Desain komunikasi visual bukan semata-mata bidang pekerjaan kreatif dan bernuansa komersial. Bagi sejumlah orang yang menekuni, bidang ini telah mengantar mereka ke arti solidaritas sejati.
Setahun lalu, Vanny Olvia, mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Kristen Petra, Surabaya, iseng mengirimkan portofolio karya ke panitia program Tata Rupa. Dia hanya berniat mencari pengalaman dalam proyek mendesain ulang citra dan kemasan produk UMKM yang digagas Kreavi dan program Pahlawan Ekonomi Surabaya itu.
Portofolio Vanny dianggap layak. Kemudian, dia dipertemukan panitia Tata Rupa dengan Fitria Anggraini, perajin batik Jarak Arum binaan Pahlawan Ekonomi Surabaya. Dia diminta mendesain ulang citra serta kemasan agar memiliki nilai jual lebih. Waktu penyelesaian proyek hanya sebulan.
”Batik Jarak Arum memiliki kisah luar biasa. Bagaimana industri rumahan ini menghidupi perempuan-perempuan yang tinggal di eks lokalisasi Dolly. Awalnya saya merasa terbebani mendesain ulang produk yang secara cerita sudah kuat,” ujar Vanny yang ditemui di sela-sela diskusi Tata Rupa: Empowering Small Business with Creativity, Senin (14/8) sore, di Jakarta.
Kemasan awal batik Jarak Arum hanya menggunakan kotak kardus dengan bagian depan ditutup plastik mika. Nama merek ditulis menggunakan ketikan komputer yang dicetak di kertas HVS.
Setelah Vanny datang, kemasannya berubah. Batik dibungkus dalam kotak berwarna dasar putih yang dihiasi dengan ilustrasi bunga. Untuk menambah kesan manis, kotak itu diikat dengan pita dengan warna senada ilustrasi bunga.
”Tugas kuliah sebenarnya bisa menjadi portofolio melamar pekerjaan. Entah mengapa, saya merasa portofolio kali ini amat berkesan. Selain belajar kisah kehidupan UMKM, saya sekarang memiliki banyak kenalan pekerja atau penggemar DKV,” katanya.
Jojo selaku direktur proyek Kreavi (dari kiri ke kanan); Fitria Anggraini, perajin batik tulis Jarak Arum; Vanny Olvia, Wiwit Manfaati, pendiri kerajinan eceng gondok Wiwit Collection; dan Jessica Edina, alumnus Tata Rupa.
Solidaritas
Jessica Edina, alumnus DKV Universitas Kristen Petra Surabaya, mengaku sampai sekarang masih menjalin komunikasi erat dengan Wiwit Manfaati, pendiri UMKM kerajinan eceng gondok Wiwit Collection. Sama seperti Vanny, Jessica mengenal Wiwit karena proyek Tata Rupa. Bedanya, dia terlibat di Tata Rupa pada 2015.
”Saya mendesain logo untuk merek Bu Wiwit. Logo itu diterapkan pada kertas nota, name tag, dan beberapa pada kemasan hasil kerajinan beliau yang berukuran kecil,” katanya.
Wiwit Collection terdiri dari produk tas tangan, tas slempang, kursi, dompet, dan meja. Semuanya berasal dari bahan eceng gondok. Usaha ini dirintis Wiwik setelah suaminya mengalami pemutusan hubungan kerja sehingga berdampak ke perekonomian keluarga.
Seusai Tata Rupa, Jessica masih sering membantu Wiwit dalam urusan desain dan pencitraan merek. Semuanya dilakukan secara sukarela.
”Pekerja DKV sering kali terjebak pada idealisme pribadi. Tidak jarang mereka kekeuh mempertahankan idealisme sehingga klien kabur. Kalau dengan Bu Wiwit ini, saya justru merasa suatu desain visual lahir dari kebutuhan,” kata Jessica.
Bermanfaat
Bagi Fitria, kehadiran Vanny memberikan dampak positif terhadap usaha yang dia rintis bersama sepuluh ibu rumah tangga eks lokalisasi Dolly. Batik tulis Jarak Arum yang tadinya hanya dijual saat pameran lokal kini sudah merambat ke pasar nasional dan ekspor.
Harga batik tulis semula sekitar Rp 125.000 per lembar, sekarang meningkat dan tembus di atas Rp 1 juta. Penciptaan motif terus bertambah seiring masukan banyak pelanggan.
”Saya merasa senang sekali dengan desain kemasan Vanny. Keren. Kalau saya mendapat pesanan dari ibu-ibu pegawai negeri sipil, kotaknya sudah bagus dan terasa wah,” katanya.
Sementara Wiwit mengaku memperoleh keuntungan dalam urusan teknik pemasaran ataupun cara meningkatkan citra produk kerajinan. Dalam name tag produknya sekarang tertulis logo nama dengan desain huruf yang indah.
”Bingung. Enggak paham apa itu merek. Waktu pertama kali diajak Pemerintah Kota Surabaya pameran, ya, saya asal bilang mereknya Wiwit Collection,” katanya lugu.
Masih banyak cerita menarik di balik proyek Tata Rupa. Pekerja atau pegiat DKV yang terlibat bekerja antusias. Dampaknya tampak dalam setiap karya desain mereka.
Sebagai contoh, keripik sukun Selendang Semanggi. Awalnya, kemasan keripik terbuat dari plastik. Kemudian, desain barunya berupa kotak persegi panjang berbahan kertas dengan logo selendang dan ilustrasi piring berisi keripik.
Contoh lain, wingko Tjap Djadoel. Desain terbarunya berupa kotak nasi berukuran kecil, tetapi dipenuhi dengan ilustrasi kartun produksi wingko.
Dalam perkembangannya, setiap pekerja atau pegiat DKV yang terlibat dalam proyek Tata Rupa memperoleh keuntungan berupa pencantuman nama dan nomor kontak. Upaya ini bertujuan memperluas pasar masing-masing pencipta karya.
Direktur Proyek Kreavi Jonita atau akrab disapa Jojo menyebutkan, Kreavi merupakan platform daring yang mengakomodasi pekerja DKV di seluruh dunia. Awal berdirinya berangkat dari keprihatinan susahnya anak muda yang bergelut di bidang DKV mendapatkan pasar ataupun jejaring komunitas.
”Kami menginginkan agar setiap anggota yang mengunggah karya tidak sekadar pamer. Mereka diharapkan bisa menciptakan karya yang memiliki dampak positif terhadap lingkungannya. Misalnya, dampak ekonomi atas produk UMKM,” katanya.
Saat ini terdapat 41.443 pekerja ataupun pegiat DKV yang bergabung di Kreavi. Mereka berasal dari 88 kabupaten/kota Indonesia. Total karya yang dihasilkan telah mencapai lebih dari 84.000 buah. (MEDIANA)