Gondrong pun Jadi Urusan Negara
Lebih dari 10 murid SMP Negeri III di jalan Pajeksan, Yogyakarta yang berambut gondrong, ditindak gurunya. Pemotongan rambut murid itu dilakukan, setelah sehari sebelumnya guru memberi penerangan kepada para siswa. Murid tidak boleh ke sekolah dengan rambut yang panjangnya menutup daun telinga dan di belakang menutup leher baju.
Tindakan tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil lokakarya para kepala SLP dan SLA se-DI Yogyakarta. Sedangkan siswa putri yang mengurai rambutnya melebihi bahu diberi tahu bahwa hal itu bisa mengganggu konsentrasi belajar.
Selain itu, mode kuku panjang juga tidak diperbolehkan. Alasannya, kuku panjang mendorong siswi memberi kuteks pada kukunya. Ini dianggap melanggar karena pemakaian kuteks termasuk perhiasan berlebihan yang tak cocok dengan suasana belajar.
Berita tersebut dimuat harian Kompas yang terbit tanggal 8 September 1973 atau tepat 44 tahun lalu.
Membaca berita dalam arsip harian Kompas tentang rambut gondrong, mau tidak mau membuat kita tersenyum kecut. Tak terbayangkan, pada masa itu, sekitar tahun 1960-1970-an urusan panjang rambut kaum muda saja menjadi perhatian dan diatur negara. Urusan rambut gondrong tak cuma menjadi perhatian para guru di sekolah, tetapi juga polisi, tentara, gubernur, bahkan menteri dalam negeri.
Untuk masa sekarang, sebagian dari kita akan merasa hal itu berlebihan. Pemerintah seakan “kurang kerjaan” sampai mengurusi rambut gondrong anak muda. Sekarang, bukan hal yang dianggap aneh melihat anak muda berambut gondrong sampai menutup daun telinga.
Bahkan sebagian pria tenang-tenang saja memelihara rambutnya sampai sepunggung dan membiarkannya terurai pula. Ada lagi sebagian lelaki yang senang mengonde rambut panjangnya, atau mengikatnya asal-asalan saja. Sebagian orang melihat hal itu sebagai hak individu yang tak pantas dicampuri orang lain.
Walaupun belakangan ini sudah jamak melihat pria berambut gondrong, tetap saja muncul “diskriminasi” terhadap lelaki berambut panjang. Kompas, 29 Oktober 2004 memuat tulisan tenang seorang manajer di perusahaan asuransi, Ivan Setiawan yang dipecat karena berambut gondrong. Padahal rambut panjangnya tidak sampai sebahu.
Entah rambut gondrong itu sekadar alasan untuk memecat sang manajer, atau memang benar bahwa di perusahaan itu ada larangan berambut gondrong bagi karyawan lelaki. Satu hal pasti, pemecatan itu menjadi salah satu kasus yang harus diselesaikan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Bahkan kasusnya sampai ke pengadilan.
Kembali pada era 1960-1970-an, rambut gondrong menjadi salah satu “masalah” yang sempat menguras energi bangsa Indonesia. Di Semarang, Jawa Tengah (Jateng) misalnya, polisi menyuruh tiga pemuda berambut gondrong untuk segera mencukur rambut mereka. Alasannya, gaya rambut gondrong tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, siswa putri juga dilarang menyasak rambutnya (Kompas, 25 Agustus 1966).
Begitu besarnya masalah yang menyertai rambut gondrong, sampai-sampai di Solo, Jateng pada 1966 sebagian orang merasa takut melihat sekawanan pemuda berambut gondrong. Salah seorang di antaranya masuk ke sebuah rumah, dan keluarga itu pun ketakutan mendapat kunjungannya. Namun tak lama kemudian suasana berubah menjadi kegembiraan.
Rupanya mereka adalah para prajurit KKO yang baru kembali dari garis depan di Kalimantan Utara. Mereka umumnya berambut panjang sampai sepundak, sebagian berkumis dan berjenggot lebat pula dan menyandang bedil (Kompas, 16 Maret 1966). Pada masa itu, setelah meletus peristiwa G30S PKI, umumnya orang akan takut melihat mereka.
Operasi tertib
Tak hanya di Jateng, di Jakarta pun rambut gondrong menjadi masalah. Garnizun Jakarta Raya melakukan operasi tertib dengan memeriksa setiap kendaraan yang melintas dan memeriksa adakah pengemudi atau penumpangnya yang berambut gondrong (Kompas, 3 Desember 1966).
Bila kedapatan ada pengemudi atau penumpang berambut gondrong, para petugas sudah siap dengan gunting untuk memangkas rambut mereka saat itu juga. Di jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat misalnya, petugas Staf Komando Garnisun atau Skogar selain memeriksa kelengkapan surat kendaraan juga memantau mereka yang berambut gondrong.
“Pengendara sepeda motor yang berambut pendek boleh jalan terus, tetapi yang gondrong atau berpotongan beatle harus mendengarkan nasihat dan gunting petugas pun beraksi. Maka melayanglah rambut beatle kesayangan,” demikian ditulis Kompas, 5 Desember 1966.
Sedangkan di Bandung, Jawa Barat (Jabar), petugas dari kesatuan ABRI melakukan razia terhadap lebih dari 150 anak muda yang berambut gondrong dan berpakaian ketat ala anggota band The Beatles asal Inggris. Oleh karena sedang libur sekolah, mereka leluasa berjalan-jalan dan menjadi “mangsa” gunting petugas (Kompas, 3 Januari 1967).
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memberi batas waktu sampai 31 Januari 1968 untuk warga memangkas sendiri rambut gondrongnya. Setelah itu, mulai 1 Februari 1968 akan dilakukan penertiban (Kompas, 19 Januari 1968).
Namun dalam pelaksanaan penertiban, gubernur meminta petugas tidak bertindak sewenang-wenang yang dapat melukai perasaan para pemuda seperti berkata kasar dan melakukan pengguntingan rambut secara sembrono hingga bentuk kepala seseorang menjadi tak karuan.
Penertiban lelaki berambut gondrong juga berlangsung di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Kepala Staf Kowilhan-I Laksamana Pertama TNI Kumoro Utojo menegaskan, instruksi tentang penertiban rambut gondrong tetap berlaku. Penertiban itu dilakukan mulai dari anak-anak ABRI (Kompas, 23 Juli 1973).
Kepribadian bangsa
Semua tindakan penertiban rambut gondrong itu beralasan demi menegakkan moral bangsa, karena bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia, dan “dekat” dengan tindak kejahatan. Seperti dikutip Kompas, 3 Januari 1967, razia pada pemuda berambut gondrong dilakukan untuk menghilangkan kemerosotan moral dan akhlak di kalangan anak muda.
Tak menyebutkan kaitan kemerosotan akhlak seseorang dengan rambut gondrong, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengatakan, rambut gondrong belum diterima secara umum sebagai sesuatu yang baik. Namun penertibannya harus melibatkan anak muda bersangkutan dan orangtuanya (Kompas, 15 Januari 1968).
Bang Ali, panggilan Ali Sadikin, juga meminta para guru untuk memberi pengertian terhadap murid-muridnya agar tidak berambut gondrong. Selain itu guru harus terus-menerus mengingatkan mereka tentang pentingnya kebersihan badan dan pakaian.
Pada masa itu sebagian seniman berambut gondrong, seperti dramawan W.S. Rendra, sutradara D. Djajakusuma, dan pelukis Agus Djajasuminta. Dalam salah satu tulisannya, Arief Budiman, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, antara lain mempertanyakan kaitan rambut gondrong dengan perilaku jahat seseorang.
“Apakah dapat dikatakan seorang W.S. Rendra, seorang D. Djajakusuma atau seorang Agus Djaja tidak berkepribadian nasional pada saat karya-karya mereka sedang dipuja di luar negeri sebagai karya-karya budaya yang indah dari Indonesia?” tulis Arief Budiman (Kompas, 22 Januari 1968).
Arief Budiman tak suka berambut gondrong, tetapi beranggapan rambut gondrong adalah masalah pribadi yang sangat sepele untuk mendapat kehormatan hingga dicampuri seorang gubernur. Selain itu, setiap gerak yang berlainan dengan “norma umum” sebaiknya tidak dianggap sebagai gerak untuk memusuhi negara dan anti “kepribadian nasional”.
Pandangan serupa disuarakan Panglima Kodam XIII/ Merdeka Brigjen Willy Soejono. Mantan Komandan RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) dan mantan Panglima Komando Tempur Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) itu mengatakan, rambut pendek belum jaminan seseorang berwatak baik.
Soejono menilai penangkapan dan pengguntingan rambut gondrong sebagai emosional. Menurut dia, berambut gondrong dan mengenakan celana lebar adalah sifat anak muda yang tengah mencari nilai-nilai baru (Kompas, 5 Februari 1971).
"Anti rambut gondrong adalah sikap yang a-moral yang tidak menghargai kepala orang"W.S. Rendra, Kompas, 30 Juni 1972.
Dipersulit
Di sisi lain, kaum muda pun tak berdiam diri. Siswa SMA Negeri II Ujungpandang (sekarang Makassar), Sulawesi Selatan misalnya, melakukan mogok belajar sebagai bentuk protes terhadap peraturan sekolah yang tak mengizinkan murid berambut gondrong (Kompas, 21 Juli 1972).
Sementara SMAN XIX Jakarta Kota dengan tegas melarang muridnya berambut gondrong. Murid yang berambut gondrong tidak boleh ikut ulangan, namanya ditulis dan ditempelkan di papan pengemuman sekolah. Bila sampai tiga kali diperingatkan dan murid tetap berambut gondrong, akan dikeluarkan dari sekolah.
Tak hanya siswa sekolah dan mahasiswa, tetapi pemulung pun bersikeras mempertahankan rambut gondrongnya. Kompas, 14 Februari 1973 mencatat, seorang pemulung berusia 19 tahun memilih pulang kampung ke Purwokerto daripada dicukur rambutnya. Saat itu dia tertangkap razia rambut gondrong di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta.
Sementara Pimpinan Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat aturan, mahasiswa berambut gondrong tak boleh mengikuti kegiatan kurikuler. Selain itu, mahasiswa baru tak boleh berambut gondrong. Kebijakan itu diambil dengan pertimbangan seorang calon sarjana harus memiliki mental dan kepribadian yang baik (Kompas, 27Februari 1973). Universitas Sumatera Utara atau USU juga tak membolehkan mahasiswanya berambut gondrong (Kompas, 7 Januari 1977).
Sedangkan di Cilacap, Jateng setiap calon pengantin tidak boleh berambut gondrong. Penghulu tak akan menikahkan mereka, meskipun ketentuan tentang rambut gondrong tidak tertulis (Kompas, 14 Maret 1973).
Kejadian serupa berlangsung di Banyumas, Purwokerto dan Pekalongan, Jateng. Mereka yang berambut gondrong tidak bisa memperoleh surat izin mengemudi (SIM) dari kepolisian (Kompas, 31 Maret 1973).
Demikian pula di Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Komrates 101 Surabaya tak melayani mereka yang berambut gondrong. Bahkan untuk permintaan izin pertunjukan, disertai syarat para penampil tidak berambut gondrong (Kompas, 24 September 1973).
Di Medan pun pihak kepolisian menolak setiap lelaki berambut gondrong untuk berurusan dengan polisi. Mereka langsung disuruh angkat kaki begitu masuk halaman kantor polisi (Kompas, 24 September 1973). Bahkan Gubernur Sumut membentuk Badan Koordinator Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorpragon) dengan target Sumut bebas dari rambut gondrong pada akhir 1973.
Menanggapi soal rambut gondrong, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengakui secara pribadi tidak senang dengan mode rambut gondrong. Ia menilai hal itu berlebih-lebihan untuk ukuran kebudayaan bangsa Indonesia. “Pendeknya saya tidak senang pada apa saja yang serba berlebihan,” kata dia seperti dikutip Kompas, 4 September 1973.
Melawan arus utama
Berbeda dengan arus utama kala itu, Kompas, 22 Juli 1968 mencatat, di Bandung seorang ketua rukun kampung (RK) mengeluarkan surat izin untuk memelihara rambut gondrong bagi sebagian warganya. Mereka yang mendapat surat izin itu adalah seniman dan para pelaku sandiwara rakyat.
Alasan sang ketua RK, rambut gondrong termasuk alat bagi mereka untuk mencari nafkah. Dengan adanya surat izin tersebut, mereka bisa terbebas dari razia rambut gondrong.
Ada pula sekolah-sekolah yang mengizinkan muridnya berambut gondrong, seperti SMA De Britto Yogyakarta yang semua muridnya lelaki dan SMA Negeri I Teladan Yogyakarta. Jadilah sekitar 80 persen murid kedua sekolah itu berambut gondrong.
Alasan pengelola sekolah, “Rambut gondrong kurang esensial dalam kaitannya dengan dunia pendidikan sekolah.” Faktanya, kedua sekolah itu masuk kategori baik dalam bidang pelajaran maupun kegiatan lainnya (Kompas, 5 September 1973).
Ide baru selalu muncul dari murid kedua sekolah itu, dan prestasi belajar mereka pun relatif baik. Selain nilai-nilai mata pelajaran para murid tetap bagus meskipun berambut gondrong, mereka juga senang mengadakan berbagai kegiatan seperti pameran majalah dinding, festival drama, festival folk song dan berbagai kegiatan olahraga.
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta juga tak mempermasalahkan mahasiswa berambut gondrong. Rektor UGM Prof Dr Sukadji Ranuwihardjo menegaskan, UGM sama sekali tidak akan menolak calon mahasiswa berambut gondrong (Kompas, 18 Januari 1977).
Alasan Sukadji, rambut adalah masalah pribadi masing-masing orang. Oleh karena itu sebaiknya pihak lain tak usah mencampurinya. Dia memberi jaminan, masalah rambut tak akan dipersoalkan di UGM. Prosedur penerimaan mahasiswa baru juga tak dipengaruhi masalah rambut calon mahasiswa.
Dunia
Pada era 1960-an sampai sekitar awal 1970-an di berbagai negara pun terjadi pelarangan lelaki berambut gondrong. Rupanya tak hanya Pemerintah Indonesia saja yang merasa “risih” bila warganya berambut gondrong. Pemerintah Yunani pun melarang anak muda berambut gondrong (Kompas, 18 Mei 1967).
Pemerintah militer Yunani tidak hanya melarang para lelaki berambut gondrong, tetapi perempuan pun dilarang memakai rok mini. Hal itu dilakukan dengan alasan, demi mengembalikan disiplin dan kemurnian kepribadian bangsa (Kompas, 22 Mei 1967).
Akibat larangan tersebut, Yunani sampai kehilangan penghasilan devisa dari para turis gondrong yang dilarang masuk wilayah Yunani. Padahal sekitar 20 persen dari penghasilan negara didapatkan dari para wisatawan. Namun pemerintah tetap bersikeras melarang keberadaan pria gondrong di Yunani.
Sedangkan di Auckland, Selandia Baru, para pencari kerja berambut gondrong jangan harap bisa mendapatkan pekerjaan. Mereka harus mau mencukur rambutnya untuk mendapatkan pekerjaan. Kaum muda lelaki yang berkeras mempertahankan rambut gondrongnya harus siap menjadi penganggur (Kompas, 12 Juli 1967).
Rambut gondrong sebagai fenomena maupun mode tak lepas dari popularitas band-band seperti The Beatles dan The Rolling Stone. Personel band-band itu berambut gondrong, dan menjadi idola jutaan penggemarnya. Padahal ada kisah, personel The Beatles berambut gondrong karena mereka tak punya cukup waktu untuk memangkas rambutnya. Mereka sibuk tur konser ke berbagai belahan dunia.
Kompas, 15 Juni 1971 mencatat, mode rambut gondrong membuat perusahaan produsen perawatan rambut meningkat pesat omzetnya. Industri sampo naik pendapatannya sekitar 300 juta dollar AS lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Industri televisi pun menangguk untung, karena iklan untuk perawatan rambut meningkat setidaknya 109 juta dollar.
Awal tahun 1970-an rambut gondrong tak lagi menjadi penghalang kaum muda di AS untuk berkarier. Mereka tak lagi identik sepenuhnya sebagai hippies. Banyak perusahaan sudah membuka diri, mau menerima karyawan berambut gondrong, kecuali untuk angkatan bersenjata dan beberapa cabang olah raga.
Kini rambut gondrong bisa dikatakan tak lagi menjadi persoalan. Tak ada lagi “cap” bahwa mereka yang berambut gondrong identik dengan jahat, memiliki akhlak buruk, maupun tidak berkepribadian nasional. Hanya saja, kita harus berhati-hati agar tidak salah menyapa karena penampilan antara lelaki dan perempuan menjadi sulit dibedakan...