SENDAI, KOMPAS -- Antisipasi bencana tsunami dari pantai selatan jawa dalam pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo, Yogyakarta, diperdalam di Jepang. Pemilik proyek, konsultan, dan sejumlah akademisi dari Indonesia mengunjungi perencana teknik, ahli, dan bandara rentan tsunami di Tokyo, Sendai, dan Kochi.
"Masih ada sejumlah hal yang perlu kami pelajari, terutama dari mereka yang lebih berpengalaman," kata Direktur Gedung PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk M Aprindy di Tokyo, Jumat (27/10). PT PP Tbk dan PT Angkasa Pura I adalah investor proyek pembangunan Bandara Kulonprogo senilai lebih dari Rp 6 triliun.
Rabu lalu, rombongan dari Indonesia bertemu dua perusahaan perencana desain dan proyek ternama Jepang, Nikken Sekkei dan Nippon Koei. Keduanya berpengalaman mendesain proyek besar, termasuk puluhan bandara di puluhan negara.
Keduanya terlibat membangun Bandara Internasional Narita. Lalu, bandara lain di dua pulau buatan di Jepang dengan kontur tanah labil dan rentan gempa besar.
"Dari kunjungan ini, kami perlu membuat sejumlah penyesuaian, termasuk desain yang sudah ada," kata Direktur Infrastruktur PT PP Tbk, Toha Fauzi. Desain awal sudah dibuat konsultan dalam negeri.
Menurut rencana, tahap pertama Bandara Kulonprogo akan memiliki panjang landas pacu (runway) 3.250 meter dengan lebar total 60 meter. Fase awal ini ditargetkan selesai akhir Desember 2018 dan ditargetkan beroperasi April 2019.
Hari Kamis, usai mengunjungi bandara Sendai, tim menemui pihak pembuat regulasi pemerintah Jepang. Wakil regulator bandara di Jepang memaparkan sejumlah aturan, termasuk simulasi penanganan kedaruratan pascatsunami di bandara internasional Haneda, Tokyo.
Menurut rencana, tahap pertama Bandara Kulonprogo akan memiliki panjang landas pacu (runway) 3.250 meter dengan lebar total 60 meter. Fase awal ini ditargetkan selesai akhir Desember 2018 dan ditargetkan beroperasi April 2019.
Atas target itu, "Kami siap mewujudkan," kata Aprindy. Masih cukup waktu untuk mematangkan rancangan gedung dan landas pacu, serta fasilitas bandara yang mengakomodir potensi tsunami dari pantai selatan Jawa.
Konsensus
Salah satu target kunjungan di Jepang adalah informasi dan pembelajaran desain, konstruksi, operasional, hingga prosedur evakuasi bila terjadi gempa ataupun tsunami.
"Dari situ akan dihasilkan konsensus atau kesepakatan soal acuan standar internasional yang akan diadopsi dan parameter kriteria desain mengantisipasi tsunami dalam proses pembangunan bandara, bukan hanya untuk kulonprogo," kata Guru Besar yang juga Kepala Pusat Penelituan Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Ketua Tim Peta Gempa Indonesia 2017, Masyhur Irsyam.
Salah satu target kunjungan di Jepang adalah informasi dan pembelajaran desain, konstruksi, operasional, hingga prosedur evakuasi bila terjadi gempa ataupun tsunami.
Selain Masyhur, rombongan juga diikuti akademisi bidang teknik sipil dan kebencanaan dari ITS, UGM, dan Undip. Mereka akan mendiskusikan sejumlah temuan.
Untuk infrastruktur landas pacu, salah satu yang dipertimbangkan adalah membuat "kaki-kaki" penyangga landas pacu untuk menjamin stabilitas permukaan. "Geser sedikit saja berisiko bagi pesawat yang mendarat maupun takeoff," kata Agus Taufik Mulyono, Guru Besar Fakultas Teknik UGM yang juga anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Bandar Udara Indonesia.
Adapun untuk gedung, kekuatan dan desain akan dimatangkan menyesuaikan kajian detil yang dibahas lebih luas usai kunjungan di Jepang. Para pihak juga akan berupaya membuat kesepakatan yang bisa diterapkan secara nasional.
Menurut Masyhur, hingga kini Indonesia belum punya standar khusus antisipasi bencana, khususnya tsunami, dalam pembangunan bandara yang dijadikan acuan bersama. Akibatnya, setiap konsultan dan investor bisa punya standar berbeda.
Di Bandara Kulonprogo, kesepakatan terkait spesifikasi teknis amat diperlukan, khususnya untuk menunjang keselamatan penumpang dan staf bandara. Lokasi bandara berjarak 400 meter dari laut selatan yang punya sejarah kegempaan hingga magnitudo 8,5, yang diikuti tsunami setinggi belasan meter.
Menurut General Manajer Proyek Bandara Kulonprogo Andek Prabowo, desain awal sudah mengadopsi risiko bencana. Namun, sangat terbuka dengan perubahan menyusul kajian detil dan konsensus.
"Kami siap mengakomodir hal baru dari studi di Jepang ini," kata dia. Saat ini, proyek di lapangan masih berupa pembersihan lahan. (Gesit Ariyanto, dari Sendai, Jepang)