Demikian salah satu pesan yang mengemuka dalam Forum Pembangunan Indonesia (IDF) di Jakarta, 9-10 Agustus. Acara yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia tersebut bertema ”Memerangi Ketimpangan untuk Pertumbuhan yang Lebih Baik”.
Pada hari pertama IDF, Rabu (9/8), sejumlah narasumber mengangkat pajak sebagai instrumen strategis untuk mengurangi angka kemiskinan sekaligus ketimpangan pendapatan. Pada hari kedua, Kamis, isu pajak diangkat secara lebih spesifik dalam sesi bertema ”Kebijakan Afirmasi pada Fiskal dan Investasi untuk Mengurangi Ketimpangan Pendapatan”.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, sebagai salah satu narasumber di IDF, kemarin, menyatakan, sistem pajak di Indonesia belum berkeadilan sehingga turut menyumbang ketimpangan pendapatan. ”Atau setidaknya belum optimal menjadi instrumen yang mengurangi ketimpangan,” katanya.
Sistem yang belum berkeadilan tersebut, menurut Prastowo, mencakup kebijakan dan administrasi yang tak mampu menjangkau potensi pajak secara optimal pada kelompok terkaya. Akibatnya, kelompok terkaya hanya membayar sebagian dari total kewajiban pajak yang seharusnya dibayar.
”Pajak adalah alat redistribusi kekayaan paling efektif. Sebab, selain menjadi amanat konstitusi, pajak juga didasarkan atas prinsip ability to pay. Namun, ini belum berjalan sepenuhnya di Indonesia,” kata Prastowo.
Struktur penerimaan pajak di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan, penyumbang terbesar penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) individu. Penyumbang terbesar berikutnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh korporasi. Model ini disebut ideal.
Di Indonesia, strukturnya terbalik atau tidak adil. PPh individu di paling bawah. Itu pun sumbangan terbesarnya berasal dari PPh karyawan, yang tahun lalu realisasinya sekitar Rp 110 triliun. Sementara PPh nonkaryawan, termasuk pengusaha, hanya menyumbang sekitar Rp 10 triliun. Di atasnya berupa PPh badan dan yang terbesar adalah PPN.
PPN adalah pajak regresif. Semua orang yang membeli barang terkena PPN menanggung beban pajak yang sama.
Indonesia mencatatkan pengurangan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun. Namun, sejak 2007 hingga kini, laju pengurangan jumlah penduduk miskin melambat. Sementara ketimpangan pendapatan melebar selama satu dekade terakhir.
Pengurangan jumlah penduduk miskin pada 2005-2010 rata-rata 816.000 jiwa per tahun. Pada 2010-2015, pengurangannya rata-rata 486.000 jiwa per tahun atau hampir separuh dari periode 2005-2010. Tren ini masih berlanjut pada 2016 dan tahun ini. Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2017 sebanyak 27,77 juta jiwa atau 10,64 persen terhadap total populasi penduduk.
Sementara ketimpangan pengeluaran sebagai pendekatan ketimpangan pendapatan melebar. Rasio gini, sebagai indikator ketimpangan, berkisar 0,35 sampai dengan 0,38 pada 2007-2011 meskipun sempat menyentuh 0,41 pada Maret 2011. Pada 2012-2015, rasio gini merangkak naik dan stagnan di 0,4. Per Maret 2016, rasio gini turun ke 0,397, kemudian turun menjadi 0,394 per September 2016. Per Maret 2017, rasio gini 0,393.
Belum taat
Bambang, dalam wawancara khusus dengan Kompas, kemarin, menyatakan, salah satu penyebab ketimpangan pendapatan adalah kelompok pembayar pajak besar belum taat pajak. Hal ini tecermin dari penerimaan PPh individu nonkaryawan yang rendah. ”Menurut saya, untuk cepat mengurangi ketimpangan, perlu penguatan pajak orang pribadi. Harus ada perubahan paradigma, dari yang sebelumnya penerimaan lebih besar disumbang oleh korporasi menjadi ke individu,” kata Bambang.
Pada hari pertama IDF, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Bradley Armstrong menyatakan, Pemerintah Australia menerapkan sistem pajak progresif, yakni beban pajak semakin tinggi seiring tingkat penghasilan seseorang.
Implikasinya, 20 persen penduduk berpenghasilan tertinggi di Australia menyumbang 70 persen dari total penerimaan pajak.
Sementara itu, menurut Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak Yon Arsal, realisasi penerimaan pajak per 31 Juli Rp 601,1 triliun atau 46,8 persen dari target APBN-P 2017. Dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak ini tumbuh 12,4 persen. (LAS)