QUITO, RABU — Kesunyian sempat menyelimuti sejumlah rumah, bar, dan restoran di Buenos Aires, Argentina, ketika layar televisi menampilkan aksi gelandang Ekuador, Romario Ibarra, mencetak gol, Rabu (11/10). Saat itu, rakyat Argentina merasa mimpi buruk terbesar mereka baru saja dimulai.
Mereka sudah siap menerima kenyataan pahit bahwa Argentina akan gagal melaju ke putaran final Piala Dunia untuk pertama kalinya sejak lima dekade terakhir. Tim ”La Albiceleste” membutuhkan kemenangan untuk menjaga harapan lolos ke Piala Dunia Rusia 2018, tetapi malah kebobolan ketika laga hidup mati itu baru berjalan 1 menit.
Namun, kesunyian itu tidak berlangsung lama karena Lionel Messi menyamakan kedudukan menjadi 1-1 pada menit ke-12. Rakyat Argentina mendadak berpesta ketika Messi menambah dua gol lagi pada menit ke-20 dan ke-62. Argentina akhirnya menang 3-1 atas Ekuador dan otomatis merebut tiket ke Rusia setelah finis di posisi ketiga klasemen zona Amerika Selatan.
Melalui tiga gol itulah Messi menjawab semua keraguan rakyat Argentina dan bahkan publik pencinta sepak bola di dunia. Hasil ini sekaligus menjadi penegasan Messi bahwa aksi Argentina dan dirinya tetap bisa dinikmati di Rusia tahun depan.
Takdir pun seolah mengatakan bahwa pemain yang lima kali meraih penghargaan FIFA Ballon d’Or itu tidak boleh absen di turnamen terakbar ini.
”Bukan Messi yang berutang Piala Dunia kepada Argentina, melainkan sepak bola yang berutang Piala Dunia kepada Messi,” kata Pelatih Argentina Jorge Sampaoli.
Pintu masuk tersulit
Lolosnya Argentina ke Rusia ini sekali lagi membuktikan bahwa zona Amerika Selatan masih menjadi pintu masuk tersulit untuk menuju ke putaran final Piala Dunia. Argentina yang bertaburkan bintang dan dua kali menjuarai Piala Dunia itu bahkan harus menunggu hingga laga pamungkas kualifikasi atau laga ke-18 untuk bisa bernapas lega.
Zona Amerika Selatan tampaknya juga tidak mengenal istilah juara abadi. Cile yang menjadi juara Copa America dua kali berturut-turut pada 2015 dan 2016, misalnya, justru tersingkir dan finis di posisi keenam setelah dikalahkan Brasil, 0-3. Tim asuhan pelatih Juan Antonio Pizzi ini bahkan tidak lebih baik dari Peru yang bermain imbang 1-1 dengan Kolombia.
Cile dan Peru sama-sama mengantongi 26 poin. Namun, Peru masih bisa finis di posisi kelima karena unggul dalam produktivitas gol. Selanjutnya, Peru harus menjalani babak play off antarkonfederasi melawan wakil Oseania, Selandia Baru.
Atas kegagalan itu, Pizzi memutuskan untuk mengundurkan diri. ”Saya sudah memberikan segalanya, tetapi ternyata belum cukup. Saya akan bertanggung jawab penuh,” katanya.
Seolah mengikuti jejak Pizzi, gelandang Cile, Arturo Vidal, juga memutuskan pensiun dari tim nasional. Pemain Bayern Muenchen itu semakin terpukul karena tidak bisa turun dalam laga melawan Brasil karena sanksi akumulasi kartu. Dengan demikian, tinggal Alexis Sanchez yang menjadi generasi emas tersisa di skuad ”La Roja”.
Kondisi ekstrem
Selain munculnya para bintang di hampir setiap tim, seperti Messi, Neymar (Brasil), Luis Suarez (Uruguay), Radamel Falcao (Kolombia), zona Amerika Selatan juga keras dan menarik karena faktor kondisi alam yang ekstrem.
”Anda bisa bermain di La Paz (Bolivia) yang memiliki ketinggian nyaris 4.000 meter di atas permukaan laut atau di Quito (Ekuador) yang nyaris mencapai 3.000 meter. Bisa juga merasakan suhu sangat panas di Kolombia,” kata kapten Ekuador, Antonio Valencia, seperti dilansir ESPN.
Ketinggian membuat udara menipis dan menyulitkan pemain bernapas. Bola bergerak lebih cepat dan liar. Selain kesulitan bernapas, para pemain juga harus mengubah gaya bermain.
Kekuatan fisik, mental, dan strategi yang jitu menjadi kunci untuk bertahan di zona ini. Tahun ini, Argentina, Brasil, Uruguay, dan Kolombia sudah membuktikan sebagai tim yang lolos ”ujian” dari zona keras ini dan boleh melaju ke Rusia.
Namun, Alex Sabino, jurnalis asal Brasil, mengingatkan, masih ada mitos bahwa tim yang kesulitan lolos dari babak kualifikasi zona Amerika Selatan biasanya justru bisa menjuarai Piala Dunia. Argentina pernah merasakannya pada 1986 dan Brasil tahun 1994.
Tahun ini Argentina juga mengalami kesulitan yang sama. Tentu mereka berharap mitos itu masih ada sampai saat ini.
(AP/AFP/Reuters/DEN)