Kampung Bena, Ngada, Masa Lalu yang Menghidupi Masa Kini
DENGAN sarung menutupi tubuh bagian atasnya, Petrus Wali (80) menahan dingin di lereng Gunung Ine Rie. Pria itu punya kegiatan rutin setiap pagi, berdagang kulit kayu manis di Kampung Adat Bena, Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Petrus adalah salah seorang warga yang secara turun-temurun tinggal di Bena. Tempat lahir, besar, dan bermukim Petrus itu adalah salah satu kampung tertua di Pulau Flores. ”Saya lupa keturunan ke berapa. Nenek moyang kami sudah tinggal di sini sejak beratus tahun lalu,” katanya.
Bena adalah salah satu andalan pelesiran di Ngada. Sudah 22 tahun, Ngada didata sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia oleh Badan PBB untuk Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan, dan Pendidikan (UNESCO). Masuk daftar pada 1995 membuat Ngada terkenal sebagai salah satu tujuan tetirah untuk peminat pelesiran budaya. Sisa-sisa kebudayaan megalitikum, rumah-rumah adat dari suku-suku asli dan upacara tradisional, masih dapat ditemukan di Ngada.
Sisa-sisa kebudayaan megalitikum di Bena di antaranya makam dari pecahan batu besar yang ada di tengah kampung. Leluhur orang Bena pun diyakini dikuburkan di sana. Selain makam, ada pula menhir atau tiang batu.
Seperti di kampung-kampung tua di Ngada, Kampung Adat Bena juga punya ngadhu, tiang kayu tunggal yang diatapi ijuk, dan bagha, pondok kecil berdinding papan dan beratap ijuk. Tiang ngadhu dibuat dari kayu keras dan kuat. Sebab, tiang itu sekaligus dipakai menggantung hewan kurban ketika pesta adat.
Selain menhir, ngadhu, dan bagha, di kampung itu tentu saja ada rumah. Seluruh rumah dibangun mengitari lapangan tempat menhir, ngadhu, dan bagha. Dilihat dari kejauhan, susunan rumah-rumah di Bena seperti perahu.
Dalam kebudayaan megalitikum, perahu dipercaya sebagai wahana arwah menuju tempat tinggalnya. Orang-orang Bena juga menerjemahkan perahu sebagai cerminan kerja sama dan kerja keras. Leluhur orang Bena diyakini harus menyeberang lautan hingga menemukan lahan yang kemudian menjadi Kampung Adat Bena.
Petrus menyebut sejak dulu Bena sudah seperti dalam keadaannya sekarang. Perbaikan hanya untuk menjaga agar bangunan-bangunan di Bena tetap seperti bentuk aslinya.
Sejak dulu Bena sudah seperti dalam keadaannya sekarang. Perbaikan hanya untuk menjaga agar bangunan-bangunan di Bena tetap seperti bentuk aslinya.
Tidak hanya menjaga bentuk fisik, warga juga masih menjaga tradisi di Bena. Warga kampung itu secara rutin menggelar kegiatan adat. Mereka yakin di puncak Ine Rie ada Yeta, dewa tertinggi dalam kepercayaan warga Bena.
Niat warga menjaga warisan leluhur itu mendapat balasan berupa kunjungan pelancong ke Bena. Kepada para pelancong itu, warga menjajakan aneka hal. Petrus rutin menjajakan kulit kayu manis. Setiap bilah kulit dijual Rp 10.000. ”Setiap hari, pasti terjual dua atau tiga batang saja. Lumayan untuk tambah penghasilan,” ujarnya.
Meraih kesempatan
Petrus dan warga Bena lainnya memang tidak hanya jadi penonton atas keriuhan pariwisata di kampung mereka. Selain kulit kayu manis yang dijajakan Petrus, warga Bena juga menjual kopi dan aneka hasil kebun lain. Hasil kebun di Bena dijajakan dalam kondisi segar.
Selain hasil kebun, warga juga menjual aneka hasil kerajinan tangan. Hasil kriya warga Bena antara lain kalung taring babi hutan dan kain tenun.
Salah satu pedagang tenun, Maria Nako (65), menegaskan, dagangannya dibuat sendiri. Kain dari benang pabrik dijual rata-rata Rp 200.000 per lembar. Sementara kain dari benang hasil pintalan penenun dijual rata-rata Rp 400.000 per lembar. Setiap kain rata-rata sepanjang 3 meter dan lebar 1 meter.
Maria mengatakan, setiap perempuan di Bena wajib bisa menenun. Keterampilan itu diwariskan dari para leluhur. Dan kini hasil dari menjaga keterampilan itu menjadi sumber pendapatan warga. Setiap hari, pedagang Bena menjual paling tidak selembar kain. ”Sejak jadi tempat wisata, pasti ada kain dibeli,” kara Maria.
Petugas Seksi Pelayanan Wisata Kampung Bena Marianti Gome (35) menyebutkan rata-rata 500 pelancong ke Bena setiap hari. Di masa liburan, jumlahnya menjadi dua kali lipat. Pelancong datang untuk melihat kampung yang masih mempertahankan bangunan dan tradisi sejak berabad lalu itu.
Kehadiran pelancong membuat warga semakin bergairah melestarikan Bena. Apalagi, mereka dilibatkan dalam pengembangan pariwisata di kampung itu.
Asisten Deputi Bidang Pengembangan Infrastruktur dan Ekosistem Pariwisata pada Kementerian Pariwisata, Frans Teguh, menjelaskan, pariwisata harus dikembangkan berbasis masyarakat. Sebab, pada dasarnya pariwisata dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Pengembangan wisata di suatu daerah dapat dianggap gagal jika pelancong ramai tapi penduduk setempat tidak sejahtera. ”Bila warga tidak dilibatkan, mereka pun bisa menghambat perkembangan wisata di lokasi bersangkutan,” ujarnya.
Pengembangan wisata di suatu daerah dapat dianggap gagal jika pelancong ramai tapi penduduk setempat tidak sejahtera.
Faktanya, dapat disaksikan di Bena. Kampung adat itu telah menjadi bukti bahwa bila suatu kampung dikelola dengah baik, sejarah dapat menjadi jualan laris dan menguntungkan warga. Dari menjaga masa lalu, warga Bena mendapatkan sumber penghidupan di masa kini.