BANDUNG BARAT, KOMPAS — Teknologi perbenihan melalui true shallot seed atau biji botani diyakini mengatasi sederet problem bawang merah. Sampai kini, petani umumnya masih menggunakan benih dari umbi yang memiliki sederet kekurangan, seperti jumlahnya yang terbatas, ongkos pembelian dan pengangkutan yang relatih lebih mahal, potensi hasil yang rendah, serta risiko penyakit.
Peneliti senior Badan Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Suwandi, di kantor Balitsa di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pekan lalu, menyebutkan, penanaman bawang dengan umbi membutuhkan 1-1,2 ton benih per hektar (ha). Sementara dengan biji botani (true shallot seed/TSS) hanya butuh 4-6 kilogram (kg) per hektar.
”Perbedaan itu akan menekan ongkos pengangkutan. Bayangkan, jika kirim 1-1,2 ton benih umbi (untuk 1 ha lahan tanam) ke Papua, butuh biaya setidaknya Rp 50 juta. Dengan benih biji, ongkos kirimnya bisa jauh lebih kecil sebab per ha hanya butuh beberapa kilogram,” ujarnya dalam rangkaian Lokakarya Perbenihan dan Perbibitan yang digelar Badan Pelatihan dan Pengembangan SDM Kementerian Pertanian dan Masyarakat Perbenihan dan Perbibitan Indonesia (MPPI).
Selama ini, petani bawang merah menghadapi kendala minimnya benih umbi bermutu, terutama pada periode Oktober-Maret. Sebab, stok benih dari musim tanam sebelumnya telah jauh berkurang, sementara kebutuhan untuk memulai tanam cukup tinggi. Pada tahun 2010, Direktorat Jenderal Hortikultura memperkirakan kebutuhan benih (umbi) bermutu hanya terpenuhi 15-20 persen.
Selain jumlahnya terbatas, produktivitas benih umbi relatif rendah, yakni 9,28 ton per ha. Padahal, potensi hasil bisa mencapai 20 ton per hektar. Dengan harga setidaknya Rp 25.000 per kg, petani harus mengeluarkan modal setidaknya Rp 25 juta untuk membeli benih. Sementara dengan biji botani, petani hanya mengeluarkan modal Rp 4,6 juta-Rp 7,2 juta untuk benih.
Lebih lama
Akan tetapi, penanaman bawang merah dengan benih dari biji membutuhkan masa tanam lebih lama. Sebab, petani harus menebar benih terlebih dulu, setidaknya satu bulan sebelum memindahkannya ke petak lahan. ”Kadang petani tak cukup telaten dan sabar untuk itu,” kata Kepala Seksi Jasa Penelitian dan Kerja Sama Balitsa Andi Supriadi.
Andi menambahkan, pengembangan dan produksi biji botani (TSS) lebih cocok di ekosistem lahan kering di dataran tinggi. Lokasi dengan suhu 16-18 derajat celsius merupakan lokasi yang sesuai untuk pembungaan bawang merah. Oleh karena itu, produksi akan lebih optimal jika dilakukan di dataran tinggi, termasuk di daerah Lembang.
Balitsa telah melepas varietas bawang merah yang berpotensi menjadi sumber induk TSS, yakni Sembrani, Katumi, dan Trisula. Benih asal TSS dapat dipakai sebagai benih sumber untuk bahan perbanyakan benih sebar. (MKN)