Pergulatan Warga di Rusunawa Pulogebang
PINDAH untuk tinggal menetap di lokasi baru setelah puluhan tahun hidup di lingkungan yang telah akrab sejak kecil, bahkan sedari bayi, merupakan kendala besar yang dihadapi warga terdampak program penertiban yang direlokasi ke rumah susun sederhana sewa, atau rusunawa.
Terlebih di lokasi baru, lingkungan sosialnya juga berubah. Yang dulu jadi tetangga sebelah rumah bisa jadi tak bertemu lagi. Mau saling gantian jaga anak, jaga rumah, juga untuk ngerumpi saja sekarang sulit dilakukan. Pekerjaan yang dekat dengan rumah tiba-tiba menjauh berkilo-kilometer. Rerata warga relokasi pun masih kesulitan uang dan adaptasi.
Santo, (33), warga Rusunawa Pulogebang Blok A, bersama istrinya, Netty (30), berjualan pisang bakar di sebuah tenda tidak permanen di samping Blok F. Ini merupakan percobaan usaha ketiganya setelah berjualan nasi uduk dan roti bakar. Tenda mereka terbuat dari bambu dan beratap spanduk bekas.
Ia mengatakan, penghasilannya berkurang drastis dibandingkan ketika masih memiliki kios pulsa dan minuman saset di kawasan Kalijodo. Dulu, ia bisa mendapat omzet sehari sekitar Rp 500.000. Sekarang, ia hanya dapat sekitar Rp 25.000.
Santo menjelaskan, penyebab utama berkurangnya penghasilannya adalah rendahnya daya beli masyarakat rusunawa. Menurut dia, masyarakat rusunawa menginginkan harga yang terlalu rendah. ”Dulu, di Kalijodo, minuman pop ice saya jual seharga Rp 10.000 bisa laku. Di sini, makanan kalau harganya lebih dari Rp 5.000 tidak akan laku,” ujar Santo.
Hal yang sama dirasakan Iyan, (57), pedagang ketupat sayur di sebelah kios Santo. Ia harus menjual ketupat sayur di bawah harga pasaran. ”Kalau ada pembeli dari luar rusunawa, pasti kaget saya menjual ketupat sayur seharga Rp 5.000. Harga di luar biasanya Rp 7.000-Rp 8.000,” ucap Iyan.
Penyebab utama berkurangnya penghasilannya adalah rendahnya daya beli masyarakat rusunawa.
Santo, yang hanya berijazah SMP, mencoba mendapatkan nafkah dengan mencari pekerjaan serabutan, kadang ia menjadi juru parkir di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat. Walaupun begitu, ia belum bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. ”Sejak dipindah ke sini pada 2015, saya sudah menjual tiga sepeda motor untuk biaya menghidupi istri dan dua anak saya,” kata Santo.
Kini, ia berharap mendapatkan pekerjaan tetap. Santo berencana mengikuti pendidikan Kejar Paket C melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ada di rusunawa. ”Saya berharap ada pelatihan menjadi tenaga keamanan. Kalau ada sertifikat pelatihan, saya berharap dapat diterima menjadi tenaga satpam di suatu kantor,” lanjutnya.
Santo bercerita, dirinya sudah mengikuti banyak pelatihan, seperti pelatihan tani dan ternak. Namun, ia merasa tidak ada kelanjutan dari kegiatan pelatihan yang ia dapatkan.
Ia berharap pemerintah dapat mengundang investor untuk membuka lapangan kerja bagi penghuni rusun yang belum memiliki pekerjaan. ”Kalau ada pabrik seperti itu, saya ingin bekerja di sana supaya ada penghasilan tetap. Suami kerja di pabrik, istri dagang makanan, begitu keinginan saya,” ucap Santo.
Sementara itu, Iyan hanya menginginkan janji pengelola untuk memberikan tempat yang layak untuk dirinya berjualan. ”Dulu, Agustus, kami para pedagang sudah pernah didata, siapa saja yang akan mendapatkan etalase dan bangku. Tetapi, hingga sekarang, belum ada realisasinya. Mereka yang bilang, kalau kios sudah bagus, akan meningkat jumlah pembelinya,” tutur Iyan.
Santo menilai, pemerintah tidak cukup hanya memberikan tempat tinggal yang layak, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana kegiatan ekonominya.
Siska, warga Rusunawa Pulogebang asal relokasi Pacuan Kuda, Pulomas, mengatakan, kini dirinya bersama satu anaknya dihidupi oleh suaminya yang bekerja di Sukabumi sebagai pelatih penunggang kuda dengan penghasilan sebesar Rp 2 juta per bulan. Padahal, dulu ia bisa mendapat penghasilan sebesar Rp 8 juta per bulan dari gaji suami dan usaha kuda keliling.
”Penghasilan segitu cuma cukup untuk makan, belum biaya sewa rusun. Saya menunggak sebesar Rp 5 juta sejak pertama kali pindah ke sini 16 bulan lalu,” kata Siska.
Siska sebenarnya pernah mengikuti pelatihan merajut tas, tetapi ia merasa kerja yang harus dilakukannya tidak sebanding dengan upahnya. ”Dengan kemampuan pemula seperti saya, mungkin saya hanya dapat menghasilkan satu tas setiap bulan, sedangkan satu tas hanya dihargai Rp 75.000, tidak sebandinglah,” katanya.
Seperti Santo, Siska berharap ada pabrik yang dapat menggaji sebesar upah minimun regional di mana ia dapat bekerja.
Pengangguran berkurang
Kepala UPRS Pulogebang Ageng Darmintono mengatakan, sebenarnya ada pengurangan tingkat pengangguran di rusun yang ia kelola tersebut. ”Saat ini, tingkat pengangguran berkisar 10-15 persen. Sebelumnya lebih tinggi,” kata Ageng.
Ia menyebutkan, pelatihan-pelatihan seperti las dan komputer memang tidak dapat secara massal menyerap tenaga kerja. ”Setiap rusun hanya diberi jatah oleh pemerintah untuk mengirimkan 8-10 warganya untuk mengikuti pelatihan. Ini dibatasi oleh anggaran. Sudah banyak, kok, yang diterima dengan pelatihan ini,” tutur Ageng.
Ia menjelaskan, sudah ada divisi dari koperasi rusunawa yang bertugas mencari peluang pekerjaan untuk warga rusunawa. Ia bahkan membuat grup Whatsapp mengenai informasi lowongan pekerjaan untuk para warganya yang membutuhkan pekerjaan.
Jalan panjang menempatkan warga target relokasi ke rusunawa baru menapaki tahap awal. Masih ada sederet pekerjaan rumah lagi agar warga benar-benar kembali menemukan dunianya, yaitu lingkungan sosial-ekonomi yang mendukung kehidupan sehari-harinya. Kehidupan dengan standar lebih baik, tentunya. (DD17)