JAKARTA, KOMPAS — Kewirausahaan sosial berkembang pesat sejak dua tahun terakhir. Perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran kelompok milenial atau generasi yang lahir di atas tahun 1980.
Chairman DBS Foundation Euleen Goh mengatakan hal tersebut di sela-sela temu media, Selasa (24/10), di Jakarta. Kelompok milenial ini menganggap kewirausahaan sosial sebagai upaya menciptakan lebih banyak serapan tenaga kerja.
”Kewirausahaan sosial merupakan pola pikir. Nilai utamanya terletak pada tujuan sosial. Cakupan tujuan sosial bukan sekadar dilihat dari dampak sosial kepada masyarakat, melainkan juga pengelolaan keuangan dan lingkungan yang bertanggung jawab,” ujar Euleen.
Tantangan utama yang umumnya dihadapi wirausaha sosial adalah mengelola keuangan. Di satu sisi, mereka harus menjaga kelangsungan bisnis. Di sisi lain, mereka memiliki visi memberikan dampak sosial bagi masyarakat.
Euleen berpendapat, keberadaan wirausaha sosial sudah mulai diterima masyarakat. Beberapa di antara wirausaha sosial di Asia memiliki model bisnis matang dan mengadopsi teknologi digital.
Kedatangan Euleen ke Indonesia bertujuan menghadiri Social Enterprises Summit 2017. Ini merupakan ajang tahunan. Penyelenggaraan pertama berlangsung tahun lalu. Acara diisi dengan seminar dan presentasi empat perusahaan kewirausahaan sosial Indonesia di depan calon investor.
Keempat perusahaan tersebut adalah Crowde, Evoware, TEMU, dan Wecare.id. Crowde merupakan sebuah platform investasi berbasis laman yang menghubungkan petani skala kecil dengan investor ritel. Evoware merupakan perusahaan pengembang bioplastik.
TEMU adalah perusahaan aplikasi yang mempertemukan tenaga kerja terampil dengan perusahaan. Adapun Wecare.id merupakan laman yang dibangun khusus untuk mengumpulkan dana bagi pasien-pasien di daerah terpencil.
Sejak tahun 2014, DBS Foundation membina 160 wirausaha sosial di Asia. Program DBS Foundation meliputi dana grant, DBS-NUS Social Venture Challenge Asia, dan Social Enterprise Summit.