JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah 80-90 persen kebakaran hutan dan lahan selama ini dipicu faktor kesengajaan, terutama warga yang membuka lahan dengan cara membakar. Namun, melarang begitu saja warga membakar lahan tidak menyelesaikan masalah. Pelarangan itu harus diikuti solusi pola tanam yang lebih ramah lingkungan.
Perubahan itu tidak mudah karena praktik membakar lahan di sebagian masyarakat sudah mentradisi ribuan tahun. ”Tradisi membakar lahan di lahan gambut Kalimantan sudah sangat lama, setidaknya sejak 10.000 tahun lalu,” kata Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Eko Yulianto di Jakarta, Senin (28/8).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, larangan membakar memberatkan petani kecil yang menggantungkan hidup dengan bercocok tanam di sekitar lahan gambut. Bagi sebagian petani ini, membakar lahan merupakan cara paling murah.
”Larangan membakar lahan harus diikuti dengan solusi pertanian ramah lingkungan. Jika tidak, secara kucing-kucingan pasti akan terus terjadi kebakaran karena menyangkut persoalan perut,” katanya.
Sejumlah daerah mengeluarkan peraturan tentang larangan membakar lahan untuk pertanian. Di Jambi, misalnya, ada Perda Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Jambi. Peraturan ini diperkuat dengan Peraturan Gubernur Jambi Nomor 31 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2016. Peraturan tersebut melarang pembakaran lahan untuk pertanian, tanpa kecuali.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah juga gencar menyosialisasikan larangan membakar lahan gambut. ”Masyarakat mulai paham. Tinggal diberi solusi agar masyarakat tetap bisa bertani tanpa membakar lahan,” kata Darmae Nasir, pengajar Fakultas Ekonomi yang juga Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Palangkaraya.
Solusi yang bisa ditawarkan, menurut Darmae, memberikan bantuan teknik pembukaan lahan tanpa membakar. Penyediaan alat berat dan teknologi pengolahan tanah dibutuhkan agar masyarakat perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan membakar dalam membersihkan lahan serta inovasi teknologi untuk meningkatkan keasaman tanah.
Peraturan daerah
Untuk mencegah pembukaan lahan dengan membakar, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menyusun Perda tentang Pengolahan Gambut dan Kelestarian Hutan. Staf Khusus Gubernur Sumsel Bidang Perubahan Iklim Najib Asmani di Palembang mengatakan, Rancangan Perda Pengolahan Gambut dan Kelestarian Hutan dicanangkan DPRD Sumsel awal tahun ini.
Raperda ini mendapatkan dukungan penuh pemerintah karena mengatur upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan, terutama aturan pembukaan lahan dengan cara membakar. ”Perda ini diharapkan bisa disahkan tahun ini. Nantinya, kami berharap ini menjadi payung hukum jangka panjang dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan lahan dengan membakar,” katanya.
Raperda ini juga mengatur solusi bagi warga, antara lain, memberikan bibit tanaman sesuai hutan ataupun lahan setempat. Pemda juga akan memberikan bibit serta pelatihan menanam komoditas khas gambut untuk warga yang biasa menggarap gambut, seperti jelutung, tembesu, dan gelam. Tanaman-tanaman ini bisa dimanfaatkan untuk mabel dan bangunan.
Pemda kemudian mewajibkan koperasi menampung hasil hutan/lahan yang diolah dengan cara lestari itu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sepakat, masyarakat harus mendapatkan alternatif pengolahan lahan. Hal ini akan dikoordinasikan antar-kementerian serta pemerintah daerah dan masyarakat. (AIK/ICH/DRI/RAM/son/ita)