Nasib Pedagang Cinde Terimpit di Lapak Sempit
WAJAH Yusli (52) tertegun pasrah. Sorot matanya kosong, sekilas berkaca-kaca. Pria yang sehari-hari berjualan ayam dan bebek itu sangat emosional ketika menceritakan pendapatannya yang hampir dua bulan ini anjlok. Ada kekecewaan mendalam sehingga pria bertubuh besar ini tak kuasa menahan emosinya.
”Seneb (sakit di ulu hati yang biasanya karena terkena pukulan keras di ulu hati) nian rasonyo sekarang,” ujar Yusli mengungkapkan keluh-kesahnya ketika diwawancarai Kompas di lapak relokasi pedagang Pasar Cinde, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, sebulan lalu.
Yusli merupakan salah satu dari sekitar 600 pedagang Pasar Cinde yang direlokasi ke lapak semipermanen di sekitar pasar tradisional yang berusia lebih 50 tahun itu. Mereka direlokasi sejak 8 Agustus karena Pasar Cinde akan direvitalisasi.
Mirisnya, sejak dipindah ke lapak relokasi, penjualan pedagang turun drastis, bahkan rata-rata mencapai 50 persen. Yusli, misalnya, yang berdagang di Pasar Cinde sejak 1982 itu, biasanya menjual 100-an ekor ayam ataupun bebek per hari. Namun, sejak pindah ke lapak relokasi, penjualannya tak lebih dari 50 ekor ayam/bebek per hari. ”Biasonyo sampe jam 09.00 ini bae (saja), aku biso jual 50-60 ekor ayam/bebek. Tapi, jingok (lihat) ini, baru terjual 3 ekor ayam,” ucapnya gundah.
Keluhan itu dirasakan hampir semua pedagang di lapak relokasi. Ketika Kompas berjalan dari bagian timur, utara, dan selatan lapak relokasi, semua pedagang menyapa dan menyampaikan kegetiran tentang dagangannya yang tak laku. ”Pasar sekarang sepi. Pedagang mengap-mengap (hidup segan mati tak mau),” ucap Zulmina (58), pedagang sayuran di sana.
Yusli mengatakan, kondisi itu buntut dari kesemrawutan lapak relokasi. Di lapak itu, pedagang kue, bahan pokok, buah, sayur, ikan, daging, dan ternak bercampur jadi satu. Akibatnya, lapak menjadi jorok dan tak higienis. ”Dulu, di dalam pasar, semuanya teratur. Lapak dipisah sesuai kategori barang dagangan supaya idak jorok. Di sini, semua bercampur. Madaki (masak) orang mau beli kue basah di sebelahnya darah daging atau kotoran ternak,” kata Yusli.
Menurut Kadir, pedagang udang, kondisinya diperparah sempitnya lapak relokasi. Lebar akses jalan di lapak itu hanya 1,5 meter sehingga konsumen harus berimpitan. Bandingkan dengan jalan di dalam Pasar Cinde yang bisa 2-3 meter. ”Selain itu, di sini, parkirannyo sempit. Pembeli jadi malas dateng,” katanya.
Semakin resah
Pedagang kini dihantui kekhawatiran terhadap masa depan Pasar Cinde. Sebab, sejak direlokasi, belum ada tanda-tanda Pasar Cinde akan dibangun. Padahal, sejumlah bagian pasar, terutama kios-kios di dalam pasar, sudah dihancurkan. Sebagian besar bagian pasar pun telah dijarah, terutama pintu-pintu kayu kios dan sejumlah besi tua.
Zulmina menyampaikan, kalau kondisi itu semakin lama, pedagang bisa gulung tikar. ”Sekarang, kami masih biso bertahan karena barang-barang ini masih dikasih utang oleh toke (tauke). Tapi, kalau toke sudah dak ngasih utang, besok-besok kami dak jualan lagi,” ujarnya.
Keresahan mereka semakin menjadi-jadi karena sengketa pembangunan Pasar Cinde tak kunjung ada titik terang. Setelah penandatanganan kontrak pembangunan (build operate and transfer/BOT) antara Pemprov Sumsel dan PT Aldiron Hero Group pada 18 Maret 2016, proyek bernilai investasi Rp 250 miliar itu harusnya dimulai pada September 2016 dan target tuntas September 2018.
Namun, karena ditentang oleh sejumlah pihak, antara lain arkeolog, sejarawan, arsitek, dan aktivis, pembangunan itu belum bisa dilakukan. Menurut pihak propelestarian Pasar Cinde yang tergabung dalam komunitas Save Cinde, Pasar Cinde merupakan bangunan cagar budaya dan bersejarah yang patut dipertahankan.
Pasar Cinde adalah bangunan karya arsitek Abikoesno Tjokrosoejoso yang terinsiprasi dari Pasar Johar di Semarang, Jawa Tengah, karya arsitek Hindia-Belanda Thomas Karsten. Ciri khas pasar itu pada tiang cendawan di dalamnya yang dinilai sebagai arsitektur tropis modern di masanya. ”Keberadaannya sangat penting sebagai sumber ilmu pengetahuan, terutama sejarah arsitektur Nusantara,” ucap Retno Purwanti, peneliti di Balai Arkeologi Sumsel.
Situasi kian alot ketika Wali Kota Palembang Harnojoyo menerbitkan SK Wali Kota Palembang Nomor 179a Tahun 2017 tentang Penetapan Pasar Cinde sebagai Cagar Budaya Tingkat Kota pada 31 Maret 2017. Atas dasar itu, desakan agar Pemprov Sumsel ataupun pengembangan menghentikan rencana pembangunan tersebut semakin kuat.
Tawarkan desain baru
Menanggapi kondisi itu, pengembang mencari jalan keluar dengan menawarkan desain baru pembangunan Pasar Cinde. Direktur Utama PT Aldiron Hero Group Atar Tarigan mengatakan, desain baru akan mempertahankan inti Pasar Cinde, yakni fasad (bagian depan) bangunan berupa 12 cendawan. Mereka juga akan membuat galeri (museum mini) berisi foto-foto bersejarah mengenai Pasar Cinde.
Mereka mengklaim cara itu banyak dilakukan pada bangunan cagar budaya lain di dalam dan luar negeri. ”Ini jalan tengah yang kami tawarkan agar pembangunan tetap lanjut. Apalagi, kami sudah banyak rugi karena tertundanya pembangunan tersebut,” katanya.
Pemprov Sumsel juga mendukung usulan desain baru itu.
Adapun Sekretaris Daerah Sumsel Nasrun Umar mengatakan, pihaknya bersikukuh merevitalisasi Pasar Cinde didasari hasil uji laboratorium dan kajian ahli kontruksi yang menyatakan, korosi Pasar Cinde sudah lebih dari 80 persen. ”Kalau terjadi gempa, bangunan ini bisa langsung ambruk. Kalau ambruk, ini membahayakan banyak orang. Pemerintah pasti disalahkan bila kami membiarkan fakta itu,” katanya.
Pemkot Palembang selaku pemilik aset meminta Pemprov Sumsel dan pengembang bersabar. Sebab, pihaknya tengah mengkaji ulang Pasar Cinde. Nantinya, hasil kajian tersebut akan menentukan rencana revitalisasi pasar itu ke depan. ”Kami minta semua pihak menghormati proses kajian yang tengah kami lakukan,” ujar Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda.
Terlepas dari segala polemik yang ada, pedagang berharap Pasar Cinde segera dibangun, entah direnovasi, direvitalisasi, ataupun benar-benar diperbarui. Bagi mereka, apa pun bentuk Pasar Cinde nanti, pasar itu harus tetap bersahabat menjadi wadah pedagang tradisional yang kantongnya pas-pasan. Apalagi, kini pedagang cukup menderita karena nasibnya kian terimpit di tengah lapak relokasi yang sempit.