Syariat Libana dan Kisah Perempuan Penenun Ikat dari Alor
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
SETIAP tamu yang datang ke Alor, Nusa Tenggara Timur, tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mampir di rumah produksi tenun ikat milik Syariat Libana di Dusun Ula, Desa Alor Besar, Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Rumah produksi tenun ikat Syariat Libana menghimpun 300 perempuan dari tujuh desa di Kecamatan Alor Barat Laut untuk menenun di rumah produksinya atau di kediaman masing-masing.
Mereka yang menenun di kediaman masing-masing telah mengikuti pelatihan dan pengenalan bahan pewarna, cara mewarnai, dan cara menenun yang tepat di rumah produksi Syariat Libana. Syariat Libana sendiri menyediakan material tenun, seperti perangkat alat tenun, kapas, benang, dan bahan-bahan pewarna.
Syariat Libana (54), di Dusun Ula, Desa Alor Besar, 25 km dari Kalabahi, Rabu (2/11), mengatakan, usaha tenun ikat yang dirintis sejak usia enam tahun itu telah mempekerjakan ribuan perempuan di Kecamatan Alor Barat Laut, dari tahun ke tahun. Saat ini, ia menghimpun sekitar 300 perempuan, sekitar 50 siswi SD, SMP, dan SMA.
”Mereka datang dari tujuh desa di Kecamatan Alor Barat Laut. Sebagian besar perempuan dari Desa Alor Besar. Lima desa di antaranya ada di tiga pulau di Kecamatan Alor Barat Laut, yakni Pulau Buaya, Ternate, dan Pura. Ke tempat produksi ini, mereka harus naik perahu ketinting sekitar 1 jam perjalanan. Ombak juga terkadang tidak bersahabat, jadi saya menyiapkan bahan tenun agar mereka bisa menenun di pulau-pulau itu. Hasil tenun diantar ke sini,” katanya.
Ke tempat produksi ini, mereka harus naik perahu ketinting sekitar 1 jam perjalanan. Ombak juga terkadang tidak bersahabat.
Syariat Libana mengunjungi mereka setelah kaum perempuan ini berkumpul di satu titik tertentu di pulau itu. Ia memberi bimbingan dan arahan agar tenunan tetap sesuai minat dan selera konsumen, yakni tipis, ringan, tidak luntur saat dicuci, dan motif tenun disesuaikan dengan tradisi dan budaya lokal. Tenunan khas Syariat bisa dibedakan dari tenun asal Kupang, Timor, Sumba, dan Flores.
Satu kain tenun berukuran 2 meter dan lebar 1 meter bisa dikerjakan dalam 4-60 hari. Ini tergantung dari ketekunan mengerjakan. Sekitar 250 perempuan menyelesaikan satu tenunan selama 4-30 hari. Selain menenun, mereka juga bekerja di ladang, mengurus rumah tangga, dan membantu suami melaut. Sementara 50 penenun menyelesaikan satu kain sampai 60 hari karena mereka ini memiliki pekerjaan lain, seperti PNS atau pemilik kios.
”Kalau sudah ada telepon dari anak mereka di Kupang, Surabaya, atau kota-kota lain untuk mengirim uang, mereka akan kerja ngebut. Dalam waktu 4-8 hari mereka sudah datang antar empat kain karena yang menenun ada dua orang dalam satu rumah. Mereka pun berhak mendapatkan uang Rp 1 juta untuk empat kain. Saya hanya menghargai jasa mereka karena semua bahan dari saya, termasuk makan dan minum, bagi mereka yang menenun di sini,” katanya.
Kalau sudah ada telepon dari anak mereka di Kupang, Surabaya, atau kota-kota lain untuk mengirim uang, mereka akan kerja ngebut.
Kain ini dijual ke konsumen oleh Syariat dengan harga Rp 300.000-Rp 500.000. Namun, ada pula kain yang dijual dengan harga sampai Rp 3 juta, terutama jenis tertentu, seperti peninggalan orangtua, panjang dan lebar kain, pengerjaan rumit dan sulit karena motif, menggunakan benang kapas, dan memiliki motif dengan nilai sejarah tertentu.
Setiap bulan rata-rata ia mengumpulkan sekitar 400 lembar kain dari 300 perajin. Namun, tidak semua perajin menenun rutin. Masih ada sekitar 50 penenun yang hanya menenun satu kali dalam 2-3 bulan. Mereka ini menenun hanya dalam waktu senggang karena punya pekerjaan tetap. Kegiatan menenun sekadar mengajarkan kepada anak-anak di rumah itu.
Kain-kain ini sebagian dikirim ke Kupang, Denpasar, Bandung, dan Timor Leste. Jumlah terbanyak dikirim ke Kupang, rata-rata 150 lembar, ke lima showroom. Untuk luar NTT, mereka harus transfer uang lebih awal sebelum kain dikirim. Sementara di Kupang, kain dikirim lebih awal setelah itu mereka mengirim uang. Di Kupang dijual dengan harga berbeda, yakni Rp 400.000-Rp 3 juta per lembar.
Anisa Kajete (38), salah satu perajin di rumah produksi Syariat Libana, mengatakan, sebelum bekerja di rumah produksi, ia tidak pernah memegang uang. Saat ini setiap bulan ia bisa menyimpan uang Rp 1,5 juta. Uang itu dimanfaatkan untuk biaya pendidikan anak pertama, yang sedang kuliah di Kupang, membeli tanah, dan memperbaiki rumah.
”Saya bekerja di sini sejak 2008. Saat itu rumah produksi ini belum terkenal seperti sekarang. Dulu hanya kami lima orang, sekarang sudah 200 orang menenun di sini. Setiap hari 5-10 orang datang menenun. Sore hari kami pulang. Teman yang lain, sekitar 100 orang, menenun di pulau,” kata Kajete.
Suami Kajete, Umar Ola (43), bersama 10 pria lain dari desa itu terlibat membantu rumah produksi, mencari bahan pewarna dari laut, seperti teripang dan cumi-cumi. Mereka diupah Rp 500.000 per bulan.
Ia mengatakan, warga di Kecamatan Alor Barat Laut tidak lagi kesulitan mencari uang. Rumah produksi Syariat Libana terus mendapat kunjungan tamu dari masyarakat Alor dan luar Alor. Mereka datang berbelanja kain. Setiap pengunjung rata-rata membeli dua kain. Harga kain bervariasi, Rp 300.000-Rp 3 juta per lembar. Dalam satu hari rata-rata ada 10 pengunjung. Khusus untuk saledang atau kain sal (10 cm x 100 cm) dihargai Rp 50.000-Rp 100.000 per lembar.
”Sebelumnya kami hidup miskin. Susah sekali cari uang di kampung ini. Sekarang, kami bisa pegang uang sampai Rp 2 juta per bulan. Hampir semua perempuan di desa ini terlibat menenun di sini, terutama mereka yang tidak punya pekerjaan tetap,” katanya.