Setiap hari pukul 05.30, berseragam merah putih, Dian Ramadhani (10) berdiri di dermaga bambu di depan rumahnya. Tak lama, perahu motor kayu merapat, menjemput siswa kelas III SDN Pantai Bahagia 02 itu menuju sekolah.
Rumah Dian di ujung Muara Bendera, Kampung Pesisir, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, di muara Sungai Citarum. Rumah panggung kayu di atas laut itu berjarak 5 kilometer dari SDN Pantai Bahagia 02 dan tak bisa diakses lewat darat. Seusai menjemput Dian, perahu singgah ke dermaga kecil lain di tepi Sungai Citarum. Siswa berseragam rapi menanti di atas dermaga, siap diangkut ke sekolah.
Rabu (23/8) pagi itu, sekitar 80 siswa SDN Pantai Bahagia 02 memadati perahu motor kayu itu menuju sekolah. Sebagian duduk di atap kapal. Canda tawa dan tingkah polah bocah memecah keheningan. Ada yang masih mengusap mata karena kantuk dan ada yang mengeluarkan buku menyelesaikan pekerjaan rumah (PR).
Perahu bernama Anugrah itu adalah kendaraan antar-jemput siswa SDN Pantai Bahagia 02 Muara Gembong bersekolah. Selama tujuh tahun terakhir, Anugrah mengantar jemput anak-anak di Muara Bendera yang sekolah di SD itu. ”Kalau Anugrah mogok, saya terpaksa tak sekolah,” ujar Dian.
Setiap siswa yang diantar dan dijemput Anugrah membayar Rp 4.000 per hari. Dalam sehari, terangkut 80-90 siswa. Pihak sekolah tak memungut biaya kepada siswa tak mampu atau yatim piatu.
Bagi Dian yang tinggal paling jauh dari sekolah, perahu Anugrah menjelma sebagai anugerah mengantarkan anak menjemput cita-cita. Bertarif murah, perahu ini solusi menuju sekolah.
Hal sama dirasakan Aulia (9), pelajar kelas II SD yang rumahnya lebih dekat dari sekolah. Ia senang ke sekolah menggunakan perahu Anugrah. ”Banyak temannya,” ucap Aulia. Ia berjalan kaki ke sekolah dan naik perahu eretan jika Anugrah mogok.
Perahu berkapasitas lebih dari 100 orang itu kadang dipadati 150 siswa saat musim hujan. Lebih dari itu bisa berbahaya.
Inisiatif sekolah
Kepala SDN Pantai Bahagia 02 Abdul Muin (53) mengungkapkan, sekolah berinisiatif membuat perahu kayu Anugrah bermesin 24 PK menjadi kendaraan antar-jemput siswa dengan pertimbangan akses, keselamatan, dan kepastian belajar. Gagasan itu disetujui orangtua murid dalam komite sekolah.
”Akses ke sekolah dari sebagian rumah siswa terputus perairan dan susah lewat darat. Selain itu, waktu berangkat anak juga bisa ditentukan karena ikut jadwal perahu,” ujarnya.
Perahu Anugrah dibuat tahun 2010 dengan biaya Rp 150 juta bersumber dari pinjaman koperasi simpan pinjam guru SD se-Kecamatan Muara Gembong. Dana dicicil rutin setiap bulan oleh sekolah. Jaminan pinjamannya gaji kepala sekolah dan guru.
Dana cicilan didapat dari tarif Rp 4.000 dari setiap siswa per hari. Jika sehari Anugrah mengangkut 80 siswa, pendapatan sekolah Rp 320.000. Setelah dipotong gaji motoris Rp 150.000 untuk dua orang dan solar Rp 70.000, penghasilan bersih sekolah Rp 100.000. ”Kalau sehari Rp 100.000, sebulan anggap saja Rp 2,5 juta. Uang ini yang kami pakai mencicil ke koperasi sejak 2010. Cicilan perahu selesai tahun 2015,” kata Abdul.
Sekolah sengaja tak memungut biaya dari orangtua murid terkait pembuatan perahu. Banyak orangtua murid kurang sejahtera. Setelah biaya pembuatan perahu lunas, pendapatan bersih dari perahu Anugrah akan dipakai merenovasi pagar sekolah serta membeli meja dan kursi.
Sebelum berinisiatif membuat perahu sendiri, sekolah mendapat hibah perahu dari seorang warga Muara Gembong awal tahun 2001. Perahu bekas angkutan barang dari Cilincing, Jakarta Utara, ke Muara Gembong itu kandas menabrak penghancur ombak di Cilincing.
”Saat pakai perahu yang lama, sekolah tak bisa menabung karena perahunya bolak-balik rusak. Saat kami buat perahu Anugrah, anggarannya benar- benar nol rupiah,” kata Abdul.
Nana (32), salah satu motoris, mengatakan, saat perahu rusak harus mendatangkan teknisi salah satu nelayan di Muara Bendera. Tujuh tahun beroperasi, perahu Anugrah dua kali mogok.
Sebelum sekolah memiliki perahu, kata Abdul, banyak siswa ke sekolah berjalan kaki atau diantar dengan sampan oleh orangtuanya. Itu membuat mereka kerap terlambat tiba ke sekolah.
Aktivitas di sekolah yang dimulai pukul 07.00 kerap molor menjadi pukul 08.00. ”Kalau guru terlalu tegas, bisa berhenti siswa di sini,” ucap Abdul. Sekolah itu belum pernah mendapat bantuan Pemkab Bekasi sejak SD itu punya perahu. Tepat pukul 10.30, siswa kelas I dan II berhamburan keluar kelas. Anugrah mengantar pulang siswa. Pukul 12.30, giliran siswa kelas III-VI pulang.