Elnis Tanlim (31) memegang kuat-kuat tali yang mengikat empat sapinya dan menghela keempatnya pulang melintasi jalan desa. Ia baru saja membawa sapi peliharaannya itu minum di sebuah kali kecil di ujung Desa Fatuteta.
Desa Fatuteta, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, terletak 30 kilometer arah utara Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di situ, peternak biasa memberi minum sapi dengan membawa sapi ke kali pada pagi dan sore hari. Pakan berupa daun lamtoro dan rumput diberikan di kandang yang berupa tanah kosong dengan patok-patok untuk mengikat sapi.
”Di desa kami, tidak ada kebiasaan memberi minum air pada ternak. Petani yang menggiring ternak ke kali,” ujar Usias Amheka, Ketua Kelompok Tani Nekamese di Desa Fatuteta, Sabtu (12/8).
Perubahan yang terlihat di Desa Fatuteta adalah perubahan cara budidaya. Usias mengatakan, dulu sapi banyak dilepas di ladang atau hutan. Sekarang, peternak mulai mengandangkan sapi mereka yang jumlahnya tidak lebih dari lima ekor per peternak. Alasannya, jumlah penduduk makin banyak sementara pakan hijauan kian berkurang.
Namun karena pengandangan sapi tidak dibarengi dengan cara budidaya yang baik, kandang yang sederhana itu berpotensi juga menjadi sumber penyakit. ”Karena alas kandang masih tanah. Jerami, sisa pakan, dan kotoran semua jadi satu di situ bisa berpotensi sebagai sumber penyakit,” ujar Mario Bhasarie, dokter hewan perwakilan PD Dharma Jaya di Kupang.
Kuota sapi
PD Dharma Jaya adalah BUMD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bidang ketahanan pangan. Dharma Jaya mengeksekusi nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani Gubernur Joko Widodo dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada April 2014.
Kesepakatan ini berupa penyediaan sapi hidup dari NTT untuk memenuhi kebutuhan daging di Jakarta. Untuk DKI Jakarta, dengan kebutuhan hingga 1.000 sapi per hari, sebagian besar dipenuhi dari sapi impor. Belum lagi saat masa Lebaran, ketika kebutuhan daging sapi meningkat, pemenuhan kebutuhan daging sapi dilakukan dengan cara impor daging beku.
Sayangnya, jumlah sapi yang dikirim dari NTT juga terbatas karena adanya penetapan kuota sapi oleh Pemprov NTT. Sebagai gambaran, pada 2016, Pemprov NTT mengizinkan 65.150 sapi keluar pulau. Pada 2017, kuota sapi yang dikeluarkan 66.300 ekor.
”Kuota harus ditetapkan supaya sapi-sapi kami tidak habis. Ternak yang keluar pun harus jantan, tidak boleh betina,” ujar Kepala Dinas Peternakan NTT Danny Suhadi.
Bantu pembibitan
Kesepakatan antara Pemprov DKI dan Pemprov NTT itu juga mewajibkan DKI untuk melakukan pembibitan sapi.
”Kami sudah mendapatkan lahannya di Desa Fatuteta, Kabupaten Kupang,” ujar Direktur Utama PD Dharma Jaya Marina Ratna Dwi Kusumajati, Kamis (24/8), di Jakarta.
Lahan seluas 420 hektar itu awalnya tanah adat, lalu diserahkan kepada Kabupaten Kupang untuk dikerjasamakan dengan PD Dharma Jaya.
Sesuai rencana, tidak seluruh lahan dipergunakan. ”Kami merencanakan 220 hektar dulu yang dikembangkan. Penyertaan modal daerah Rp 36 miliar dipakai untuk infrastruktur kandang, padang rumput untuk penggembalaan sapi, serta lahan untuk penanaman rumput pakan sapi,” ujar Marina.
Dharma Jaya menyiapkan sapi betina indukan dari sapi lokal. Saat ini, pemenang lelang tengah mematangkan studi kelayakan (feasibility study/FS) dan detail engineering design (DED) di calon area pembibitan.
”Kemungkinan Oktober tahun ini FS selesai sehingga eksekusi untuk mulai pembangunan pembibitan sapi bisa dimulai tahun depan,” kata Marina.
Nantinya, 10 persen sapi dari pengadaan ini ditujukan untuk pembibitan dan 90 persen lainnya untuk penggemukan. Selain itu, lahan dilengkapi dengan padang penggembalaan. Rumput ditanami untuk sumber pakan. Ada embung untuk pemenuhan kebutuhan minum ternak. Per hektar lahan bisa diisi 1-2 sapi. Peternak di sekitar pembibitan juga dilibatkan sehingga suplai sapi makin banyak.
Untuk pembibitan sapi, pemilihan indukan sapi lokal dimaksudkan Dharma Jaya untuk mendukung pengembangan dan produksi sapi lokal di tengah gempuran sapi impor.
Dikatakan Marina, pembibitan sapi lokal harus dilakukan meski waktu yang diperlukan lama. Itu perlu dilakukan supaya Jakarta tidak tergantung dari impor daging sapi beku. Bahkan, kalau perlu Jakarta tidak mendatangkan sapi hidup dari NTT, tetapi cukup daging sapi beku dari NTT.
Usias melanjutkan, peternak yang saat ini masih mengembangkan sapi dengan cara sederhana antusias menyambut program itu. Peternak berharap bisa belajar membudidayakan sapi dengan lebih baik.