Hidup Terlingkung Kode QR

Kode QR merupakan pemandangan yang marak ditemui di China, menjadi medium komunikasi yang banyak dipakai oleh warga yang terbiasa memakai layanan WeChat dengan fitur pemindai kode tertanam di dalamnya. Selain media informasi, kode QR bisa digunakan untuk sarana transaksi ekonomi.
OVERDOSIS! Itulah kata pertama yang melintas di kepala saya sewaktu berada di Suzhou, Shanghai, dan Qingdao pertengahan September lalu. Ada di pojok poster, ada di atas meja restoran, ada di brosur, dan lembar demi lembar majalah. Kode QR selalu dijumpai di China.
Berbentuk segi empat, kode ini memiliki pola berwarna hitam di atas latar belakang putih yang bisa dibaca dengan mesin lewat kamera. Informasi yang muncul dari pembacaan itu umumnya berupa tautan.
Mengakses informasi dari kode QR sangat mudah, tinggal menyorotkan kamera ke kode tersebut dengan aplikasi tertentu dan informasinya bisa berupa alamat website yang bisa ditindaklanjuti. Alasannya ternyata sederhana, yakni praktis, tidak perlu mengetikkan alamat URL di peramban.
Kode QR sebetulnya pernah diperkenalkan di Indonesia, beberapa tahun lalu, tetapi belum berhasil diakrabi pengguna ponsel. Beberapa penyebabnya adalah jumlah pemilik ponsel berkamera yang belum banyak serta penetrasi internet yang belum tinggi. Kendala lain adalah begitu banyaknya aplikasi pemindai kode QR di pelantar penyedia aplikasi, seperti Play Store.
Satu pelajaran yang bisa dipetik dari keberhasilan memasarkan kode QR untuk China adalah dukungan dari WeChat, sebuah layanan komunikasi yang bisa disebut dengan aplikasi super. Tidak saja menawarkan layanan perpesanan, pengguna bisa memajang konten layaknya media sosial hingga memindai kode QR.
WeChat menjadi aplikasi wajib yang ditemui di ponsel penduduk negara ini, sebagai layanan yang dipakai secara merata. Faktor lain yang mendorong hal ini adalah pembatasan akses layanan Google dan Facebook oleh Pemerintah China karena tidak mau memenuhi permintaan sensor.
Itulah mengapa memindai kode QR pun menjadi hal yang sangat lazim dilakukan siapa saja. Aplikasinya selalu ada di ponsel mereka dan mengetikkan alamat URL dalam karakter romawi akan menyulitkan ponsel yang memilih penyetelan papan tuts karakter hanzi atau pinyin.
Laporan yang disajikan China Channel mengutip jumlah pengguna WeChat yang kini mencapai 889 juta orang pada kuartal IV-2016. Aplikasi ini makin kokoh dipakai oleh pengguna berusia mapan maupun lanjut meski generasi muda lebih memilih layanan siaran langsung (live streaming) sebagai sarana berekspresi.
Transaksi elektronik
Kode QR juga dipakai sebagai sarana teknologi finansial yang cukup diterima oleh warga setempat. Dengan dompet elektronik yang bisa diisi ulang, pengguna bisa bertransaksi dengan hanya memindai kode QR.
Cara kerjanya cukup sederhana, penjual menunjukkan kode QR untuk kemudian dipindai pembeli dan transaksi pun berlangsung tanpa ada perpindahan uang tunai. Semua orang pun bisa menerima uang dalam bentuk elektronik.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2017%2F09%2FIMG_20170914_060628.jpg)
Kode QR menjadi medium informasi bagi pengguna ponsel di China dan marak dipakai berkat fitur pemindai kode di layanan sosial mereka, yakni WeChat. Penggunaan kode memudahkan pengguna mengakses sebuah situs ketimbang mengetik di peramban web.
Zhu Jianyun, Senior Specialist dari Siemens Ltd China, mengingat, terakhir kali keluar rumah dengan membawa dompet adalah dua bulan lalu. Kini dia mengandalkan ponselnya untuk bertransaksi.
Di China ada dua perusahaan besar penyedia layanan transaksi elektronik ini, yakni AliPay milik grup Alibaba dan WeChat Pay milik grup Tencent. Pemanfaatan kode QR ini memungkinkan bisnis daring ke luring (online to offline) menjadi kenyataan.
Masih dari laporan yang sama soal WeChat, pembayaran elektronik ini menuai adopsi yang tinggi di kota besar, seperti Shanghai dan Beijing, hingga 93 persen. Alasan yang dikemukakan responden yang memilih metode ini adalah kecepatan dan kemudahan serta alasan ketiga, yakni tidak membawa uang tunai, dan diikuti alasan keempat, yaitu tidak ada biaya tambahan.
Meskipun aplikasi WeChat bisa dipasang oleh pengguna dari mana pun, lain halnya dengan fitur WeChat Wallet yang harus diaktifkan belakangan. Syaratnya adalah nomor rekening bank di China yang sudah terdaftar atau nomor penduduk setempat.
Beruntung datang bantuan dari Koresponden The Strait Times dari China, Koh Ping, yang juga tergabung dalam rombongan Siemens Innovation Day 2017. Dia bisa mengaktifkan fitur Wallet lewat ”pancingan” atau dengan mengirimkan uang ke akun milik saya.
”Tidak hanya mengirimkan uang, kita juga bisa mengirimkan paket atau kerap disebut angpau. Kita bisa mengatur jumlahnya dan penerima bisa menerima dalam nominal acak. Tujuannya hanya untuk bersenang-senang saja,” ujarnya.
Sayangnya fitur yang bisa dipergunakan tidak sepenuhnya terbuka. Meski sudah bisa menerima uang dan melakukan pembayaran, saya tidak bisa mengisi dompet elektronik karena tidak ada bank dari Indonesia yang didukung oleh layanan ini.

Kode QR dimanfaatkan sebagai perantara bisnis daring ke luring (online to offline) sehingga pengguna ponsel bisa bertransaksi secara elektronik dengan segera dan mudah. Transaksi elektronik yang dimudahkan mendorong adopsi oleh warga dalam meninggalkan transaksi menggunakan uang kertas.
Pengalaman mencoba transaksi elektronik ini dibuktikan saat membeli minuman di mesin penjual. Semua diawali dari memindai kode QR di badan mesin, tautan dari kode itu membawa ke layar pemilihan produk minuman di ponsel. Setelah dipilih, langkah berikutnya adalah melakukan pembayaran menggunakan WeChat Pay. Setelah divalidasi, botol minuman segera dikeluarkan oleh mesin.
Penerapan kode QR untuk transaksi di Indonesia sedang mencari momentum kedua. Bisa dilihat dari pengenalan layanan-layanan yang memanfaatkan teknologi ini, seperti dilakukan aplikasi GoJek untuk transfer saldo GoPay, layanan pembayaran Doku untuk membayar belanjaan, atau penyedia teknologi Dimo untuk kembali memasarkan transaksi lewat QR.
Biaya administrasi
Hingga kemudian beberapa hari terakhir, linimasa media sosial di Tanah Air juga diramaikan dengan wacana penerapan biaya transaksi untuk pengisian saldo kartu nontunai. Isu ini marak sejak pertengahan September hingga akhir bulan. Berdasarkan layanan Keyhole, perbincangan ini menjangkau 44 juta pengguna media sosial.
Bank Indonesia belakangan meluruskan simpang siur itu dengan aturan Gerbang Pembayaran Nasional berisi skema harga uang elektronik untuk transaksi isi ulang berkisar antara Rp 750-Rp 1.500. Biaya pengisian hanya dibebankan untuk nominal di atas Rp 200.000. Dengan demikian, regulasi tersebut diharapkan bisa mendorong peningkatan transaksi dan perluasan penetrasi uang elektronik.
Yang satu sudah berlari, sementara yang lain masih mempercepat langkah. Yang penting ada kesadaran yang sama bahwa teknologi bermanfaat bagi kemaslahatan rakyatnya. (DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)