Sejumlah BPR Dilikuidasi akibat Persoalan Manajemen
Oleh
Jumarto Yulianus
·2 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Sejumlah bank di Indonesia terpaksa dilikuidasi karena dinilai tidak sehat. Dari 2005 sampai dengan 20 September 2017, Lembaga Penjamin Simpanan telah melikuidasi 82 bank di sejumlah daerah. Dari jumlah tersebut, 81 bank adalah bank perkreditan rakyat.
Executive Vice President Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Poltak L Tobing dalam acara media gathering LPS dengan tema ”Peran dan Fungsi LPS dalam Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan” di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (3/10), mengatakan, bank perkreditan rakyat (BPR) yang dilikuidasi secara umum mengalami persoalan manajemen.
”Masalah utama BPR itu adalah mismanajemen. Ini terutama menyangkut integritas pribadi-pribadi di bidang manajemen. Misalnya, pegawai tidak mencatat transaksi keuangan sebagaimana mestinya dan menggunakan uang nasabah untuk kepentingan pribadi,” kata Poltak.
Poltak mengatakan, pihaknya menemukan problem tersebut saat menangani simpanan di BPR yang dicabut izin usahanya. Pada 2017, problem itu juga ditemukan pada BPR di DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Riau. ”Semua masalah utamanya adalah integritas,” ujarnya.
Dari satu bank umum dan 81 BPR yang dilikuidasi, total simpanan dalam 170.275 rekening nasabah mencapai Rp 1,524 triliun. Dari jumlah tersebut, yang dinyatakan layak dibayar Rp 1,209 triliun (77,67 persen) dalam 156.142 rekening (91,73 persen).
Jumlah simpanan yang dinyatakan tidak layak bayar sebesar Rp 314,93 miliar (20,65 persen) dalam 14.072 rekening (8,26 persen). Hal itu karena tingkat bunga simpanan melebihi tingkat bunga penjaminan, tidak ada aliran dana masuk, dan bank tidak sehat.
Memenuhi 3T
Menurut Poltak, simpanan dinyatakan layak bayar apabila memenuhi kriteria 3T, yaitu tercatat dalam pembukuan bank, tingkat bunga yang diberikan tidak melebihi tingkat bunga penjaminan LPS, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, misalnya memiliki kredit macet.
”Sampai saat ini belum ada bank di Kalimantan Selatan yang dilikuidasi. Kami juga berharap hal itu jangan sampai terjadi,” kata Poltak.
Ketua Dewan Pengawas DPD Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Kalsel Indrajaya Said mengatakan, di Kalsel saat ini ada 27 BPR. Semuanya sudah mengikuti program penjaminan LPS.
Selain itu, BPR di Kalsel juga sudah bersinergi dengan bank umum, yakni Bank Kalsel melalui kerja sama Apex BPR. Apex BPR memiliki peranan dalam pengumpulan dana, pemberian bantuan keuangan, dan dukungan teknis.
”Di sini setiap BPR menyetor dana awal sebesar Rp 50 juta untuk disimpan di bank umum. Total dana Apex BPR Kalsel saat ini Rp 2,3 miliar. Dana itu sebagai penjaminan untuk membantu BPR agar tidak kolaps,” kata Indra.