YOGYAKARTA, KOMPAS — Generasi muda harus dirangsang kembali mengenal dan menikmati karya sastra sebab kesusastraan berperan dalam mengasah budi pekerti. Hilangnya kesantunan dalam bertutur lewat media sosial juga menjadi indikasi jauhnya generasi muda dari karya sastra.
”Ada dampak dari minimnya ketertarikan generasi terkini dengan kajian puisi dan prosa, terhadap caci maki dan sumpah serapah yang kerap kita temui dalam kicauan media sosial,” kata Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Aprinus Salam, di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jumat (18/8).
Peran penting karya sastra sebagai pengasah budi pekerti pada masa lalu perlahan tertutup kehadiran media sosial. Karya sastra mengalami penurunan penikmat, terbukti dengan semakin minimnya ketertarikan mahasiswa pada kajian puisi dan prosa.
“Hal ini sangat ironis karena kedua genre sastra tersebut mengasah kecerdasan pikiran dan perasaan penikmatnya dalam memahami makna-makna semiotika yang tersaji dalam karya tersebut,” ujar Aprinus.
Wadah baru
Di tempat yang sama, Ari Dwipayana, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi sekaligus Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), menilai keberadaan media sosial seharusnya dimanfaatkan para sastrawan sebagai wadah baru untuk berekspresi. Jika dimanfaatkan dengan baik, justru akan lahir sebuah generasi baru penyair yang sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.
Munculnya generasi media sosial merupakan sebuah fenomena yang tak bisa dihindari karena setiap generasi mempunyai bahasanya sendiri. Dalam media baru itu, Ari berharap muncul penyair-penyair baru dengan metafora bahasa-bahasa mereka sendiri.
”Sastra itu punya kekuatan luar biasa karena mampu memengaruhi atau mengajak orang berpikir tentang sesuatu tanpa harus secara vulgar dikatakan,” kata Ari.
Dengan sentuhan seni dan sastra perdebatan di ruang publik mampu disajikan secara santun serta memiliki etika dan estetika. Ari yakin, perdebatan dengan cara-cara yang gaduh jelas tidak akan berdampak terhadap peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlombaan
Dalam usaha menjelaskan kembali pentingnya sastra dan seni sebagai pengasah budi dengan memanfaatkan media sosial, FIB UGM bekerja sama dengan Kagama menyelenggarakan Lomba Sastra dan Seni 2017 dengan tema ”Revitalisasi Penghargaan terhadap Perbedaan” yang memperebutkan total hadiah berupa uang tunai senilai Rp 103.500.000.
Menurut Aprinus, yang juga menjabat sebagai ketua panitia perlombaan, tema ini diangkat untuk mengingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. ”Dalam sejarahnya, bangsa ini punya pengalaman panjang dalam menghargai keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan,” ujarnya.
Setiap tahun, lanjut Aprinus, jangkauan dari perlombaan ini terus diperluas. Untuk itu, tahun ini panitia mewajibkan para peserta memublikasikan karya yang mereka lombakan melalui berbagai jenis jejaring media sosial.
Terdapat tujuh kategori lomba, yakni penulisan puisi, penulisan cerita pendek, penulisan kritik sastra, fotografi, penulisan meme, pembuatan film, serta pembuatan video profil Fakultas Ilmu Budaya FIB. Batas akhir pengumpulan materi lomba, yakni 30 September 2017. Penjurian akan dilakukan oleh para pakar FIB UGM.
”Kegiatan yang berlangsung keempat kalinya ini bertujuan untuk memicu kembali gairah berkesenian termasuk memanfaatkan media sosial sebagai wadah mengekspresikan karya sastra dan seni,” ujarnya.