Deklarasi Damai, Cukupkah?
Setelah sempat kisruh beberapa waktu lalu, pengemudi angkutan berbasis daring dan angkutan konvensional di Kota Cirebon, Jawa Barat, akhirnya membuat deklarasi damai. Cukupkah deklarasi damai tersebut untuk membenahi transportasi di Kota Cirebon yang kian hari terasa semakin semrawut?
Deklarasi damai dicetuskan di Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jumat (6/10) sore. Deklarasi dibacakan oleh perwakilan pengemudi angkutan berbasis daring dan konvensional dalam sebuah upacara. Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis menjadi pembina upacara. Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Adi Vivid Bachtiar dan pejabat setempat juga turut hadir.
Kota Cirebon diklaim layak menjadi contoh bagi daerah yang kini masih terlibat kisruh transportasi daring.
”Saya sangat berterima kasih untuk kedua pihak (angkutan daring dan konvensional) yang tidak mementingkan dirinya sendiri dan mampu mengendalikan amarahnya,” ujar Azis yang diiringi tepuk tangan seratusan peserta upacara.
Menurut dia, tidak semua daerah mampu menyelesaikan kisruh angkutan daring dan konvensional. Kota Cirebon diklaim layak menjadi contoh bagi daerah yang kini masih terlibat kisruh transportasi daring. Sebelumnya, pada Maret lalu Kota Tangerang juga mencetuskan deklarasi damai antara angkutan daring dan konvensional.
Deklarasi tersebut berisi tujuh poin untuk kedua pihak, antara lain tidak melakukan sweeping atau tindakan yang merugikan salah satu pihak, menjaga kondusivitas Kota Cirebon dan menjadi pelopor keselamatan berkendara, serta selalu mengutamakan musyawarah. Namun, deklarasi tersebut bukanlah langkah akhir.
”Setelah ini ada tugas lanjutan, yakni menentukan titik penjemputan bagi angkutan daring,” lanjutnya.
Titik penjemputan merupakan salah satu kesepakatan antara kedua pihak setelah bertemu pada Senin lalu di Mapolres Cirebon Kota. Dalam rapat bersama yang dihadiri antara lain Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis, Dinas Perhubungan dan Polres Cirebon Kota, angkutan daring serta angkutan konvensional menyepakati sejumlah poin.
Kesepakatan itu berisi enam pasal yang ditandatangani Pemkot Cirebon, polisi, dan perwakilan kedua pihak. Salah satunya, titik penjemputan untuk angkutan daring yang berjarak minimal 100 meter hingga 300 meter dari mal, stasiun, terminal, dan sekolah. Kesepakatan lainnya ialah pembatasan armada dan penggunaan atribut berupa stiker untuk angkutan daring.
Jumlah angkot di Kota Cirebon yang beroperasi sekitar 700 unit, sementara angkutan daring diperkirakan lebih dari 2.000 unit.
Titik penjemputan akan ditentukan oleh Satuan Tugas Transportasi Oke (online dan konvensional) yang berisi 20 orang dari kedua jenis angkutan tersebut dengan berkoordinasi bersama Dishub Kota Cirebon dan Satlantas Polres Cirebon Kota.
Selanjutnya, pembentukan satgas bersama yang berisi unsur angkutan daring dan konvensional serta pembebasan biaya kir bagi angkutan konvensional. Pengawasan izin trayek untuk angkutan konvensional juga ditingkatkan.
”Kesepakatan ini harus dijaga. Soal kir, mulai hari ini sudah gratis untuk pengemudi angkutan konvensional yang warga Kota Cirebon,” ujar Azis.
Ketika ditanya terkait potensi meningkatnya kemacetan di ”Kota Wali”, Azis mengatakan, pihaknya akan mengkaji hal itu. Saat ini, jumlah angkot di Kota Cirebon yang beroperasi sekitar 700 unit, sementara angkutan daring diperkirakan lebih dari 2.000 unit.
Dengan jumlah sebesar itu, persaingan memperebutkan penumpang di kota seluas 37 kilometer persegi itu menjadi sangat ketat. Belum lagi jumlah sepeda motor yang mencapai 139.621 unit pada 2015. Jumlah tersebut 36 persen dari penduduk Kota Cirebon yang lebih dari 380.000 jiwa.
Titik kemacetan di kota yang dilalui untuk ke Jawa Tengah itu juga sudah tampak. Di Jalan Cipto Mangungkusumo yang dipadati pusat perbelanjaan dan toko, misalnya, kepadatan terjadi pada pagi dan sore hingga petang hari. Sekitar 600 meter menjelang lampu lalu lintas yang mengarah ke Jalan Pemuda, misalnya, harus dilalui dengan kecepatan rata-rata sekitar 10 kilometer per jam.
Belum lagi ulah angkot yang berhenti di badan jalan untuk menanti penumpang. Pemandangan angkutan daring lengkap dengan jaket hijaunya yang berhenti di bahu Jalan Cipto Mangunkusumo juga mulai tampak.
Kondisi ini bisa lebih parah saat akhir pekan ketika masyarakat dari dalam dan luar Cirebon memadati pusat perbelanjaan. Pintu keluar sebuah mal bahkan hanya berjarak beberapa meter dari lampu lalu lintas. Entah bagaimana dahulu rancangannya.
Apalagi, semenjak Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) beroperasi pertengahan 2015, pengendara dari Jakarta dapat ke Cirebon hanya dengan waktu tiga jam, jauh lebih cepat dibandingkan lewat pantura yang bisa menghabiskan waktu lima jam.
Adi mengakui, persoalan transportasi tidak selesai dengan deklarasi damai. ”Ini belum selesai. Satgas Transportasi Oke nanti akan menyurvei titik penjemputan bagi angkutan daring,” ujarnya.
Kita (angkutan konvensional dan daring), kan, sama-sama cari makan.
Jika salah satu pihak melanggar kesepakatan, Satgas akan membuat surat peringatan kepada pelanggar. Satgas akan menentukan wewenang dan tugasnya dengan berkoordinasi bersama Satlantas Polres Cirebon Kota dan Dishub Kota Cirebon.
”Pekan depan ditargetkan sudah selesai penentuan titik penjemputan. Untuk menandainya nanti diberikan rambu,” ujarnya.
Koordinator angkot D2, Abdul Rohim (56), lega dengan kesepakatan tersebut. ”Kita (angkutan konvensional dan daring), kan, sama-sama cari makan. Semoga kesepakatannya dapat dipatuhi,” ujarnya.
Sementara itu, Tarmin (39), pengemudi angkutan daring, mengatakan, masyarakat membutuhkan kehadiran angkutan daring sehingga angkutan tersebut tidak boleh dihilangkan. Ia berharap konsumen dapat memahami kesempatan antara angkutan daring dan konvensional bahwa penjemputan dilakukan minimal 100 meter dari sekolah, mal, terminal, dan stasiun.
Kesepakatan kedua pihak tersebut mengakhiri kisruh transportasi dua bulan terakhir. Selain aksi mogok beberapa hari oleh pengemudi angkot, aksi kekerasan juga sempat terjadi.
Untungnya kesepakatan damai telah ditempuh. Namun, persoalan transportasi di Kota Cirebon tidak serta-merta tuntas. Mari kita tunggu kajian Pemkot Cirebon soal pembenahan transportasi.