Saat ”Nyawer” Jadi Tren
Gerakan sosial yang dimotori lewat media sosial tengah menjadi tren global.
Hanya dengan satu tangan, tekan beberapa tombol di telepon genggam, orang bisa menggalang dukungan untuk berbagai hal, berbagai topik, perbaikan infrastruktur atau fasilitas publik yang rusak, juga membantu pihak lain yang sedang kesusahan. Dengan beberapa kali klik dalam hitungan menit, sekian rupiah dari rekening kita bisa berpindah ke pihak yang membutuhkan.
Sumbangan berapa saja dari banyak orang, kadang hingga ribuan orang, akan berdampak besar bagi pihak yang membutuhkan bantuan. Masalah dengan cepat terselesaikan. Setiap orang yang ikut ”nyawer” pun puas, lalu melanjutkan hidupnya. Suatu saat, jika panggilan dari layar gadget mengusik rasa empati-simpati-juga gengsi, ia bisa ikut kembali dalam gelombang para penyawer uang ataupun dukungan lain, seperti petisi.
Gotong royong gaya baru ini menembus batas apa pun. Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Tanggung jawab sosial terpenuhi tanpa perlu repot tenaga dan waktu. Sembari nyeruput secangkir kopi mahal di mal, sambil rapat di kantor, atau saat leyeh-leyeh di rumah menikmati akhir pekan, kebaikan dapat dilakukan.
Ya, setidaknya itulah yang mungkin ada di pikiran sebagian dari kita, para ”aktivis media sosial dan penyawer di dunia maya”. Kita, orang-orang kota yang sibuk di keseharian dan kadang dengan tetangga sebelah rumah persis pun tak kenal baik.
Tren ini bahkan telah dijadikan alat oleh pemerintah dalam mewujudkan kebijakan pembangunan kota. Di Amerika Serikat, seperti dilaporkan oleh Virginia Pelley lewat tulisannya, ”The Rise of Public-Sector Crowdfunding” di citylab.com, 15 September ini, banyak pelayanan publik yang biasanya menjadi domain pemerintah negara bagian atau pemerintah kota setempat kini menggaet publik secara langsung untuk biaya penyelenggaraannya.
Contoh terbaru, menurut Pelley, ketika ada masalah antara pemerintah negara bagian dan pemerintah Travis County yang berakhir dengan pengurangan biaya penyelenggaraan layanan hukum Travis County oleh Gubernur Texas. Tak ingin menyerah, tetapi juga tak ada lagi dana dari anggaran pemda, salah satu anggota dewan di Negara Bagian Texas bersama sebuah organisasi nonprofit lalu menggelorakan penggalangan dana untuk Travis County bertajuk #StrongerTogether.
Warga kota pun terusik atas masalah ini dan merasa harus turun tangan untuk menyelamatkan fasilitas publik layanan hukum tersebut dengan ramai-ramai menyumbang. Dalam waktu tiga bulan, 150.000 dollar AS sudah terkumpul dan bisa untuk bisa membiayai operasional pengadilan setempat sepanjang Oktober hingga pertengahan November ini.
Kebaikan, eksistensi, kekuasaan, dan sindiran
Saweran lewat media sosial di AS sebelumnya tercatat pernah digalang membiayai pembangunan kelas untuk para guru, pembuatan film, membayar tagihan rumah sakit, keperluan riset teknologi baru, bahkan mewujudkan bulan madu impian pasangan yang tak mampu secara ekonomi. Biasanya saweran ini didahului dengan adanya informasi yang sengaja disebarkan melalui media sosial disertai penjelasan terperinci dan pada akhirnya mengusik nurani, mengharu biru. Orang jadi merasa perlu dan meletup-letup semangatnya untuk turut ambil bagian dalam proyek tersebut guna terwujudnya suatu tujuan mulia.
Di Indonesia, kondisinya tidak jauh beda. Ingat, kan, gerakan Koin untuk Prita, juga koin cinta untuk bayi Bilqis yang menderita penyakit atresia billier (saluran empedu tidak terbentuk sempurna atau buntu), dan banyak lagi.
Foto dokumen Harian Kompas edisi 7 Desember 2009
Saat ini, tercatat setidaknya ada tujuh lembaga nonprofit di Indonesia yang gencar menggalang dana untuk berbagai macam keperluan. Ketujuh lembaga tersebut ialah Kitabisa, Wujudkan, Dompet Dhuafa, Ayo Amal, IndoRelawan, IndoKasih, dan GandengTangan. Di luar itu, banyak ajakan dukungan juga mengumpulkan dana yang menjadi viral di media sosial dan turut diramaikan media massa.
Penyelenggara crowdfunding ini ada yang sekedar mencari bantuan bagi perseorangan yang sedang sakit dan membutuhkan biaya, bagi hasil untuk modal usaha kecil dan menengah, juga mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan yatim, membiayai usaha-usaha rintisan, membela orang-orang teraniaya, bahkan sampai pembuatan pesawat R-80, pesawat nasional yang diarsiteki BJ Habibie.
Soal pesawat nasional ini, penggalangan dana publik dimaksudkan untuk menggugah rasa bangga dan memiliki produk yang diklaim seluruhnya adalah produk dalam negeri. Penyumbang dana akan mendapat kesempatan memajang foto dirinya di bodi pesawat. Besaran jumlah sumbangan akan berimbal balik pada penyawer, yaitu ada merchandise berupa kaus dan jaket hoodie.
Memang, selain berbuat baik, mengggugah rasa kebersamaan, nasionalisme, membantu sesama, faktor untuk bisa eksis sedikit banyak terselip di tiap jenis gerakan saweran ini. Selain itu, saweran adalah wujud sinisme atau bahkan sarkasme, menyindir pihak-pihak yang seharusnya berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut tetapi terbukti tak mampu atau tak peduli. Sekaligus menunjukkan ketika rakyat berkehendak, apa pun bisa dilakukan.
Namun, menurut Pelley, dengan sistem saweran ini masyarakat bebas menentukan mau ikut gerakan yang mana dan merasa lebih puas serta pegang kendali atas penggunaan uangnya. Mereka bahkan bisa terus mengontrol pemanfaatan uang itu hingga proyek tercapai. Di beberapa proyek, uang sumbangan tersisa sering menjadi cikal bakal berdirinya yayasan yang bergerak di bidang sosial.
Perbuatan baik itu rasanya terus bergulir, bagai efek domino dampak baik yang tak bertepi.
Gambar diambil dari https://ecommerceiq.asia/ecommerce-news-11-29-2/
Tetap positif, tetap kritis
Bagaimana pun juga menyenangkan dan menenteramkan ketika mengetahui selalu ada orang di luar sana yang akan berbondong-bondong menolong jika kesulitan menyambangi. Namun, tak salah jika diri mempertanyakan gerakan massal ini benar-benar menyelesaikan masalah atau sekedar menjinakkan api tanpa benar-benar mematikan bara dalam sekam.
Pertanyaan itu wajar muncul karena untuk penanganan orang sakit saja, bisa berkali-kali muncul penggalangan dana di media sosial. Apa kabar pemerintah dengan program Jaminan Kesehatan Nasional-nya? Bagaimana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial itu tak juga berbenah. Yang lalu banyak muncul di pemberitaan adalah BPJS menunggak hingga triliunan rupiah, pasien pemegang kartu JKN sering tak terlayani dengan baik di fasilitas pelayanan kesehatan, dan meskipun seharusnya setiap warga negara seharusnya terdaftar sebagai anggota JKN Kesehatan, tetap ada warga yang tak terjaring fasilitas ini.
Selain itu, bagaimana jika ada orang lain yang sakit dan tak terjangkau BPJS plus tak terjangkau media sosial? Bisa jadi ia akan selamanya terpuruk sendiri. Begitu pun saat satu jembatan rusak menjadi viral dan ramai-ramai dibangun, ternyata tak jauh dari situ ada juga jembatan atau jalan rusak yang terus dibiarkan membusuk karena tak tersentuh perhatian publik.
Padahal, semua hal itu sebenarnya telah masuk ke program pembangunan pemerintah dan, entah kecil atau besar, sudah pasti ada pos anggarannya. Jadi, ke mana sebenarnya pemerintah selama ini? Makin pening rasanya ketika teringat kembali bahkan pada era kini, warga pun terbiasa turut menyumbang langsung untuk biaya kampanye para calon pemimpin dukungannya di ajang pemilihan umum kepala daerah hingga kepala negara.
Padahal, jelas pemerintah mengumpulkan pajak untuk nyaris setiap barang kita. Nilai pajak pun terus naik. Di sisi lain, pada zaman sekarang ini, sebenarnya banyak terobosan strategi pembiayaan pembangunan yang tak hanya melulu bersandar pada penerimaan pajak. Pemerintah bisa menggandeng swasta dalam program public private partnership (PPP), menerbitkan obligasi, menerima hibah dan berbagai bantuan dari negara-negara donor, menggaet investor baik dari negara lain maupun lembaga perbankan dunia.
Memang, untuk menggaet dana dari luar itu, pemerintah pusat ataupun kota/daerah dituntut untuk sangat kreatif dalam menelurkan kebijakan, membuat program kerja, yang bisa menarik minat pihak lain untuk bekerja sama dalam pembiayaan pembangunan. Jika akhirnya tren saweran ini benar-benar berlanjut dan menjadi salah satu tumpuan pemerintah melaksanakan pembangunan, duh, rasanya, kok, terlihat makin tidak kreatif dan tidak bergaulnya para pemimpin kita.
Apa pun, tren saweran ini adalah wujud partisipasi publik yang makin naik tingkatannya. Apresiasi patut diberikan dan sama sekali tidak salah untuk terus turut aktif melakukan dan menebarkan kebaikan. Apalagi di Indonesia yang baru 20 tahun terakhir keluar dari rezim pemerintahan yang otoriter. Euforia crowdfunding, yang juga bagian dari sukaria saat hak bersuara tak lagi dibungkam, tetap akan berjaya.
Namun, mendukung pemerintah berjalan di relnya, melaksanakan tanggung jawab dan wewenangnya tetap harus dilakukan. Lepaskan kacamata kuda dalam melihat pemimpin idola kita. Tetap memelihara kebebasan hak bersuara sembari berpikir kritis akan menjadi penyeimbang yang baik.