JAKARTA, KOMPAS — Batik-batik Jakarta didokumentasikan melalui buku berjudul Lenggang Batik Jakarta yang diluncurkan di area Air Mancur Monas, Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (28/9). Tujuannya, agar kekayaan budaya yang dimiliki Jakarta itu tidak hilang ditelan zaman. Produksi batik juga diusung dengan semangat pemberdayaan perempuan.
Buku Lenggang Batik Jakarta diterbitkan atas hasil kerja sama antara Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekarnasda) Provinsi DKI Jakarta dan Penerbit Buku Gramedia Pustaka Utama. Kedua belah pihak menganggap pendokumentasian sebagai hal penting.
”Kenapa perlu didokumentasikan? Simpel. Kekayaan intelektual itu milik kita,” kata Suwandi S Brata, Presiden Direktur Gramedia Pustaka Utama, dalam peluncuruan buku itu. Suwandi menambahkan, klaim dari bangsa lain atas budaya, yang merupakan kekayaan intelektual, dikhawatirkan akan terjadi tanpa melakukan pendokumentasian.
Dalam buku itu terpampang beragam batik yang terinspirasi dari ikon-ikon Jakarta. Hal itu ditunjukkan melalui motif-motif batik, seperti sirih kuning, salak condet, dan bungur.
Ikon terbaru adalah Simpang Susun Semanggi yang menghasilkan motif-motif seperti simpang Semanggi, lalu lintas Semanggi, Jalan Semanggi, dan Taman Semanggi. Motif-motif yang terinspirasi dari Simpang Susun Semanggi dibuat oleh desainer Chitra Subyakto.
Happy Farida Djarot Saiful Hidayat, Ketua Dekranasda Provinsi DKI Jakarta, mengatakan, buku itu mampu digunakan seluruh masyarakat, khususnya generasi muda, untuk mengetahui budaya Jakarta. Harapannya adalah agar budaya masyarakat itu terus ada dan dilestarikan.
Perajin yang membuat beragam batik yang terpampang di dalam buku itu adalah ibu-ibu dari empat rusun yang ada di Jakarta. Keempat rusun itu adalah Rusun Marunda, Rawabebek, Pulogebang, dan Pesakih. Kebanyakan dari perajin itu adalah warga yang direlokasi oleh pemerintah.
Membatik
Ibu-ibu dari rusun itu dapat menambah penghasilan rumah tangga mereka masing-masing dengan diberdayakan lewat kegiatan membatik. Hingga saat ini sudah terdapat 40-50 orang untuk setiap rusun yang mengikuti kegiatan membatik itu. Pemberdayaan melalui membatik ini sudah periode kedua. Periode pertama dilakukan oleh Veronika Tan, istri Basuki Tjahaja Purnama. ”Dari periode sebelumnya hanya tersisa 20-30 orang tiap rusun yang masih mau membatik,” ujar Happy.
Menurut Happy, dengan mengajak ibu-ibu rusun itu, Dekarnasda Provinsi DKI Jakarta sekaligus mulai melakukan pembibitan perajin batik. ”Sulit buat cari perajin batik yang turun-temurun di Jakarta. Biasanya orang dari daerah mana-mana datang ke Jakarta untuk transaksi jual-beli,” kata Happy.
Kegiatan memberdayakan ini juga yang membuat pihak Gramedia Pustaka Utama berminat merealisasikan pembuatan buku Lenggang Batik Jakarta. ”Hal itu sesuai dengan semangat kami. Di bidang kewanitaan ada pemberdayaan. Kami menyambut baik karena yang ditampilkan di buku itu adalah karya ibu-ibu rusun,” ujar Nana Listiyani, Editor Senior Gramedia Pustaka Utama Bidang Fashion dan Kecantikan.
Pada peluncuran buku itu, batik-batik kreasi ibu-ibu rusun ditampilkan melalui acara peragaan busana yang dilakukan oleh ibu-ibu dari Dharma Wanita Persada Persatuan Provinsi DKI Jakarta. Dalam peragaan busana tersebut diiringi lagu Betawi, seperti ”Sirih Kuning”. Hadirin juga disuguhkan dengan makanan khas Betawi, seperti kue pancong, kue cubit, bir pletok, dan kerak telor.
Acara peluncuran itu dibarengi dengan peresmian Air Mancur Monas. Vadi Akbar menghibur hadirin dengan aksi memainkan air mancur yang melekuk-lekuk, ditambah lampu-lampu warna-warni dengan iringan lagu ”Tanah Airku”. (DD16)