JAKARTA, KOMPAS — Penerapan asas bangunan gedung hijau (green building) perlu didorong lebih jauh, terutama di kota besar seperti Jakarta. Skema insentif pajak atau penambahan koefisien lantai bangunan dapat diberikan kepada bangunan yang memiliki standar lebih tinggi daripada ketentuan peraturan wajib yang telah ditentukan.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 adalah peraturan pertama di Indonesia yang mengatur tentang penerapan konsep bangunan gedung hijau. Peraturan ini menetapkan seluruh bangunan gedung baru dengan luas lantai total 50.000 meter persegi di wilayah DKI Jakarta harus memenuhi standar bangunan gedung hijau. Gedung tersebut, antara lain, harus memiliki sistem pencahayaan alami yang memadai, penggunaan pendingin ruangan yang efisien, dan pengelolaan limbah padat.
Indonesia Green Building Program Lead International Finance Corporation (IFC) Sandra Pranoto mengatakan, Bandung dapat dilihat sebagai contoh penerapan regulasi bangunan gedung hijau yang lebih komprehensif. Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan Peraturan Wali Kota Nomor 1023 Tahun 2016 yang mulai berlaku tanggal 26 Agustus 2016.
”Peraturan bangunan gedung hijau di Bandung mencakup segala jenis bangunan, termasuk rumah tinggal tunggal. Selain itu, ada insentif pengurangan Pajak Bumi Bangunan dan penambahan koefisien lantai bangunan (KLB) untuk bangunan yang standarnya lebih tinggi dari yang sudah ditetapkan,” kata Sandra.
Sandra mengatakan, biaya rancang bangun bangunan gedung hijau dapat lebih mahal 2-10 persen dibandingkan bangunan gedung konvensional. Namun, biaya operasional bangunan gedung hijau dapat lebih rendah. ”Pada bangunan gedung hijau, biaya listrik dan air bisa lebih rendah hingga 40-50 persen dibandingkan bangunan biasa,” katanya.
Pada bangunan gedung hijau, biaya listrik dan air bisa lebih rendah hingga 40-50 persen dibandingkan bangunan biasa.
Menurut data yang dimiliki oleh International Finance Corporation, sebuah badan keuangan di bawah Bank Dunia, sejak April 2013-Juni 2017, sebanyak 290 bangunan gedung hijau dengan luas total sekitar 18 juta meter persegi telah dibangun di Jakarta. Penerapan standar bangunan gedung hijau sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 38 telah menghemat 954 megawatt listrik atau emisi 705.057 ton gas rumah kaca yang senilai sekitar 68 juta dollar AS atau Rp 923 miliar.
Sementara itu, di Bandung, sejak peraturan berlaku pada pertengahan 2016, sebanyak 270 bangunan baru telah sesuai dengan standar bangunan hijau. ”Namun memang, luas lantainya lebih kecil, hanya 78.446 meter persegi. Namun, jumlahnya cukup banyak,” kata Sandra. Penerapan peraturan bangunan gedung hijau di Bandung telah menghemat 5.769 MW listrik atau menahan lepasan emisi gas rumah kaca sebesar 4.846 ton. Penghematan energi ini senilai 634.598 dollar AS atau sekitar Rp 8,6 miliar.
Anggota Tim Ahli Bangunan Gedung DKI Jakarta, Jatmika Suryabrata, mengatakan, regulasi bangunan gedung hijau yang saat ini berlaku dibuat sesederhana mungkin agar masyarakat tidak keberatan untuk mengadaptasi konsep itu. ”Masyarakat kalau mendengar kata green building terkesan terlalu membebani. Resistensi masih ada,” katanya. Selain itu, Jatmika mengatakan, dibutuhkan tenaga reviewer yang lebih besar jika regulasi mencakup jumlah dan jenis gedung yang lebih luas.
Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia Ahmad Djuhara mengatakan, pemerintah seharusnya lebih percaya diri untuk meningkatkan penerapan bangunan gedung hijau. ”Ini, kan, hal yang baik. Sebaiknya pemerintah dapat memberikan yang terbaik untuk masyarakat,” katanya.
Djuhara menilai masyarakat harus mulai sadar akan keuntungan penerapan konsep bangunan gedung hijau. ”Masyarakat harus sadar dengan peran besarnya dalam menentukan kebijakan pemerintah,” katanya.
Menurut Djuhara, arsitek yang baik tentu mendukung penggunaan asas bangunan gedung hijau dalam merancang bangun. Ia mengatakan, konsep merancang sesuai dengan kondisi alam dan ramah lingkungan telah menyatu dalam pendidikan profesi. (DD17)