar antarpimpinan dan pejabat struktural KPK tidak perlu terjadi. Mereka merupakan satu kesatuan yang solid sehingga harusnya pengambilan keputusan secara kolektif kolegial tidak perlu melalui perbedaan yang tajam.
Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, KPK belum bisa menentukan sikap karena saat ini belum seluruh pimpinan KPK berada di Jakarta. Namun, pembicaraan di antara pimpinan sudah mulai dilakukan. ”Untuk menentukan kondisi terbaik, tentu perlu dibahas bersama-sama antarpimpinan KPK,” katanya.
Febri menyebutkan, pada prinsipnya, seluruh pimpinan setuju dan punya harapan yang sama agar pelaku penyerangan Novel ditemukan dan diproses. Selain pelaku lapangan, KPK berharap auktor intelektualis penyerangan tersebut ditangkap. Namun, KPK belum menentukan sikap, apakah mendukung pembentukan TGPF ataupun tidak.
Dadang menilai, pimpinan KPK seharusnya makin solid. Jangan sampai sistem pengambilan keputusan kolektif kolegial justru memunculkan perbedaan yang lebar. Sebab, tekanan dan pelemahan terhadap KPK makin menguat akhir-akhir ini di tengah pengusutan kasus besar, seperti KTP elektronik dan BLBI.
Komposisi KPK yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, dan internal KPK memang tidak bisa dihindarkan. Perbedaan latar belakang seharusnya tidak menjadi permasalahan karena mereka disatukan dengan komitmen untuk memberantas korupsi. ”Apa pun latar belakangnya, harus melihat korupsi sebagai musuh bersama,” ujar Dadang.
KPK secara struktural memang harus menghadapi ketegangan hubungan dengan penegak hukum lain. Undang-Undang KPK secara jelas memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyupervisi kepolisian dan kejaksaan, bahkan KPK bisa mengambil alih kasus korupsi yang tidak tertangani dengan baik oleh kepolisian atau kejaksaan.
KPK juga diberi kewenangan untuk menangani kasus-kasus korupsi oleh penegak hukum. Jadi, menurut Dadang, secara struktural dan sosiologis, KPK memang akan selalu berada dalam pusaran konflik dengan lembaga penegak hukum.
Konflik itu semakin kompleks karena ketegangan juga terjadi di dalam tubuh KPK. Hal ini, lanjut Dadang, terjadi karena selama ini KPK merekrut polisi sebagai penyidik KPK. Masalah integritas dan ego sektoral di lembaga penegak hukum juga berkontribusi pada menguatnya ketegangan hubungan antarlembaga penegak hukum.
”Soliditas hubungan antarlembaga penegak hukum akan menguat jika mindset pimpinan kolaboratif. Anggota di tingkat bawah pasti akan meneladani pimpinannya,” ucap Dadang.
Soliditas hubungan antarlembaga penegak hukum akan menguat jika ”mindset” pimpinan kolaboratif.
Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas menuturkan, pimpinan KPK di tingkat pejabat struktural harus memberikan keteladanan dan kepercayaan kepada sesama anggota. Mereka akan menjadi contoh bagi anggota KPK di tingkat bawah. Jika sesama pejabat saling terbentuk kepercayaan, niscaya KPK makin solid.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, meminta KPK menghilangkan perbedaan agar kembali solid. Pertikaian di tubuh internal KPK justru membuat upaya pemberantasan korupsi jadi kontraproduktif.