Betelgeuse, Sang Calon Supernova
Betelgeuse, bintang terterang kedua di Rasi Orion, sedang dalam proses mengakhiri hidupnya. Proses pembakaran dalam inti bintang raksasa merah ini berlangsung cepat dan menghasilkan unsur-unsur berat yang kian berat. Dalam waktu tidak lama lagi, bintang itu diperkirakan akan meledak menjadi supernova.
Sama seperti manusia, bintang pun akan menua dan kemudian mati. Bintang raksasa merah (red giant) merupakan salah satu ciri proses penuaan pada bintang. Pada tahap ini, bintang menggembung menjadi sangat besar, tetapi suhu permukaannya relatif rendah untuk ukuran bintang. Matahari kita diperkirakan akan seperti ini nasibnya.
Namun, proses penuaan pada Betelgeuse saat ini berbeda dengan Matahari. Meski Betelgeuse saat ini sudah tua, umurnya baru sekitar 8 juta tahun. Sementara Matahari yang saat ini berumur 4,6 miliar tahun masih termasuk bintang menengah. Massa Betelgeuse yang sangat besar, antara 8-15 kali massa Matahari, membuat proses pembakaran bahan bakarnya berlangsung sangat cepat.
”Kemungkinan besar Betelgeuse akan mengakhiri hidupnya dengan meledak menjadi supernova,” kata komunikator astronomi, Avivah Yamani, Kamis (14/9).
Meledak menjadi supernova sebagai cara sebuah bintang mengakhiri hidupnya hanya bisa dilakukan oleh bintang bermassa minimal delapan kali massa Matahari. Jika massanya lebih dari 30 kali massa Matahari atau dalam teori lain 100 kali massa Matahari, bintang itu akan menghasilkan ledakan hipernova alias super-supernova.
Proses supernova
Sebelum supernova terjadi, selubung atau bagian luar bintang raksasa merah akan terus mengembang, sementara bagian inti bintang justru makin mengerut.
Pengerutan inti bintang itu terjadi seiring pembakaran material berat di dalamnya. Pada bintang muda, material yang ”dibakar” adalah hidrogen menjadi helium dalam reaksi berantai fusi termonuklir. Saat cadangan hidrogen sudah habis, yang dibakar adalah helium menjadi karbon. Proses itu terus berlanjut hingga yang dibakar adalah unsur-unsur yang lebih berat, mulai dari karbon, nitrogen, oksigen, hingga yang paling berat adalah besi.
Ahli fisika bintang dari Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Hakim L Malasan, mengatakan, pembakaran material yang lebih berat ini membutuhkan energi lebih besar. Konsekuensinya, temperatur inti bintang terus naik. Kenaikan temperatur setiap pembakaran material yang lebih berat akan memicu terjadinya ledakan yang masih bisa ditoleransi oleh bintang.
Namun, saat material yang tersisa di inti bintang hanya besi, ledakan yang terjadi untuk membakar besi tak mampu ditahan bintang. Akibatnya, ledakan dasyat itu memicu terjadinya supernova yang menendang selubung luar bintang hingga mampu bergerak menyebar ke sekitarnya dengan kecepatan hingga ratusan ribu kilometer per detik.
”Bagian inti yang tersisa dari ledakan akan menghasilkan bintang neutron (bintang kecil, tetapi sangat padat) atau lubang hitam (black hole),” ujarnya.
Bintang terang
Lantas, bagaimana dengan kondisi Betelgeuse saat ini?
Betelgeuse adalah bintang yang sangat populer dan terletak di Rasi Orion Sang Pemburu, yang juga sangat populer dan mudah dideteksi. Dalam berbagai budaya, Orion sangat dikenal dengan berbagai variasi penyebutan. Di Jawa, misalnya, rasi bintang ini disebut Waluku karena bentuknya yang menyerupai alat pembajak sawah (luku dalam bahasa Jawa).
Betelgeuse juga termasuk dalam bintang terterang ke-10 di langit malam berdasarkan tingkat kecerlangan atau magnitudo visualnya. Cahayanya merah terang.
Nama Betelgeuse diduga berasal dari bahasa Arab, Yad al-Jawza, yang artinya tangan raksasa yang merujuk pada Orion yang sudah dikenal sejak abad ke-10. Namun, dalam astronomi Arab, Jawza juga merujuk pada Rasi Gemini.
Kesalahan transkripsi dari bahasa Arab ke bahasa Inggris pada abad ke-13 membuat nama Yad al-Jawza menjadi Ibt al-Jawza alias ketiak raksasa. Kesalahan itu diduga terjadi karena huruf ”b” dan ”y” di awal kata dalam aksara Arab memiliki bentuk yang mirip.
Dari Ibt al-Jawza itulah kemudian ditulis dalam bahasa Inggris menjadi Bedalgeuze. Dalam pengucapan bahasa Arab, ”j” sering diucapkan sebagai ”g”. Di Abad Pertengahan, nama Bedalgeuze itu baru berubah menjadi Betelgeuse.
Di Indonesia, Orion bisa dikenali dari tiga bintang berjejer diagonal yang bergerak tepat di arah timur dan barat. Dalam astronomi Jawa, Orion dikenal sebagai Lintang Luku atau Waluku. Selama September ini, Orion terbit sekitar pukul 01.30 WIB. Dalam kondisi baru terbit itu, Betelgeuse terletak di kiri bawah dari tiga bintang tersebut.
Selain bintang raksasa merah, Betelgeuse juga termasuk dalam bintang variabel yang kecerlangannya berubah-ubah. Tingkat kecerlangan Betelgeuse bervariasi dari magnitudo 0,2 hingga 1,2. Sebagai perbandingan, Matahari memiliki magnitudo visual minus 26,72. Makin kecil nilai magnitudo berarti bintang itu makin terang.
Sebutan bintang variabel juga diberikan karena bintang itu terus berdenyut alias menggembung dan mengerut secara bergantian. Satu kali denyutan itu bisa berlangsung dalam hitungan detik hingga tahun. Proses berdenyut itu membuat radius Betelgeuse saat menggembung dan mengerut bisa berbeda hingga ratusan kali radius Matahari.
Berdasar pengamatan kurun 1993-2009, radius Betelgeuse juga terus menyusut hingga 15 persen. ”Astronom belum mengetahui mengapa bintang ini menyusut,” kata ahli fisika di Laboratorium Ilmu Antariksa Universitas California Berkeley, Amerika Serikat, Edward Wishnow, seperti dikutip space.com. Itu menunjukkan pengetahuan manusia tentang bintang pun masih terbatas.
Hakim menambahkan, Betelgeuse juga teramati memiliki piringan bintang di sekitar ekuatornya, mirip cincin yang ada di Planet Saturnus. Piringan itu terbentuk dari materi bintang yang lebih berat, yang terbawa angin bintang, tetapi kemudian jatuh tertarik gravitasi di sekitar bidang ekuator bintang. Adapun materi yang lebih ringan akan terus terbawa angin bintang menuju ruang antarbintang.
Namun, ada pula teori yang menduga piringan bintang itu adalah material protoplanet atau bahan pembentuk planet. Meski sudah ribuan eksoplanet ditemukan di bintang-bintang lain, keberadaan sistem tata surya di Betelgeuse yang ”hanya” berjarak sekitar 640 tahun cahaya dari Bumi itu masih jadi buruan.
Prediksi supernova
Namun, memperkirakan kapan bintang itu akan meledak bukanlah perkara mudah. Prediksi itu akan sangat bergantung pada perhitungan tepat massa bintang dan bagaimana proses fisis di dalam bintang berlangsung. Meski demikian, sebagian ahli memperkirakan Betelgeuse akan menjadi supernova sekitar 100.000 tahun lagi, rentang waktu yang singkat untuk skala astronomi.
Bahkan, lanjut Hakim, sejumlah astronom memprediksikan supernova dari Betelgeuse itu akan terjadi dalam era manusia modern. Namun, itu juga bukan dalam masa saat ini, tetapi pada beberapa generasi manusia ke depan.
Saat Betelgeuse meledak, akan terjadi perubahan kecerlangan bintang yang luar biasa secara tiba-tiba. Akibatnya, bintang akan terlihat sebagai lingkaran bintang yang lebih besar dan terang. Bahkan, dia bisa terlihat saat siang hari.
”Namun, jangan dibayangkan itu akan terlihat sebagai Matahari kembar karena supernova dari Betelgeuse akan tetap terlihat sebagai lingkaran bintang (tidak sebesar Matahari) yang terlihat di siang hari,” ujarnya menambahkan.
Ledakan Betelgeuse itu diyakini akan sama seperti supernova yang terjadi pada 1054 yang berhasil dicatat astronom China dan Arab. Supernova itu kini menghasilkan Nebula Kepiting (Crab Nebulae) yang bisa di amati di sekitar Rasi Taurus.
Materi sisa supernova itu bisa menjadi material baru pembentuk bintang. Namun, material itu akan lebih kaya dengan unsur-unsur berat dibandingkan dengan bintang-bintang generasi pertama yang terbentuk di awal semesta yang kaya akan hidrogen.
Dengan segala keunikannya itu, banyak astronom masa kini mengarahkan perhatiannya kepada Betelgeuse. Bukan hanya ingin mempelajari karakter bintang menjelang kematiannya dan proses terjadinya supernova, melainkan juga membuktikan teori fisika dan evolusi bintang yang dibangun selama 100 tahun terakhir.
Pengujian itu juga untuk membuktikan teori pembentukan tata surya, khususnya tata surya yang terbentuk di bintang raksasa merah atau bintang tua. Teori ini didasari pada keyakinan bahwa tata surya kita bukanlah sistem tunggal, melainkan banyak tata surya lain dengan kondisi yang beragam.
Meski tua dan berukuran raksasa, Betelgeuse tetap memberi arti bagi manusia. Membantu manusia memahami semesta dan kemanusiaannya.