Pelayanan Publik di Kota Cilegon Diyakini Tak Terganggu
CILEGON, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menyegel kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Cilegon, Banten. Meski demikian, Pemerintah Kota Cilegon meyakini pelayanan yang dilakukan dinas itu tak terganggu.
Wakil Wali Kota Cilegon Edi Ariadi, di Cilegon, Sabtu (23/9), mengatakan, pihaknya mendapatkan informasi bahwa penyegelan hanya berlangsung dua hari. ”Penyegelan terjadi hari ini dan besok. Kalau penyegelan selesai, kantor DPMPTSP Kota Cilegon bisa dibuka kembali pada Senin nanti,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Edi, roda pemerintahan Kota Cilegon, termasuk pelayanan DPMPTSP Kota Cilegon, diyakini tak terganggu. Sebelumnya, KPK mengamankan 10 orang karena terindikasi transaksi terkait perizinan kawasan industri di Cilegon, Jumat (22/9).
Bersamaan dengan itu, KPK menyegel kantor DPMPTSP Kota Cilegon. Di antara mereka yang diamankan KPK, terdapat beberapa pejabat DPMPTSP Kota Cilegon. Meski demikian, Edi tidak bersedia memberikan tanggapan mengenai tindakan KPK tersebut.
Saat ditanya nama dan jabatan orang-orang yang diamankan KPK, dia enggan menjawabnya. Edi hanya mengatakan, pihaknya mengikuti aturan hukum yang berlaku. ”Saya tidak bisa menjawab lebih jauh. Lebih lanjut, KPK yang memberikan keterangan,” ujarnya.
Penangkapan
Sebelumnya, KPK berhasil membongkar kasus dugaan suap yang melibatkan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi dan sejumlah pihak lain terkait perizinan pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Cilegon tahun 2017, Jumat (22/9) sekitar pukul 15.30, di Cilegon, Banten.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut, diamankan sembilan orang, yaitu ADP (Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal), BDU (Project Manager PT BA), EWD (Legal Manager PT KIEC), YA (CEO Cilegon United Football Club), W (Bendahara Cilegon United Football Club), R (staf YA), AS (staf W), L (staf PT KIEC), dan AH (sopir BDU).
”Sampai siang ini, terdapat dua orang yang datang ke KPK, yaitu TIA (Wali Kota Cilegon) dan H (swasta),” ucap Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers hari Sabtu di Gedung KPK, Jakarta.
Kami mengingatkan agar penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Kronologinya, Jumat (22/9) sekitar pukul 15.30, KPK mengamankan YA bersama tiga anggota stafnya di kantor Bank BJB Cabang Cilegon setelah menarik uang Rp 800 juta. Setelah itu, KPK menuju kantor Cilegon United Football Club dan mengamankan uang Rp 352 juta. Uang tersebut diduga sisa dana pemberian pertama yang ditransfer dari PT KIEC kepada Cilegon United Football Club sebesar Rp 700 juta.
Selanjutnya, tim KPK lainnya mengamankan BDU bersama seorang anggota staf dan sopir di Jalan Tol Cilegon Barat. Ketiganya kemudian dibawa ke Gedung KPK.
KPK juga berhasil mengamankan EWD di daerah Kebon Dalem serta ADP di kantor Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Cilegon, Banten. TIA datang ke KPK pukul 23.30 dan diamankan untuk pemeriksaan, sedangkan H datang ke KPK pada Sabtu (23/9) pukul 14.00.
Dalam operasi tangkap tangan kali ini, total KPK mengamankan uang tunai senilai Rp 1,152 miliar. Uang tersebut merupakan bagian dari komitmen senilai Rp 1,5 miliar yang diduga diberikan untuk Wali Kota Cilegon melalui transfer dari PT KIEC dan PT BA lewat Cilegon United Football Club.
Suap tersebut diindikasikan untuk memuluskan proses perizinan, yaitu rekomendasi amdal sebagai salah satu persyaratan perizinan pembangunan Transmart. Dalam operasi tangkap tangan ini, KPK mengungkap modus baru, yaitu penggunaan saluran CSR (tanggung jawab sosial perusahaan).
Cilegon United Football Club diindikasi digunakan sebagai sarana untuk menyamarkan dana agar tercatat dalam pembukuan sebagai CSR atau sponsorship perusahaan. Diduga, hanya sebagian dari bantuan yang benar-benar disalurkan kepada Cilegon United Football Club.
Sebagai pihak pemberi, BDU, TDS, dan EW disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) Huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Sebagai pihak penerima, TIA, ADP, dan H disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
”Kami mengingatkan agar penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan transparansi,” ujar Basaria. Ia juga mengingatkan pelaku bisnis menerapkan prinsip good corporate governance di perusahaannya.
Kembalikan modal
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengatakan, tertangkapnya sejumlah wali kota terkait kasus korupsi sebagai bentuk keinginan untuk mengembalikan modal kampanye saat pilkada. Mereka tidak mengambil dari dana APBD, tetapi dari dana lain. Sebagai contoh, kasus yang terjadi pada Wali Kota Batu, Jawa Timur, Eddy Rumpoko yang menerima suap terkait sejumlah proyek di Kota Batu.
”Mereka koruptor nekat,” ucap Emerson. Ia menambahkan, mereka tidak pernah jera dan tidak belajar dari kasus-kasus yang lain.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan, kasus ini sebagai bukti korupsi yang dilakukan para elite untuk menambah pendapatan. ”Persoalan ini dapat dilihat secara jamak,” ujar Zainal.
Operasi tangkap tangan merupakan sebuah proses hukum yang harus dihormati.
Hal ini membuktikan buruknya sistem penggajian dan pengawasan negara, mekanisme pemilu, pembiayaan partai politik, dan proses pilkada. Zainal menjelaskan, banyak kandidat yang telah bermasalah. Oleh karena itu, ia mendukung KPK untuk melakukan operasi tangkap tangan guna mengurangi budaya korupsi.
”Operasi tangkap tangan merupakan sebuah proses hukum yang harus dihormati,” kata Zainal. Pengawasan yang dilakukan KPK tersebut secara tidak langsung memberikan pengaruh psikologis bagi pejabat pemerintahan. (DD08)